Sejuk angin menerpa ketika aku melajukan motor melewati ganasnya jalanan Yogyakarta. Orang-orang sibuk dengan pikirannya masing-masing, penjual koran masih gigih menawarkan dagangannya di tengah gempuran era digital yang semakin canggih, pelaku kesenian memainkan alat musik tradisional, berharap ada seribu atau dua ribu masuk ke dalam wadah yang sudah disiapkan. Yogyakarta Banjarnegara bukanlah jarak yang dekat.
Hari ini, aku sebenarnya ingin melupakan sementara skripsiku, aku ingin menghabiskan waktuku dengan Hana lalu membahas apapun. Entah nantinya akan membahas kesibukannya sebagai guru, sapi milik bapaknya yang beranak, atau tentang cerita-cerita lain yang banyak tersimpan di kepala. Namun, takdir berkata lain. Hana sendiri yang memintaku untuk membawa laptop. Aku sempat protes dan berkata “aku tuh pengen kangen-kangenan, malah disuruh skripsian L”. Tidak jadi masalah karena ketika aku sedang bersama Hana, masalah yang aku tanggung seperti terurai dan hilang begitu saja.
Tiba-tiba aku bercita-cita ingin menjadi menteri pendidikan. Semisal cita-citaku yang sangat mulia itu terwujud, kebijakan yang pertama kali aku putuskan adalah menghapus skripsi sebagai syarat kelulusan. Skripsi itu sangat mengerikan, kawan. Pernah ada satu teman satu kelasku yang terkenal cerdas dan pintar saja pusing mengerjakan skripsi. Bahkan dia pernah berkata “Tidur saja mimpinya tentang skripsi”. Betapa menyeramkan sekali barang sakral itu.
Sebenarnya aku ingin sejak lama menyelesaikan skripsi ini, tapi kesibukanku sebagai jurnalis dan editor membuatku agak lupa daratan. Padahal aku sering melihat teman-temanku yang pamer foto setelah sidang, memakai slempang, membawa segepok bunga dan bingkisan, dan dengan raut wajah yang lega bahagia. Ketika aku melihatnya, aku panik dan gugup kemudian membatin “Haduuuh gimana ini, teman-temanku sudah sidang”. Tapi kepanikanku tidak berlangsung lama, paling hanya lima menitan saja, setelah itu aku kembali ke kesibukanku dan kembali melupakan skripsi. Hingga waktu berjalan terus dan tidak terasa aku sudah mendapat teguran dari Fakultas. DO sudah di depan mata, kawan.
Di tengah perjalanan dan kencang motorku, aku tersenyum karena teringat teman-teman seangkatanku yang entah sekarang mereka menyebar di mana. Ada dari mereka yang digondol lelaki dari jauh seperti Aceh, ada yang sekarang meneruskan pesantren Ayahnya, tidak sedikit yang menjadi PNS, banyak yang sudah menikah, ada juga yang meneruskan S2, menjadi penghafal Al-Qur’an, dan tidak sedikit pula yang hilang tanpa jejak. Mereka pernah menemaniku saat itu, beradu argumen di kelas, atau sekadar menonton film bareng di kelas ketika mata kuliah sedang kosong.
Kenangan-kenangan itu mampir satu persatu di sisa ingatanku. Semisal tentang warung langgananku di selatan koperasi mahasiswa. Aku sering makan di sana dengan teman-temanku. Harga makanannya murah, lebih murah lagi kalau hanya makan nasi putih dan sayur beserta kuahnya saja. Tiba-tiba aku merasa sesak ketika mengingat salah satu kejadian di hari itu. Hari di mana aku sadar bahwa tidak setiap hari temanku makan dengan enak.
Seperti ini, hari itu mata kuliah sudah rampung. Seperti wajarnya anak-anak semester satu, kami ke mana pun selalu bergerombol. Saat itu kelompok Illuminatiku belum eksis. Kami menuju warung yang ada di selatan koperasi mahasiswa. Kebetulan saat itu belum terlalu ramai sehingga kami tidak antre mengambil menu-menu yang ada di etalase kaca. Sambil ngobrol tentang mata kuliah yang semakin banyak tugasnya, kami mengambil menu yang bermacam-macam. Seperti biasa, aku mengambil telur dadar, ayam tepung, sedikit sayur, dan memesan es teh. Setelah semua selesai dengan pilihannya, kami duduk di bangku panjang yang ada di samping warung.
