BUNGAKU

Arai Merah
Chapter #4

SEBELUM SIDANG SKRIPSI #4

Kekasih membenamkan kepalanya di tangan kananku

Sementara tangan kiriku bermain di helai rambutnya

Ada hawa dingin yang memeluk

Namun, ketika aku dengan seorang kekasih

Maka aku hangat

Malam sudah datang. Orangtuanya Hana memintaku untuk menginap di sini. Malam ini kami sedang makan bersama. Di meja makan obrolan menjadi semakin menyenangkan. Hana memang salah satu orang yang mengerti pola makanku, menu kesukaanku, minuman kesukaanku. Di saat yang lain minum teh manis hangat, Hana memberikanku teh tawar hangat karena memang itulah minuman kesukaanku.

“Takut kena penyakit gula,” kata Hana ketika ditanya ibunya tentang kenapa dia memberikanku teh tawar.

Malam ini aku juga sedikit lega karena skripsiku sudah selesai. Hana dengan keahlian ngomel-ngomelnya berhasil membuatku menyelesaikan barang sakral ini. Aku kira mengerjakan skripsi itu sulit, tapi nyatanya mudah. Fase sulit di dalam mengerjakan skripsi ternyata adalah melawan rasa malas dan membagi waktu. Pantas saja teman-temanku yang rajin sudah lebih dulu lulusnya.

“Sambalnya mantap, Bu. Pedasnya nagih,” kataku.

“Itu Ibu buatin spesial buat kamu. Hana pernah bilang orang pantura tidak bisa makan kalau tidak ada sambal. Mas Raka kan orang pantura.”

“Hehehe terima kasih, Bu. Serius enak banget sambalnya.”

“Dihabisin saja sambalnya. Orang rumah sini pada tidak tahan pedas.”

“Hana, setelah ini Mas Raka diajak jalan-jalan saja. Jarang-jarang kan dia main ke Banjarnegara,” kata bapaknya Hana.

“Iya, Pak.”

Topik pembicaraan kami di meja makan berubah-ubah. Mulai dari cerita Bapaknya Hana yang pernah diculik Genderuwo, Ibunya Hana yang pernah tersesat karena diajak hantu berwujud nenek tua, dan tentang hutan desa ini yang angker. Hana menggelengkan kepala kemudian tertawa.

“Bapak sama Ibu kok cerita seram-seram, mau nakutin Mas Raka? Ya percuma, lha Mas Raka saja punya teman dari bangsa mereka kok,” kata Hana.

“Mas Raka pakai cincin batu akik. Apa Mas isinya?” lanjutnya.

“Wah ada khodamnya, Mas?” tanya Bapaknya Hana dengan penasaran.

“Iya, Pak.”

“Isinya apa?”

“Pikachu hehehe.”

***

Setelah makan malam. Aku dan Hana keluar mencari angin. Udara malam hari di Banjarnegara cukup dingin dan menusuk tulang. Namun, pelukan dari Hana sambil sesekali mencubit perut kenyalku membuat hangat. Lagu-lagu tentang asmara seolah berputar di telingaku. Mulai lagunya Dewa19, Hengky Supit, Andy Liany, secara bergiliran berputar. Kemudian ada perasaan tenang dan tentram di dalam hati. Kekasihku sedang memeluk, orangtuanya mendukung hubungan kami, dan skripsi selesai. Sepertinya semesta akan merestui.

Hana mengajakku mampir ke kedai kopi milik temannya. Baru saja membuka pintu, kami langsung disambut dengan antusias oleh pemilik kedai. Wanita berpostur mungil itu memeluk Hana dan mengucapkan

“Iiiih kangen kangen kangen.”

Ya, seperti para wanita pada umumnya jika kebetulan sedang bertemu teman lama.

“Eh, ini kenalin pacarku. Namanya Raka,” kata Hana kepada temannya. Kami pun berjabat tangan.

“Raka.”

“Riani.”

“Emmmm jadi ini cowok yang dulu pernah kamu ceritakan,” lanjutnya.

“Memang Hana cerita apa, Mbak?” kataku.

Hana yang mendengarnya pun dengan gesit menutup mulut Riani. Ada rautan wajah panik di wajahnya. Riani mencoba melepaskan bekapan di mulutnya.

“Apaan sih Hanaaaa. Kamu kayak pemerintah deh yang suka membungkam suara rakyat.”

“Maluuu.”

“Sama pacar sendiri kok malu.”

