BAJINGAN!!
Aku mencukupkan diri untuk mengingat Andini. Dia memang baik hati, cantik, pintar, tapi dia sudah menemukan jalannya sendiri tanpaku. Undangan yang diberikannya kepadaku, aku buka dan membacanya sekali lagi. Begitu indah nama itu terpampang dengan nama kekasihnya, hal itu membuatku tersenyum. Kenangan di masa lalu tidak perlu terlalu diromantisasi. Biarkan dia terkenang sendiri di waktu luang, tidak perlu setiap hari diingat dan dirasakan.
Di kedai kopi, aku mulai mengumpulkan fokusku dalam mempelajari skripsi yang menyeramkan ini. Sidang skripsi tinggal menghitung hari. Aku berupaya untuk menampilkan yang terbaik. Sudah mulai terbayang ruang sidang yang mencekam, di depanku nantinya ada dua penguji dengan wajah bengis yang siap membantai, dan di sisi mereka ada Pak Samsul yang akan menjadi penengah di antara kami. Sungguh, membayangkannya saja sudah ngeri.
Aku duduk sendiri di pojokan. Sementara di jarak dua meja ada wanita yang juga sedang diam di depan laptopnya. Di saat seperti ini, aku canggung untuk membuka bungkus rokok kemudian membakarnya. Aku takut kalau asap rokokku mengganggu wanita itu. Tapi tanpa rokok, otakku seperti tidak bisa diajak bekerja dan konsentrasi. Sejak tadi mulutku sudah kecut karena menginginkan hangat asap rokok. Berhubung sudah tidak bisa aku tahan lagi, maka aku beranikan diri untuk bangkit dari kursi kemudian menuju meja wanita itu.
“Mbak, permisi,” kataku. Sontak wanita itu langsung mengarahkan pandangannya ke arahku.
“Iya, ada apa, Kak?”
“Kita kan duduknya berdekatan. Kalau saya merokok, mbaknya terganggu atau tidak?”
“Oh tidak terganggu kok, Kak. Silakan kalau mau merokok. Kebetulan saya juga perokok.”
“Ooooh gitu. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Aku kembali ke mejaku dengan berbagai macam pertanyaan. Memang merokok itu tidak memandang jenis kelamin, tapi di Indonesia masih menganggap aneh kalau melihat wanita yang merokok. Apalagi wanita itu berjilbab. Tapi aku tidak ambil pusing. Teman-teman wanitaku juga banyak yang merokok. Tapi wanita itu berbeda. Meskipun dia merokok, tapi bibirnya terlihat halus, berwarna cerah, tentunya indah.
Sebungkus rokok aku keluarkan dari dalam tas kecilku. Pelan aku ambil satu batang kemudian membakarnya. Tiba-tiba otakku kembali berfungi, kembali bersemangat lagi untuk mempelajari skripsi dari bab satu sampai terakhir, tapi itu tidak berlangsung lama. Memang aku ini tidak punya bakat di dalam belajar, aneh. Ketika aku melihat angka-angka hasil penelitian kuantitatif, otakku seakan menjerit. Padahal di hari-hari sebelumnya, Fauzi sudah mengajariku.
Wanita itu tiba-tiba sudah ada di depanku. Ketika aku menatapnya, dia tersenyum dengan simpul yang indah.
“Kakak sendirian?” tanya wanita itu.
“Iya, aku sendirian. Kenapa?”
“Saya juga sendirian. Boleh gabung di sini?”
“Oh boleh. Silakan.”
Buru-buru dia kembali ke mejanya untuk membereskan laptop dan kopinya kemudian ke mejaku lagi. Aku suka jika bertemu dengan orang-orang baru. Di dalam pandanganku, wanita itu terlihat seperti orang yang menyenangkan.
“Aku mengganggu tidak, Kak?”
“Oh tentu tidak. Aku cuma lagi belajar skripsi buat sidang.”
“Wah berarti aku mengganggu dong. Pasti Kakak perlu ketenangan.”
“Ah, aku malah suka keramaian. Kalau duduk sendiri malah aku kurang bisa konsentrasi.”
“Aku juga lagi ngerjain skripsi ini. Bingung banget ngerjain bab satu. Oh iya, namaku Rika,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Cepat aku membalas uluran tangannya
“Wah nama kita hampir sama. Namaku Raka.”
“Wah wah wah wah keren, bisa ketemu kembaran.”
“Hahahaha salam kenal ya. Kamu kuliah di mana?”
“Di UNY, Kak.”
“Wah mantap.”
Kami banyak berbincang selama beberapa jam. Ada saja sesuatu yang kami bahas padahal baru pertama kali bertemu. Rika juga tanpa malu-malu merokok di depanku. Ketika seperti itu, dia malah menjadi sangat manis.
Ternyata Rika cukup paham tentang angka-angka penelitian kuantitatif. Tanpa malu-malu juga mengajariku. Penjelasannya yang rinci tapi mudah dipahami membuatku cepat menangkap maksud-maksud dari angka bajingan ini.
“Sudah bagus kok, Kak. Tapi tetap saja ada beberapa revisi sih ini.”
“Kok kamu bingung ngerjain skripsi, Rik?”
“Iya. Ekspetasi dosenku tuh tinggi banget. Penelitiannya juga susah banget. Sebenarnya aku sering bantu ngerjain skripsi kakak tingkat sih. Makanya aku lumayan paham hal ginian.”
“Terima kasih ya sudah dibantu.”
“Santai saja, Kak. Tapi Kakak keren banget lho bisa kuliah sampai tujuh tahun."
“Ah kamu malah ngejek nih.”
“Tidak ngejek. Tapi biasanya orang-orang yang kuliah 7 tahun tuh pasti punya kesibukan di luar. Kalau Kak Raka sibuk apa?”
“Membantu kemerdekaan Palestina.”
Kami tertawa kencang. Demikian sangat mudah seorang wanita dalam menggoyahkan hati seorang lelaki. Tiba-tiba Hana menelepon, buru-buru aku angkat. Aku meninggalkan Rika sendirian karena aku melipir keluar. Hana menanyakan kabarku kemudian mengungkapkan rasa rindunya. Setelah puas berbincang, Hana menutup teleponnya dan aku kembali ke meja.
Sudah mulai masuk jam makan siang. Berhubung lapar sudah menggugat, aku mencoba menawarkan Rika untuk makan siang bersama. Dia mengiyakan ajakanku dengan semangat.
“Mau makan di mana, Kak?”