Ada perasaan sedih ketika aku berjalan ke gelanggang tempat berlangsungnya wisuda. Aku dan beberapa teman baikku berjalan beriringan, mengenakan toga, melebarkan senyum, tentu saja sambil menghisap rokok. Pagi ini kampus ramai sekali. Wajah-wajah bahagia terpampang. Orangtua, peserta wisuda, penjual pernak pernik, semua menampilkan senyum. Aku menatap lekat nama kampusku, kali ini tidak seperti biasanya, aku tiba-tiba terharu. Setelah kuliah dengan durasi yang sangat lama, diancam surat DO, pengerjaan skripsi yang penuh jeritan dan air mata. Hari ini kami akan dinobatkan sebagai sarjana.
Sebenarnya anak-anak seangkatanku banyak yang wisuda hari ini. Tapi sebagian dari mereka wisuda sebagai mahasiswa S2. Beberapa dari mereka yang mengenalku langsung menghampiri dan mengucapkan selamat. Mereka mengira aku sudah kena DO. Di hari bahagiaku, Hana malah belum ada kabar. Dia belum kulihat batang hidungnya, pesanku juga belum dibalas. Padahal orangtuaku ingin sekali bertemu dengannya.
“Hana belum datang, Ka?” kata Anis.
“Belum.”
“Santai, Ka. Mungkin dia di perjalanan. Sudah, jangan sedih. Kita fokus wisuda saja.”
Tidak biasanya Hana seperti ini. Dia selalu antusias dengan sesuatu hal yang bersangkutan denganku. Aku masih menaruh dugaan baik, mungkin Hana melakukan hal ini karena menyiapkan kejutan untukku. Tapi dugaan itu perlahan luntur di saat aku mengingat sudah beberapa hari dia tidak membalas pesanku. Aku takut dia meninggalkanku karena ada lelaki lain yang lebih baik dariku. Dugaan-dugaan itu mengganggu pikiranku. Semoga hari ini dia datang.
Bangsat. Ternyata bukan jurusanku saja yang terdapat mahasiswa semester 14 yang baru wisuda. Banyak sekali mahasiswa semester 14 yang hari ini baru merasakan ademnya memakai toga. Beberapa tidak asing di mataku, ada dari mereka yang dulu pernah ada masalah denganku, ada juga yang pernah aku beri perhitungan dulu. Maka hari ini dendam-dendam di masa lalu tidak perlu diungkit lagi. Kami bertemu, menanyakan kabar, saling memaafkan. Memang, sebagai mahasiswa tua, idealisme saat menjadi mahasiswa perlahan luntur.
Aku tersenyum lebar saat duduk di kursi yang telah disediakan. Ternyata seperti inilah rasanya wisuda. Sungguh terasa tentram, sedikit deg-degan, senang bukan main. Acara dimulai, dan aku ikut dengan khusyuk. Aku tidak ingin guyon dan melakukan tingkah-tingkah aneh seperti biasanya saat di kampus. Aku ingin menjadi mahasiswa yang baik di acara ini. Adik-adik tingkat yang mengenalku tersenyum kepadaku dan melambaikan tangan. Dulu beberapa dari mereka aku yang mengospeki, tapi hari ini kami wisuda bersama.
Pengukuhan berlangsung. Satu persatu mahasiswa dipanggil untuk pemindahan tali. Dekan yang akan memindahkan taliku adalah seseorang yang dulunya pernah aku demo. Semoga beliau tidak mengenaliku hehehe. Dekanku orangnya keren, menaruh perhatian kepada mahasiswa tingkat akhir yang terancam DO, seorang yang pengertian bahkan mau terjun langsung dalam membantu mahasiswa.
Akhirnya namaku dipanggil. Aku tegap berdiri, melangkah dengan pasti ke arah depan, kemudian sedikit menunduk supaya dekanku mudah memindahkan tali. Kami saling menatap. Meskipun beliau ditutupi masker, tapi aku melihat tanda-tanda senyuman di sana.
“Selamat ya, Raka,” kata beliau.
“Terima kasih, Bu,” jawabku.