Aku yang melihatnya pun dibuat tertawa. Riani masih berusaha untuk memberitahu.

“Jadi gini, Mas.. . . ”

“Rianiiiiiiiii jangan diberitahu dong.”

“Ah lagipula ini kan seruuu. Jadi gini, Mas. Hana pernah bilang dulu pernah ditolong sama cowok pas lagi kejebak hujan. Katanya cowoknya tuh seksi, montok, kayaknya empuk kalau dicubit, gitu.”

“Hahahahaha kenapa harus malu sih. Cuma gitu doang kok. Kan memang benar kalau aku ini seksi dan montok hahahaha. Sudah sudah, aku pengen ngopi nih. Riani, buatin yang paling pahit ya,” kataku.

“Siaaaap.”

Hana menutup wajahnya dengan dua telapak tangan karena malu. Aku mengusap kepalanya yang tertutup kerudung. Lama sekali aku mengusapnya, Hana tetap saja menutup wajahnya.

“Aku ngusapnya kelamaan, nanti keluar jin lho,” kataku.

Hana yang mendengarnya kemudian membuka tutupan di wajahnya. Dia tertawa kegirangan bukan main, seperti anak-anak yang mendapatkan sepotong kue.

“Terima kasih ya sudah bantu aku menyelesaikan tugas akhirat ini. Entah apa jadinya kalau tidak ada kamu.”

“Kan ada teman-teman Illuminati yang masih tersisa. Tuh ada Anis, Rizki, sama Fahmi. Mereka sudah selesai juga?”

“Kayaknya sih belum. Padahal batas akhir sudah dekat. Mereka asik nonton cerita-cerita horor di YouTube tuh.”

“Aku bakal ke kampus pas kamu sidang skripsi.”

“Kata Pak Samsul, sidang kami akan bareng. Jadi lumayan bisa lega deh, ada temannya.”

“Tenang. Kamu pasti bisa kok, Mas. Kamu juga dikenal baik di kalangan dosen, jadi mudah-mudahan beliau tidak membantai dengan pertanyaan-pertanyaan menjebak. Yang paling penting tuh berdoa, minta restu ke orangtua, jangan gugup. Dijamin lancar deh.”

Riani membawakan pesanan kami. Aku memesan kopi hitam tanpa pemanis, Hana memesan coklat panas, cemilan kami adalah kentang goreng. Namun, kami memesan dua kentang goreng, yang pertama digoreng sampai matang dan kedua digoreng setengah matang. Aku memang memiliki selera makan yang aneh. Bahkan dulu Hana sempat kaget saat melihatku ngemil bawang merah mentah.

“Selamat menikmati Hana dan Raka.”

“Terima kasih, Riani.”

Setelah Riani kembali ke depan, kami melanjutkan obrolan. Kali ini Hana memegang tanganku, digenggam cukup erat, raut wajahnya seketika berubah, dia menggigit bibir bawahnya, seperti ada yang sedang dia pendam.

“Mas, aku mau tanya sesuatu, tapi jangan marah ya.”

“Lho kenapa harus marah?”

Hana menjentikkan jarinya beberapa kali ke gelas “Kamu mau cerita tentang mantan kamu? Selama ini kamu belum pernah cerita lho. Atau gini deh, tidak perlu mantan, tapi orang yang pernah nolak kamu.”

“Nanti kamu cemburu lhoooo.”

“Iiiiish tidak kok. Lagipula masa lalu juga kan, Mas. Aku pengen tahu aja. Supaya aku lega. Toh katamu, kamu mau serius sama aku.”

Aku mengambil napas panjang sambil menerka cerita mana yang akan disampaikan. Kalau tentang mantan kekasih, mereka sudah bahagia dengan pilihannya. Namun, ada satu cerita kelam yang sampai saat ini belum diketahui oleh Hana. Jika dia mengetahuinya, maka perasaannya akan hancur. Jadi aku memilih cerita tentang seseorang yang pernah menolakku dengan sopan dan halus.

“Janji ya, jangan cemburu atau marah.”

“Iya, Mas.”

“Aku pernah suka dengan salah satu mahasiswi di jurusanku. Dia manis, cantik, penampilannya sederhana, cenderung pendiam. Namun, sekalinya dia berbicara, tersenyum, atau tertawa, hal itu membuatku terdiam terpaku dan mengaguminya. Aku selalu terpana ketika melihatnya riang seperti itu.”

Lihat selengkapnya