Ada rasa lega setelah bimbingan skripsi terakhir dan dipastikan akan disidangkan dalam waktu dekat. Aku mengendarai motor sambil senyum-senyum sendiri, melewati Jembatan Layang Janti, dan melihat gagahnya Gunung Merapi yang jelas terlihat di depan mataku. Di dalam hati, aku mengucapkan banyak terima kasih kepada manusia-manusia baik utusan Tuhan. Khususnya manusia-manusia yang membantuku menyelesaikan tugas akhir ini. Ada orangtuaku yang tidak hentinya bertanya “Kapan lulus?” sehingga hatiku terketuk untuk kembali membuka laptop, kemudian ada anggota Illuminati yang begitu baik dan simpati kepada anggota-anggotanya yang belum lulus, ada Hana yang menjadi penyemangat pribadiku, dan yang terakhir adalah Pak Samsul, beliau Pembimbing Skripsi terbaik dan terhebat di seluruh universe. Pak Samsul tidak ada kata lelah dalam membimbing kami, menolong kami saat buntu, dan membantu kami untuk mengurus berkas-berkas persidangan.
“Syafa’at dari pembimbing skripsi saja begitu besar aku rasakan, apalagi syafa’at dari Nabi Muhammad kepada umatnya di akhirat nanti,” kataku dalam hati.
Aku sudah berjanji ke diri sendiri untuk memberikan makanan yang enak untuk perutku setelah semua selesai. Jadi kali ini, sebagai permulaan aku makan nasi padang paling enak se-Jogja. Aku buta mata, mulai dari rendang, ayam, telur dadar, nasi yang menggunung, semua aku sajikan di dalam satu piring. Di tengah lahapnya santapanku, aku dikagetkan dengan bunyi notifikasi dari hpku. Cepat-cepat aku membukanya. Namun, ketika aku membaca nama yang terpampang, seketika aku diam dan keheranan sendiri.
“Mas, aku di Jogja nih. Bisa ketemuan?”
Aku yang membaca pesan itu pun dibuat bimbang. Seperti ada rasa benci tapi seberkas rasa rindu juga hadir. Cukup lama aku membiarkan layar hp terbuka.
“Hei, kok cuma dibaca doang?” lanjut pesannya lagi. Secara yakin aku memberanikan diri untuk membalas pesan tersebut.
“Oh haiii. Tumben ngirim pesan? Mau ketemuan? Bisa kok. Mau ketemu di mana?”
“Hmmmmm aku lagi pengen ke Kopi Merapi. Tapi aku tidak ada motor. Bisa jemput? Aku nginep di hotel. Aku kirim alamatnya ya.”
Hening. Wanita yang mengirimkan pesan kepadaku tidak pernah berubah di mataku. Termasuk nama kontaknya yang sejak dulu tidak aku ubah. Aku menamai kontaknya dengan panggilan kesayanganku untuknya yaitu Nini dengan logo hati setelahnya. Nama yang sebenarnya adalah Andini.
Tentu saja ada rindu kepada seseorang yang dulu pernah bersama kita, mengirimkan kabarnya, atau berbagi banyak hal untuk ditertawakan berdua. Andini adalah mantanku. Kami berhubungan jarak jauh. Awalnya memang lancar-lancar saja, saat itu kami sangat mesra, aku sering mengunjunginya di akhir pekan kemudian makan rujak di teras kosnya. Seseorang pernah berkata orang yang istimewa akan kalah dengan orang yang selalu ada. Ternyata perkataan tersebut benar adanya. Aku kalah dan aku sadari itu. Bagaimana tidak, ketika teman-temannya asik dan mesra makan malam dengan pasangannya, Andini hanya bisa berandai-andai. Atau semisal ketika dia sedang sakit, tidak kuat untuk makan sendiri, aku tidak ada di sana. Di saat itulah ada sosok lain yang lebih peduli daripada aku. Sosok itu membilas handuk kecil dan meletakkan di kening Andini, menyuapinya makan, membimbingnya minum obat, menjaganya. Sedangkan aku hanya bisa mengirim pesan,
“Jaga kesehatan ya. Jangan lupa diminum obatnya.”
Jelas aku kalah telak.
Akhirnya dia seperti menjauh yang membuat hubungan kami tanpa kejelasan. Di saat itulah aku bertemu dengan Hana. Namun, ketika aku sudah bersama Hana, diam-diam aku masih berhubungan dengan Andini ketika sudah kembali berbaikan. Hal itu yang sampai sekarang belum mereka ketahui. Sebenarnya aku ingin menceritakan hal ini sejak lama ke Hana, tapi aku takut dia akan marah kemudian meninggalkanku.
Aku dan Andini putus karena memang sudah tidak cocok lagi. Dia langsung menemukan sosok penggantiku. Sosok yang dulu pernah merawatnya di saat sakit dan menemaninya ke banyak tempat. Kami berpisah secara baik-baik dan damai. Tidak perlu adanya saling menjauh dan melupakan. Itulah sebab kadang di acara reuni, kami masih bisa tertawa dan mengobrol santai berdua, menanyakan sejauh mana hubungan barunya, menanyakan bagaimana kabar Bapak dan Ibunya.