Lahap kami menikmati makanan sambil kembali berbincang. Namun, tiba-tiba aku menghentikan suapanku ketika melihat salah satu temanku hanya makan dengan satu tempe, sayur berkuah, dan nasi yang menggunung tinggi. Begitu lahap dia menyantapnya, sesekali dia mengucap alhamdulillah dengan suara yang lirih. Hatiku kacau saat itu. Aku melihat lauk yang ada di piringku dan membandingkan dengan menu yang ada di atas piring temanku. Agak lama aku diam sambil memperhatikannya makan. Tiba-tiba salah satu temanku yang lain dengan sigap memindahkan lauk ayamnya ke piring temanku tadi. Sejurus aku kembali ke dalam warung kemudian mengambil dua telur dadar dan memberinya ke temanku tadi.
“Bro, dimakan ya,” kataku.
Raut wajahnya sumringah. Hal itu membuat teman-teman yang lain ikut tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali dan aku merasa tidak pantas mendapatkan ucapan terima kasih itu. Betapa tidak, kemalangan teman dekat pun aku tidak tahu. Diam-diam aku mengutuk diriku dalam hati. Sejak itu aku berjanji untuk menaruh perhatian yang lebih kepada teman-temanku. Temanku tadi merupakan anak yang cerdas, selalu riang, baik kepada teman-temannya. Tidak heran ketika dia ulang tahun, dia mendapatkan kejutan dari teman-teman satu kelas. Meskipun saat itu kami hanya bisa memberikannya beberapa wafer yang disusun menyerupai kue ulang tahun dan lilin kecil di atasnya.
Kisah yang lain adalah tentang salah satu wanita di angkatanku. Setiap hari dia ke kampus dengan menaiki sepeda kayuhnya. Kebetulan kosku saat itu searah dengannya. Maka ketika kami ada mata kuliah yang sama, aku sering menyapanya dari belakang kemudian menyalipnya saat dia tergopoh mengayuh sepeda. “Mari, mbak,” kata-kata itu yang sering aku katakan kepadanya.
Sungguh, teman-temanku memiliki kecerdasan yang bagus, termasuk temanku itu. Dia lumaya menonjol di kelas, sering satu kelompok denganku. Aku ingat, terakhir kali aku satu kelompok dengannya ketika mata kuliah Media Pembelajaran. Aku memang agak kurang bisa menyusun materi dan hanya bisa mengedit ppt atau video. Jadi anggota yang lain menyusun materi, sedangkan aku yang bagian membuat medianya.
Waktu terus tergerus dan sudah lama aku tidak mendengar kabarnya. Tiba-tiba salah satu temanku menyiarkan sebuah berita yang mengagetkan kami semua. Wanita itu sedang terbaring sakit. Katanya sakit parah. Sekarang sedang dirawat secara intensif di salah satu rumah sakit di Solo. Sebenarnya sudah beberapa kali ada teman-temanku yang menjenguknya, tapi aku baru sempat ikut di kunjungan yang kesekian kali.
Pagi itu aku ikut menjenguknya dengan beberapa temanku. Jarak Jogja ke Solo tidak terlalu jauh tapi lumayan membuat kami pegal-pegal. Apalagi orang yang aku bonceng tidak berhenti curhat dan mengoceh. Hingga akhirnya kami sampai di rumah sakit yang dituju. Aroma rumah sakit yang khas membuat aku ngeri. Suara kursi roda yang didorong, tangisan orang di lorong-lorong, dan kecemasan di diri orang-orang, membuatku merapalkan doa keselamatan berkali-kali.
Kami menemui bapaknya temanku yang sedang duduk di kursi tunggu, letaknya tepat berhadapan dengan lorong ruangan yang menjadi tempat temanku dirawat. Kami menyalami beliau, menanyakan perkembangan teman kami, kemudian dengan seksama mendengar beliau menceritakan kejadian yang ada di sini.