Meskipun Hana belum aku lihat batang hidungnya, tapi aku harap dia melihat dari Youtube sekarang. Aku bisa sampai tahap ini juga karena bantuannya, motivasinya, dan ngambeknya. Tentu banyak orang yang berjasa kepadaku, mulai dari orangtua yang tidak henti-hentinya menanyakan kapan lulus, Pak Samsul yang sabar dan baik hati, Pak Yoseph yang selalu cekatan mengurusi administrasi, tukang fotocopy yang selalu siap direpoti, Fauzi yang rumahnya kami jadikan markas penggarapan skripsi, teman-teman Illuminati yang selalu memberi wejangan, dan banyak lagi. Aku berhutang budi kepada mereka.
“Dis, Hana sudah datang?” aku mengirim pesan kepada Dista. Dia di markas Illuminati dengan yang lain.
“Belum, Ka.”
“Oke. Terima kasih.”
Hana belum terlihat. Padahal acara wisuda hampir selesai. Aku khawatir Hana sedang ada masalah. Orangtua Hana juga belum memberikan jawaban. Hal itu semakin membuatku gundah. Apalagi orangtuaku, hari ini berharap bertemu seseorang yang sering aku ceritakan setiap ada perbincangan. Entah, aku tidak tahu Hana ada di mana.
Bapakku bahkan mempunyai rencana gila. Beliau akan membawa keluarga besarku ke Banjarnegara setelah acara wisuda, tapi aku melarangnya. Sejak tadi malam mereka sudah tidak sabar bertemu Hana. Foto-foto Hana sudah aku pamerkan kepada mereka dan sudah merasa cocok. Mungkin dengan tidak hadirnya Hana, bisa membuat keluarga besarku kecewa. Pertanyaan-pertanyaan terus berkecamuk di pikiranku, aku tidak tenang. Mengapa di hari penting seperti ini, Hana malah tidak ada kabar.
Acara wisuda akhirnya selesai. Aku galau, tapi teman-temanku merangkulku. Fahmi memberikan nasihat supaya aku tidak berpikiran macam-macam, pasti Hana mempunyai alasan. Kami menuju markas Illuminati dengan percaya diri. Gedung-gedung kampus yang kokoh berdiri menyambut gelar baru kami sebagai seorang sarjana. Satpam-satpam kampus melambaikan tangan kepada kami, adik-adik tingkat yang mengenal kami pun demikian, banyak bunga dan kado aku dapatkan. Tapi yang aku nantikan hanya Hana. Mataku mencari ke mana-mana, tapi tidak aku temukan dia. Anggota Illuminati menyambut dengan meriah. Para keluarga kami juga ikut menyambut dan ikut senang.
Kami duduk melingkar di markas Illuminati. Makanan yang dibawa keluargaku dan sajian yang sudah disiapkan anggota Illuminati dimakan bersama-sama. Di tengah nikmatnya makan, aku melihat sosok Pak Samsul yang berdiri di kejauhan sambil tersenyum ke arah kami. Fahmi mulai berdiri dan berlari ke arah beliau, aku dan anggota yang lain pun mengikuti kelakuan Fahmi.
“SERBUUUUUUUU,” teriak Anis. Teriakan itu menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar, seolah kami sedang di perang badar. Kami memeluk Pak Samsul dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Air mata tentu jatuh dari mata kami. Sekocak Anis, sejaim diriku, sebijak Rizki, dan sedingin Fahmi, kami tidak bisa menyembunyikan air mata.
“Selamat ya, kalian akhirnya wisuda. Jangan lupakan dosen-dosen kalian di sini. Kalian tetap boleh kok main ke sini. Apalagi markas kalian, kalau kalian pergi, lalu siapa yang menjaga markas? Pokoknya kalian harus menjadi sarjana yang bermanfaat bagi orang lain, jaga nama baik almamater, jangan berbuat jahat. Terima kasih, kalian sudah pernah mengisi hari-hari yang menyenangkan di hidup saya. Saya pasti kangen dengan kalian. Jarang-jarang ada mahasiswa seperti kalian. Sudah jangan nangis. Tidak ingatkah kalian, seberapa keren dan kerasnya saat menjadi mahasiswa. Bentak-bentak adik kelas saat ospek, suara lantang saat orasi, diskusi sampai hampir ricuh. Ayo, kalian tidak boleh nangis seperti ini.”
“Iya, Pak. Terima kasih sekali lagi.”
