BUNGAKU

Arai Merah
Chapter #7

SELAMAT TINGGAL SKRIPSI #7

Hari pertempuran akhirnya tiba juga. Tumpukan skripsiku sudah aku siapkan, sesekali aku masih kagum dengan namaku yang terpampang di halaman skripsi. Akhirnya setelah tujuh tahun, hari ini aku akan lulus juga. Ada rasa lega yang merasukiku, ada rasa bahagia, ada juga rasa sedih. Tidak bisa membayangkan betapa banyaknya kenangan yang aku dan teman-teman ukir di jurusan ini. tiba-tiba aku menjadi melankolik saat mengingatnya. Ingatanku kembali ke masa lalu. Seperti hari pertama aku kuliah dan masuk ke kelas. Manusia-manusia dengan wajah asing menatapku ramah, kami saling berkenalan, membuat perserikatan, menghadapi bingung dan pusingnya mata kuliah bersama-sama.

Teman-teman seangkatanku di jurusan tidak ada yang menyebalkan. Mereka semua baik hati, selalu ceria, saling berbagi suka dan duka. Kepada teman-temannya yang belum lulus, mereka selalu peduli, pagi ini mereka menyalurkan semangatnya kepadaku melalui pesan singkat. Mengingat mereka, membuatku tenang kali ini. Semoga mereka bahagia mempunyai teman sepertiku.

Kisah-kisah di jurusanku terlalu banyak untuk ditulis. Tapi banyak hal romantis yang bisa aku ceritakan secara singkat. Aku suka pulang paling terakhir jika kelas sudah selesai. Apalagi jika ada kelas di sore hari. Diam-diam aku sering memperhatikan mereka berjalan melewati koridor yang mulai gelap dan dingin, berjalan beriringan sambil adu tawa, atau seorang wanita yang menyapaku saat aku mematung sendirian. Dia berkata “Ka, pulang kapan? Jam setengah enam pintu Fakultas ditutup lho” kemudian kami berjalan beriringan menuju parkiran.

Aku menyulut rokokku sambil menunggu Hana yang sedang menyetrika pakaian tempurku, berupa baju putih dan celana hitam. Aku masih saja tersenyum sendiri saat mengingat teman-temanku. Ada dari mereka yang masih baik dan simpati kepadaku, ada juga yang sudah menghilang tanpa kabar. Mereka adalah kesayanganku, menjadi keluargaku, berat rasanya semisal kehilangan mereka. Apalagi ketika aku masih tinggal di kontrakan yang ditempati beberapa anak jurusan. Ketika ada yang sakit, semua harus ikut merawat. Kami sering kekurangan beras untuk dimasak, akhirnya mau tidak mau harus irit. Semua kenangan-kenangan itu masih kekal di ingatanku, apalagi saat kontrakan kami kemalingan di subuh hari. Ah, dulu sedih kalau mengingat laptop dan hpku hilang, tapi sekarang aku tersenyum ketika mengingatnya.

 “Mas, sudah siap nih,” kata Hana sambil membawakan pakaian perangku.

“Terima kasih ya.”

Buru-buru aku mengenakannya. Aku berkaca untuk memastikan penampilanku rapi. Hana mengusap, menyibak, dan merapikan rambutku yang kurang enak dipandang. Dia tersenyum memandangku.

“Kenapa?” kataku.

“Tinggal pakai jas hitam sama peci terus dikalungin bunga hahaha.”

“Seperti orang nikahan saja.”

Beberapa temanku akan datang, termasuk anak-anak Illuminati. Betapa bahagianya akan melihat teman yang sudah lama tidak dijumpai. Deskripsi tentang kerinduan bisa diterjemahkan ke puluhan bahasa dan istilah yang berbeda. Tapi setahuku, untuk apa menerjemahkan kerinduan yang tidak bisa diobati. Pagi ini aku siap untuk menuntaskan semua.

Tentang Rika dan Andini, aku sudah menceritakan semuanya kepada Hana. Dia tidak ngambek, marah atau cemburu, tapi hati wanita siapa yang tahu. Hati seorang wanita begitu sulit untuk dimengerti. Ada dua masa sulit yang akan dihadapi para lelaki ketika menghadapi wanita tercintanya. Pertama ketika pms, saat seperti itu, wanita seperti beruang buas yang menyerang pemburu. Diajak ngomong salah, dicuekin malah tambah salah. Kedua ketika ngidam, ngidamnya pun ada yang aneh-aneh. Semisal nyuruh suaminya nyolong mangga, nyariin ufo, bahkan ada yang ngidam minta cerai. Serius.

Setelah semua siap, kami langsung menuju Fakultas yang siang ini tiba-tiba menjadi angker. Di dalam benakku, Fakultas seperti rumah hantu yang ditinggal puluhan tahun oleh pemiliknya. Masih di dalam benakku, aku seperti melihat dosen-dosen membawa pecutan yang siap membuat tubuhku merah-merah. Tapi untungnya aku tidak sendirian. Sudah ada Anis, Rizki, dan Fahmi yang tiba terlebih dahulu. Mereka menunggu di markas Illuminati yang ada di selatan Fakultas.

“Anak-anak Illuminati belum datang?” kataku.

“Belum. Paling sebentar lagi. Fadhil otw dari hotel,” kata Rizki.

Aku melihat Fahmi yang nampak murung sambil memutar rokok di antara dua jarinya.

“Kenapa, Mi? Grogi karena mau sidang?”

Fahmi menggelengkan kepala.

“Bajingan og, Dista katanya mau ke sini.”

Kami yang mendengarnya pun tertawa keras.

“Oooooh pantesan sejak tadi diam,” kata Anis.

