Kisah-kisah tentang Raka masih banyak yang ingin aku bongkar. Meskipun dia terlihat baik, kalem, tenang, tapi dia adalah pembohong ulung, seorang juru taktik yang ahli dalam memenangkan konflik. Seringkali aku takut ketika menghadapi Raka. Saat dia tiba-tiba menjadi lebih dingin, datar nada suaranya seperti mengintimidasi, atau ketika kami sedang ngobrol tapi dia tanpa menyelipkan senyum.
Suatu ketika dia pernah membohongiku. Sebelumnya kami bertengkar karena masalah yang sebenarnya sepele. Aku sebagai wanita, tentu saja gengsi meminta maaf duluan. Seharian aku tidak membalas pesannya, masih ada rasa kesal di dalam hati, tapi di lubuk hatiku senyum-senyum sendiri melihat Raka yang mati-matian membujukku. Hingga malam aku sengaja tidak membalas pesannya. Entah, semakin lama hubungan, semakin banyak juga hal-hal kecil yang bisa dijadikan bahan keributan.
Ketika itu aku sedang duduk di bangku yang ada di halaman kos. Sambil membaca buku, aku berharap ada pesan dari Raka. Aku khawatir dia ikut-ikutan marah dan ngambek. Tidak lama setelah itu, aku melihat Raka menuntun motornya lewat depan kosku. Dia berdiri sambil memandangku.
“Ban motorku bocor. Boleh mampir?”
Aku pura-pura memasang wajah jutek, tapi hatiku senang tidak karuan. Lantas aku buka pagar kos, mempersilakannya masuk, kemudian dia memarkirkan motornya. Cepat-cepat aku kembali duduk tanpa memberikannya sesajen seperti biasa. Jujur, saat itu aku hanya pura-pura cuek.
Raka duduk di sebelahku. Aku menutup wajahku dengan buku. Kami diam cukup lama. Aku melirik sedikit dari balik buku, ternyata Raka memperhatikanku dengan lekat sambil tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum? Ngerasa ganteng?”
“Oh sudah bisa ngomong ternyata. Padahal sudah pengen aku bawa ke pengobatan saraf alternatif,” kata Raka dan aku tersenyum mendengarnya.
“Jauh nuntun motornya?”
“Jauh banget. Tambal ban pada tutup.”
“Habis dari mana memang?”
“Habis dari nyari kabarmu. Seharian nyuekin pesan.”
“Lagian Mas sih ngajak berantem.”
“Iya, maaf ya.”
“Aku kan cuma ngobrol sama temanku. Toh kami ada tugas satu kelompok, Mas. Jangan ada pikiran macam-macam.”
“Iya, iya. Maaf lagi deh.”
“Iya, dimaafin. Kamu kok cemburuan banget sih, Mas?”
“Mana ada lelaki yang tahan melihat wanitanya nampak dekat dengan lelaki lain?”
“Hiiih kan kami ngerjain tugas kelompok.”
“SIAP. DIMENGERTI.”
“Aku bikinin minum ya. Pasti capek nuntun motor jauh.”
“Iya, terima kasih. Aku juga pengen ngomong jujur sama kamu,” kata Raka dengan nada bicara yang datar. Aku hanya mengangguk, kemudian menuju dapur. Aku selalu takut ketika Raka berbicara dengan nada datar seperti itu.
Sesajen yang aku siapkan seperti biasanya, teh hangat tawar dan beberapa cemilan. Aku melihatnya dari kejauhan, Raka menunduk sambil menghisap rokoknya. Aku menduga akan ada pembicaraan yang serius.
“Ini tehnya, Mas.”
Raka menatapku dengan lekat. Tangannya menyentuh lembut jemariku. Lama tangannya menekan lembut jari telunjukku. Matanya kembali menatapku. Mata yang memerah, nampak kurang tidur, sangat sayu.
“Aku mau jujur sama kamu, Han.”
“Ada apa, Mas?”
“Maaf ya, aku sudah bohong sama kamu.”
“Mas Raka bohong soal apa? Mas Raka selingkuh?”
“Lebih parah dari itu?”
“Apa, Mas? Jangan bikin aku was-was.”
“Han, maaf aku sudah bohong sama kamu. Sebenarnya .. . . ”
“APA, MAS?”
“Sebenarnya ban motorku tidak bocor. Tadi di gang depan aku kempesin. Aku ngelakuin itu supaya pas ke kosmu, kamu tidak tega buat ngusir aku hahahahaha alhamdulillah rencanaku berhasil.”
“MAS. AKU BENAR-BENAR SUDAH KASIHAN BANGET LHO TADI.”
“Hahahahaha kamu tuh wanita yang berbeda, Han. Sejengkel apapun kamu, tapi kamu masih peduli”
“LAIN KALI JANGAN GINI SIH, MAS. AKU BAWA MASUK YA TEH SAMA CEMILANNYA. MANGKEL BANGET AKU HAHAHAHA. SUDAH, MAS RAKA PULANG SANA. AKU NGUSIR NIH”
“Yeeee tega. Aku barusan hubungin Anis, minta tolong dibawain pompa angin. Nah, nanti setelah itu baru deh boleh ngusir. Yang penting kan kita sudah baikan.”