“Dek Hana. Selamat ya sudah lulus. Aku di Jogja nih, bisa ketemu?”
Pesan dari seseorang yang tidak aku kenali nomornya membuatku menerka. Aku termasuk orang yang paling sebal kalau nomorku disebar sembarangan tanpa seizinku. Cukup lama aku tidak membalas pesan tersebut, tapi penasaran juga. Akhirnya aku cek profilnya. Namanya adalah Latif. Setelah aku mengingat, dia adalah anak kepala desaku, kakak kelasku saat SMA dulu.
“Mas Latif ya?”
“Iya. Ngopi yuk.”
“Boleh.”
“Mau aku jemput?”
“Aku berangkat sendiri.”
Setelah dandan seadanya, aku menuju tempat yang sudah diberitahu Latif. Tidak jauh juga dari kosku, jadi aku tidak keberatan untuk berangkat sendiri. Aku tidak memberitahu Raka tentang pertemuan ini. Tapi aku merasa tidak enak. Sepanjang perjalanan aku was-was. Bagaimana seandainya Raka tahu, temannya menyebar di segala penjuru, bisa saja ada yang mengadu. Tapi aku merasa ini tidak apa-apa. Lagipula ini hanya pertemuan biasa antara pemuda dan pemudi desa.
Memang mungkin akan kacau kalau Raka memergokiku. Tidak bisa membayangkan jika Raka menggunakan tangan kirinya lagi untuk nabok orang. Aku malah ngeri sendiri. Sempat aku ingin mengabarinya saat sudah di tengah perjalanan, tapi arus kendaraan yang ramai membuatku terjebak. Akhirnya aku memutuskan tidak melakukannya.
Akhirnya aku sampai di tempat yang sudah ditentukan. Aku masuk ke dalam dan mencari letak duduk Latif. Hingga aku menemukan orangnya. Dia berdiri kemudian menjabat tanganku.
“Wah Hana, sudah lama tidak bertemu ya. Silakan duduk. Mau pesan apa?”
“Iya, Mas. Aku pesannya nanti saja. Tumben ke Jogja.”
“Iya. Sengaja mau nemuin kamu.”
“Ada apa, Mas?”
Raut wajahya seketika berubah menjadi serius. Perasaanku menjadi tidak enak.
“Aku mau ngajak kamu nikah.”
“Ha? Aku baru lulus lho, Mas.”
“Maka dari itu. Kamu punya pacar?”
“Punya.”
“Putusin dia kalau kamu mau nikah sama aku.”
Mood-ku menjadi berubah. Aku jengkel dengan orang seperti ini, seolah dia berkuasa atas segalanya. Toh dia hanya anak kepala desa yang terbiasa menjual nama Bapaknya.
“Kamu kok kurang ajar sih, Mas. Mentang-mentang kamu anak kepala desa.”
“Bukan begitu, Han. Aku mau serius sama kamu.”
“Tapi bukan begini caranya, Mas.”
“Aku sudah bilang sama Bapakmu.”
“Terus?”
“Disuruh nanya sama kamu.”
“Tidak bisa sembarangan seperti ini dong, Mas. Seenaknya sendiri nyuruh aku putus sama pacarku.”
“Pacarmu bisa apa sih, Han?”
“Kamu meremehkan orang ya.”
“Tidak meremehkan. Lihat realitanya dong. Aku bisa kasih kamu apapun kalau kamu mau nikah sama aku.”
“Aku tidak tertarik. Sana bilang sama Bapakku.”
Tidak ada tambahan kata-kata lagi, aku menggebrak meja kemudian meninggalkan Latif di pertemuan yang singkat itu. Payah sekali, seharusnya dia basa-basi dulu, cerita apa dulu gitu, bukannya malah langsung menjerumuskan ke dalam pembahasan yang norak. Orang semacam itu sangatlah kejam. Latif tidak mempunyai cinta untukku, yang ada hanya ambisi dan nafsu dalam menguasaiku. Latif memanggilku berkali-kali tapi aku terus saja berlalu. Orang-orang di sekitar memperhatikan, tapi aku tidak ambil pusing. Membuang waktu saja. Kalau tahu gini, lebih baik aku gunakan waktu untuk revisi skripsiku setelah sidang.
Di perjalanan menuju kos, aku terus saja mengutuk Latif yang kurang ajar itu. Bisa-bisanya dia menyuruhku putus dengan Raka. Memangnya siapa dia. Dia cuma sebongkahan daging yang tidak berguna, tidak punya hati juga. Aku menaruh sebal ke Bapakku. Bisa-bisanya meloloskan orang seperti Latif. Aku ingin makan seblak yang pedas supaya rasa kesalku hilang. Akhirnya aku memutuskan untuk membelinya, kebetulan di jalan yang akan aku lewati ada seblak enak dan menjadi favorit.