“Lho katanya sudah move on, Mi?”

“Ah kalian belum ngerasain sih ditinggal mantan nikah. Apalagi orangnya dikenal sama teman sendiri. Tambah kena bully deh.”

“Sabar wahai saudara seimanku,” Rizki mengeluarkan jurus ceramahnya “Tidak baik terlalu mengenang masa lalu. Tunjukkin kalau kamu orang yang kuat, bisa hidup tanpa dia, jodoh tidak akan tertukar wahai saudaraku,” lanjutnya.

“MEMANG TIDAK TERTUKAR. YANG ADA FAHMI CUMA DIJADIKAN TEMPAT PENITIPAN DAN PENJAGAAN JODOH ORANG,” kata Anis kemudian disusul tawa kami.

Memang benar, tidak ada masa lalu yang berhak ditangisi berlebihan. Biarkan masa lalu menyelami lautannya sendiri, menuai ikan-ikan dan ombaknya sendiri. Kehidupan mantan bagaikan batas teritorial suatu negara, jangan diganggu, kalau mau mampir harus izin dan mendapatkan persetujuan darinya. Kalaupun sudah mampir, jangan mencoba untuk menjajahnya.

“Tahu tidak, Mi. Kenapa Tuhan memisahkanmu dari Dista?” kataku.

“Kenapa memangnya?”

“Ketika kamu dan dia berpisah. Itu tandanya Tuhan sudah mempersiapkan orang yang lebih baik untuknya hahahahaha.”

“Asyuuu Raka bajingan.”

***

Jam tempur akhirnya tiba. Kami berempat menunggu di luar ruang sidang. Kakiku tidak bisa diajak diam karena grogi, aku mondar mandir tidak menentu. Selain kami, ada enam wanita sejurusan yang akan sidang. Hari ini adalah salah satu hari yang paling mengerikan. Hana sambil berlari kecil menuju ke arahku. Dia kembali tersenyum kemudian mengusap keringat yang ada di keningku.

“Tenang ya, pengujinya tidak akan gigit kok, Mas.”

“Iya iya bawel,” jawabku sambil mencoba menenangkan diri.

“Mas, baca bismillah sebelum mulai presentasi, yang tenang dan kalem. Kamu kan orangnya pede banget. Pasti bisa deh,” Hana memegang ujung jari telunjukku kemudian menempelkan ke bibirnya. “Jangan dihapus basah lipsitkku. Selain doaku yang menyertai, ada bekas lipstikku yang ada sama kamu,” lanjutnya.

Lagi-lagi aku dibuat jatuh cinta berkali-kali karena tingkah manis Hana. Manusia ajaib ini tahu bagaimana cara menenangkanku. Perlakuannya kepadaku sangat sederhana, tapi itu sangat memberi kesan kuat. Sebenarnya aku masih ingin lama bermesraan dengan Hana. Tapi aku lihat Anis, Rizki, dan Fahmi nampak iri melihat kami.

Aku kembali ke teman-teman senasib seperjuanganku. Memandangi raut wajah mereka yang grogi dan panik malah membuatku tersenyum. Selama ini mereka adalah para lelaki pemberani, hari ini pertama kalinya aku melihat mereka mengkerut. Anis khsuyu’ berkomat-kamit, bibirnya tidak berhenti bergerak. Fahmi hanya diam, tapi kakinya nampak resah. Rizki hanya menatap kosong ke atas melihat langit-langit yang kian usang.

Pak Yoseph selaku TU terbaik andalan kami akhirnya datang. Beliau memberikan pengumuman urutan mahasiswa yang akan sidang. Kacau, ternyata aku ada di urutan pertama. Tiba-tiba aku menjadi gagap ketika ingin menyangkal. Tapi apa boleh dikata, pengumuman itu sudah mutlak. Aku sendiri pun lumayan siap untuk hal ini. Angka-angka hasil penelitian kuantitatif yang bajingan ini akan aku babat habis tidak tersisa.

“Waduh. Aku duluan ini,” kataku.

“Ingat mantra ajaib kita, Ka. Min haitsu laa yahtasib. Allah akan membantu lewat jalan yang tidak diduga,” jawab Rizki. Kami yang mendengarnya pun tersenyum. Jika 3 IDIOT mempunyai mantra Aal Izz Well, maka mantra kami adalah min haitsu laa yahtasib.

Cukup lama kami menunggu Pak Samsul dan para penguji. Hana duduk di sampingku, mengusap pahaku supaya aku tenang. Entah berapa puluh kali mantra ajaib aku ucap dalam hati, hal itu membuatku cukup tenang. Hingga akhirnya yang ditunggu pun tiba. Kami menyalami mereka satu persatu, kemudian aku masuk ruangan terlebih dahulu.

Saat aku membuka pintu ruang sidang, aku serasa membuka pintu surga dan neraka yang dijadikan satu, ada aura panas dan sejuk sekaligus. Ketika semua siap, aku mulai membagikan draft skripsiku kepada Pak Samsul dan dua penguji. Tanganku tidak gemetaran lagi. Bekas lipstik Hana masih ada, berwarna merah cerah, aku tersenyum melihatnya.

Bismillah. Ya Allah, tolong, seperti biasanya,” kataku dalam hati.

Pak Samsul membuka persidanganku. Sidang skripsiku memang tertutup, tidak ada teman-temanku yang ikut masuk. Bisa dibilang, kalau di dalam game, kali ini aku menghadapi para raja terakhir. Seksama aku mendengar seklumit sambutan dari Pak Samsul. Kemudian beliau memberikan waktu kepadaku untuk menjelaskan isi dari skripsi yang aku kerjakan secepat kilat ini.

Lihat selengkapnya