Bulan ini masih mengandung gerimis. Entah sudah berapa lama aku memandangi air-air yang jatuh. Saat melihat hujan, aku ingat masa-masa pertemuanku dengan Raka. Lelaki baik, penuh cinta, tapi juga penuh misteri. Entah dia terbuat dari apa. Dia begitu betah menahan matanya untuk tetap terjaga sampai subuh, setelah itu dia sibuk, tidur siang hanya dua jam, setelah itu kembali begadang. Aku curiga, lelakiku adalah titisan mutan dari X-Men.
Aku beruntung memilikinya. Lelaki yang datang saat aku butuh, lelaki yang pandai menyembunyikan tangisnya, dan lelaki kecintaan teman-temannya. Suatu ketika aku pernah menangis di hadapannya, saat itu dia tertangkap Polisi karena mengikuti demonstrasi. Setelah bebas, dia hanya berkata “Masih ngeri ngadepin Bapakmu,” bajingan memang lelakiku ini.
Namaku Hana. Banyak kisah yang sudah aku rangkai bersama Raka. Awal pertemuan kami sangat manis sekali. Di sebuah ruko di jalan Taman Siswa, ketika aku hampir menangis karena akan telat masuk kelas. Hujan sangat deras, kacaunya aku tidak membawa jas hujan, aku panik karena dosenku seperti malaikat pencabut nyawa yang bengis. Tiba-tiba ada lelaki datang berteduh, dia memperhatikanku, menanyaiku kenapa mataku sembap, kemudian aku menceritakan alasannya. Dia dengan baik hatinya meminjamkan jas hujannya kepadaku.
Hingga di hari berikutnya, aku mendapati dia ternyata satu Fakultas denganku. Tubuhnya yang cukup tinggi, bercelana sobek dengkul, rambut acak-acakan, berwajah dingin, terlihat begitu menonjol di antara kerumunan orang. Aku menatap ke arahnya cukup lama, sambil memastikan itu adalah lelaki yang meminjamkanku jas hujan. Kebetulan temanku lewat, buru-buru aku menariknya.
“Eh kamu kenal sama cowok itu?” kataku sambil menunjuk.
“Owalah, itu namanya Raka. Bahaya banget tuh cowok. Pernah ricuh di rektorat padahal saat itu mahasiswa baru. Satu-satunya mahasiswa yang berani parkir di parkiran khusus dosen tuh.”
“Wah, keren ya.”
“Kok keren? Itu mah nakal, Han."
Sejak saat itu aku penasaran kepada Raka. Aku mulai mencari tahu tentangnya. Mulai dari jurusannya, tempat nongkrongnya, sampai dia punya pacar atau tidak. Raka seperti tokoh Gabriel di dalam kisah Raksasa dari Jogja. Wajahnya dingin, nampak menyeramkan, tapi baik hati. Aku memutuskan untuk mengembalikan jas hujan ketika Raka sedang nongkrong dengan teman-temannya di selatan Fakultas.
Ada rasa ragu dan takut. Begitu banyak orang yang ada di tongkrongannya. Dari kejauhan aku melihatnya duduk sambil menghisap rokok. Aku berjalan pelan dan akhirnya sampai di jarak tiga meter darinya. Keberanian aku bulatkan untuk memanggil namanya. Akhirnya dia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Setelah aku mengutarakan maksud ingin mengembalikan jas hujan, malah salah satu temannya berseloroh menyebut aku adalah bidadari yang ditolong Raka. Jujur saat itu aku ingin berteriak histeris kemudian terbang karena saking senangnya.
Kami akhirnya semakin dekat. Hari berganti hari dan kami sering menghabiskan waktu berdua. Aku juga diangkat sebagai anggota di perserikatannya yang bernama Illuminati. Perserikatan itu adalah kumpulan orang-orang yang salah jurusan di Fakultas ini. Di perserikatan itu, mereka yang ada di dalamnya saling membantu, saling berbagi cerita, sering juga melakukan bakti sosial. Aku sangat beruntung ada di dalamnya.