Setelah menghabiskan makanan, aku langsung menuju alamat hotel yang dikirimkan Andini. Di jalan aku merangkai kata-kata ketika nanti bertemu. Namun, entah kenapa aku merasa buntu. Aku tidak ingin hatiku goyah lagi. Sungguh setia itu tidaklah mudah. Apalagi ketika dihadapkan dengan seseorang yang jelas-jelas pernah memberikan segalanya, sangat peduli, saling mencintai. Bayangan Hana memberikanku ketenangan sementara waktu. Namun, dia tidak perlu tahu tentang pertemuan ini.
Setelah sampai di hotel, aku menunggunya di Lobby. Aku mengirimkan pesan singkat agar dia menemuiku. Sungguh parah sekali ketika aku mendengar seseorang memanggil namaku dan aku memandangnya. Dia masih seperti yang dulu, sangat cantik, senyum merekah di wajahnya, dan mata itu adalah mata yang dahulu sangat aku kagumi. Andini berjalan ke arahku dengan riang. Sungguh dia masih seperti yang dulu kecuali hubungan kami.
“Hai, Mas Raka. Ya ampun sudah lama kita tidak bertemu ya,” kata Andini.
“Kamu tambah cantik saja hahaha. Ada agenda apa di Jogja?”
“Liburan saja, Mas. Capek sama rutinitas.”
“Lancar S2 nya?”
“Alhamdulillah lancar. Sudah mulai ngerjain tugas akhir.”
“Emmmm mau pergi sekarang?”
“Yuk.”
***
Kami melajukan motor ke arah Kopi Merapi. Tempatnya lumayan jauh dari pusat kota Jogja, mempunyai udara yang dingin, tentram, dan dekat dengan Gunung Merapi. Di sepanjang jalan kami terus saja mengobrol. Ada perasaan tenang di hatiku. Awalnya aku menduga bahwa tidak ada topik pembahasan baru di antara kami, tapi Andini pintar mencari pembahasan. Dia bercerita tentang pembimbingnya yang sulit ditemui, kemudian aku pamer tentang Pak Samsul. Betapa irinya dia denganku yang sangat beruntung bertemu pembimbing seperti Pak Samsul.
“Mas, bau tubuhmu masih sama ya. Wangi tapi agak sedikit berkeringat,” kata Andini.
“Dulu waktu kamu masih sering main ke kosku, ya baumu seperti ini. Pasti lelah dan berkeringat karena menempuh jarak yang jauh. Tapi aku suka,” lanjutnya.
Aku yang mendengarnya pun bertanya sendiri dalam hati. Apakah dia sudah putus dengan pacarnya kemudian ingin kembali kepadaku, atau aku akan dijadikannya pelampiasan saja.
“Hahahaha padahal aku belum mandi lho. Tadi baru bimbingan skripsi.”
“Wah kapan sidang?”
“Tanggal 14 bulan ini.”
“Semoga lancar ya, Mas. Puas dong tujuh tahun kuliah?”
“Puas banget. Kalau boleh nambah ya pasti aku nambah lagi hahahaha.”
Gunung Merapi semakin bertambah besar seiring bertembah dekatnya tempat tujuan kami. Udara dingin menyeruak masuk ke tubuh. Andini dengan segera menambahkan rekat pelukannya ke perutku. Aku harus menjaga batas. Dulu ketika kami masih bersama, saat Andini memelukku seperti ini maka tangan kiriku kadang menggenggam tangannya.
Kami akhirnya sampai di Kopi Merapi. Setelah parkir motor, kami langsung masuk ke dalam dan mencari meja yang masih kosong. Beruntungnya kami mendapatkan meja yang langsung menghadap Gunung Merapi. Aku mengeluarkan rokok kemudian menyulutnya. Untuk saat ini aku merasa damai sekali. Skripsi sudah hampir disidangkan, bayaran dari tulisan yang aku muat sudah cair, penelitian dari rekanku diterima dengan baik, semua kelegaan merasukiku.
Kami berbincang sambil menikmati kopi dan beberapa cemilan. Ternyata dugaanku benar. Andini sama sekali tidak berubah. Dia masih saja bersikap baik dan penuh perhatian ketika bertemu meskipun aku ini adalah mantannya. Dia juga masih ingat sifat dan kelakuanku, seperti kesukaanku dengan teh tawar hangat, sering ngemil bawang merah, dan membawa dua merk rokok yang berbeda.
“Padahal dulu aku melarang kamu merokok ya, Mas,” kata Andini.
“Iya, tapi aku tetap merokok.”
“Kapan mau berhenti merokok?”
“Entah, mungkin ketika aku sudah punya anak.”
“Masih lama dong?”
“Emmmmm semoga saja cepat-cepat deh. Dadaku sudah sering sesak karena kebanyakan merokok.”