“Coba, mas dan mbaknya lihat itu deh,” kata beliau sambil menunjuk lampu yang menempel di dinding.
“Itu kalau hidup, warnanya merah,” lanjutnya.
Cukup lama kami hening karena menunggu beliau melanjutkan ceritanya. Beliau mengambil napas kemudian mengembuskannya. Beliau kembali melanjutkan
“Ketika lampu itu hidup, tandanya ada yang meninggal. Ketika saya melihat lampu itu hidup, saya langsung panik dan mau menangis.”
Kami yang mendengarnya pun dibuat hampir menangis. Aku melihat salah satu teman wanitaku, ternyata dia sudah menangis. Temanku yang terbaring sakit itu adalah orang baik, ramah, cerdas, kesal ke teman pun tidak pernah. Dan yang aku ingat darinya adalah dia selalu membaca Al-Qur’an ketika sedang menunggu dosen yang masuk ke kelas.
Kami mendapatkan giliran menjenguk ke dalam ruangan tidak dengan bersamaan, yang masuk masing-masing dua orang. Aku memutuskan untuk mengambil giliran yang paling terakhir. Sebenarnya di ruang tunggu ini banyak orang, tapi semua diam dan hening. Jelas di pikiran mereka ada perasaan harap-harap cemas dan doa yang tidak putus.
Akhirnya tiba giliranku. Teman-temanku yang mendapatkan giliran terlebih dahulu selalu menyeka air matanya ketika keluar dari ruangan. Aku dan temanku mulai melangkah, melewati lorong panjang, dan kami akhirnya ada di ruangan tempat temanku dirawat. Banyak pasien di sini, hal itu membuat kami bingung mencari letak kasur temanku. Hingga akhirnya ada seorang wanita paruh baya tersenyum dan memastikan kami adalah teman dari anaknya.
Kawan, hatiku hancur saat itu. Di depanku terbaring lemah temanku yang riang dan baik hati itu. Dia menampakkan wajah yang hampir tidak aku kenali. Meskipun dia terbaring lemah, tapi gerakan bibirnya seolah menyebut namaku. Aku seka air mataku kemudian mengajak bicara dan bercerita sedikit, meskipun aku tahu dia tidak akan membalas ucapanku dengan suara indahnya yang masih aku ingat betul hingga sekarang. Di akhir waktu kunjungan, aku menangkupkan dua tanganku untuk berdoa. Kawan, saat itu bibirku seperti terkunci, tanganku gemetaran, ada tetes air mataku yang jatuh. Yang jelas saat itu aku mendoakan agar dia kembali sehat, kembali ke kampus dan duduk dengan kami di kelas, menyusun media pembelajaran yang pernah dia usulkan. Namun, waktu berjalan begitu cepat. Ada kabar bahwa temanku yang sakit itu pun meninggal dunia. Aku bersaksi bahwa dia adalah teman yang baik, orang yang baik, teman diskusi yang baik, teman yang menyapaku setiap berangkat dan pulang kuliah. Alfatihah.
***
Terlalu hanyut ke dalam kenangan-kenangan tentang masa silam membuatku tidak sadar kalau sudah sampai di Banjarnegara. Rumah Hana sedikit jauh dari jalan utama, melewati persawahan, dan kebun-kebun. Tidak seperti pertama kali aku ke rumahnya, kali ini aku sudah tidak deg-degan lagi. Orangtua Hana sudah akrab denganku karena sering berhubungan lewat Whatsapp.
Bayangan yang aku angankan pun terwujud. Wajah ayu Hana menyambutku, dia berjalan anggun ke arahku, tersenyum manis, kemudian membuka pagar rumahnya. Aku menuntun motorku memasuki halaman rumahnya yang luas, kemudian memarkirkan di bawah pohon mangga yang rindang. Hana salim dan memegang tanganku lama sekali setelahnya.
“Capek tidak di jalan?” katanya.
“Hmmmm lumayan sih. Bapak dan Ibu ada di rumah?”
“Ada tuh di ruang tengah.”
“Yaaaaaah.”
“Kok ngeluh? Hush jangan macam-macam.”
“Hehehehe.”