Ternyata di kampus Raka cukup dikenal oleh teman-temanku. Raka yang sering bertingkah nyeleneh juga menjadi cerita yang diutarakan temanku. Meskipun Raka berwajah dingin, terlihat cuek, tapi dia salah satu buaya di Fakultas ini. Awal mendengarnya, aku merasa kecewa. Di dalam benakku mungkin banyak wanita yang sudah dia dekati dan diajak jalan. Tapi aku buang pikiran itu jauh-jauh. Cerita nyeleneh dari Raka adalah dia sering ikut mata kuliah di jurusan lain, masuk kelas seenaknya sendiri, merokok di taman Fakultas sambil sesekali nyerok ikan yang ada di kolam dan membakarnya di markas. Ketika aku tanya kenapa dia ambil ikan di kolam Fakultas?
“Untuk perbaikan gizi anak-anak,” jawabnya.
Raka adalah seseorang yang apa adanya, bebas, tapi jangan sekali-kali membuatnya marah. Tangan kirinya sudah dia kutuk sendiri untuk tidak nabokin orang. Terakhir kali dia begitu, rahang orang yang ditabok bergeser. Pernah juga ada mahasiswa lain yang mendekatiku. Aku salah karena bercerita itu kepada Raka. Dia bisa melacak orang yang bersembunyi. Dia menemukan mahasiswa itu yang tertangkap apes setelah kelas selesai. Saat mengintimidasi orang, seketika wajah Raka tanpa emosi, hanya datar dan menjadi lebih dingin. Bahu mahasiswa itu dipegang dan diremas kencang.
"Bro, kenalin namaku Raka,” sudah, dia hanya berkata demikian dan membuat mahasiswa itu tidak berani menghubungiku lagi.
Tapi sejujurnya, Raka adalah lelaki yang lembut hatinya dan mudah tersentuh. Dia akan menangis jika menonton iklan sedih buatan Thailand, akan membeli dagangan seorang nenek atau kakek yang lelah mengayuh sepeda, akan merangkulku jika berjalan di kerumunan ramai. Tapi Raka tetaplah seseorang yang misterius. Dia tidak mudah untuk mengungkapkan isi hatinya. Ketika dia merasa tidak tahan, dia akan menulisnya menjadi sebuah tulisan panjang. Mantan-mantannya atau orang lain yang disayanginya akan terkenang di tulisannya. Hingga pada suatu ketika, aku memintanya untuk jujur tentang perasaannya kepadaku.
“Han. Aku capek ditolak cewek. Salahku sendiri sih suka sama pacar orang. Ternyata wanita itu masih waras dan setia, dia lebih memilih orang yang juga menjaga hatinya, aku kagumi dan hargai itu. Tapi kalau kamu jomblo, bisa tidak kalau kita pacaran saja?” kata Raka saat kami berada di atas motor, dia melajukan motor pelan ketika mengatakan itu.
“Iya, Mas. Mau kok,” balasku singkat “Tapi aku nanti minta bunga ya, Mas.”
“Iya gampang. Di parkiran kampus ada banyak hahaha.”
“Yang gede dong.”
“Iya gampang. Sekarang kita kan sudah pacaran. Enaknya ngapain ya?”
“Emmmm makan bakso enak kali ya.”
“SETUJU.”
***
Kisahku dengan Raka tidak selalu mulus. Meskipun dia baik, sering berpuisi, menolong orang, tapi dia seakan tidak peduli dengan dirinya sendiri. Aku sering marah ketika dia bangun kesiangan karena begadang, aku banting laptopnya yang membuat dia lupa waktu, bahkan aku pernah meminta putus. Ketika aku melontarkan kata putus, dia hanya diam saja, malah kembali menghisap rokok dan asapnya diarahkan ke bawah. Aku menangis saat itu, tapi dia menghapus air mataku, menegakkan kepalaku, kemudian dia tersenyum.