“Tugas saya memang membantu mahasiswa untuk menyelesaikan skripsi. Setelah ini, kalian juga bantu dengan cara mengabdi di masyarakat. Skripsi yang tebal saja bisa kalian babat dalam waktu singkat. Tentu saja kalian punya semangat berjuang yang tinggi. Kalian pasti sukses.”
“AAMIIN.”
Pak Samsul akhirnya pergi, kami memandanginya sampai beliau hilang dari pandangan. Betapa besar jasa beliau kepada kami. Kami juga telah bersumpah untuk bersaksi di akhirat kelak, bersaksi bahwa Pak Samsul adalah orang baik, haram baginya api neraka menyentuh kulitnya. Aku memandangi teman-temanku dengan rasa bahagia. Bahkan sampai di titik ini, mereka masih setia dalam pertemanan. Aku menepuk satu persatu bahu mereka, mengucapkan terima kasih, tapi kami ogah berpelukan, khawatir dibilang homo.
Kami kembali ke markas dan melanjutkan acara makan-makan. Tadinya Pak Samsul kami ajak, tapi beliau buru-buru karena ada acara. Orangtuaku sudah gundah menantikan Hana yang tidak kunjung datang. Dista yang menangkap keresahanku mencoba menenangkanku. Rika si anggota baru juga turut hadir dan memberikan kado kepada kami. Tapi kado yang diberikannya kepada Anis terlihat lebih besar dari yang lain.
“Spesial buat Bang Anis,” kata Rika.
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOH,” ucap kami serempak.
“Bau-bau jadian nih,” kataku.
Tidak ada jawaban, tapi Rika dan Anis hanya tersenyum tersipu malu. Rika menyenggol Anis kemudian menyembunyikan wajahnya.
“Lho, jadian?” kata Fahmi.
“Hehehehe iya,” jawab Anis.
“ALHAMDULILLAAAAH.” Kata kami serempak kompak.
“Akhirnya si tua bangka ini ada yang mau hahahaha.”
“HIDUP ANIS.”
“HIDUP.”
“HIDUP.”
“MATI O AE SUUUUUU.”
Dan hingga acara selesai, Hana belum juga terlihat. Aku bahagia, tapi hatiku murung.
“Besok jangan lupa ya acara makan-makan di rumah Fauzi.”
“SIAAAAAP.”
“Aku izin, tidak enak ninggal suami terus,” kata Dista.
“IYAAAAA.”
***
Aku dan keluargaku foto di studio. Ibuku bahkan sudah menyiapkan baju seragam untuk Hana. Kali ini sia-sia baju itu dibawa. Orangtuaku terus menanyakan keberadaan Hana, dan Hana belum ada kabarnya.
“Pacarnya Kak Raka jangan-jangan tokoh anime hahahaha,” kata adikku.
“Muatamuuuu,” jawabku.
“Yaudah tidak apa-apa. Mungkin Hana ada acara,” kata Bapakku. Ibuku menenangkanku.
“Kalau jodoh pasti bakal ketemu,” kata Ibuku.
Keluargaku langsung pulang setelah foto studio dan makan-makan. Aku melepas kepergian mereka dengan perasaan yang tidak menentu. Aku merasa bersalah karena gagal mempertemukan mereka dengan Hana. Sebelum pulang, Bapakku membisikkan sesuatu “Kalau Hana tidak siap, Bapak punya calon yang pasti”. Namun, aku tidak menanggapinya.
Aku kembali ke kos dengan gundah. Pintu kamar aku tutup, membuka hp kemudian melihat foto-fotoku bersama Hana. Aku menatap langit-langit kamar, cicak saling berkejaran, kemudian aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu. Aku bersemangat membukanya dan berharap yang mengetuk pintu adalah Hana. Tapi harapanku sirna, ternyata ibu dan bapak kosku.
“SELAMAT WISUDA RAKAAAA. INI IBU DAN BAPAK PUNYA HADIAH BUAT KAMU.”
“Wah terima kasih, Bu, Pak.”
“Cuma kado sederhana, Ka. Bapak harap kamu suka ya.”
“Pasti saya suka.”
“Kamu di Jogja masih lama kan?”
“Iya, Bu.”
“Sebagai hadiah tambahan. Bapak sama Ibu ngasih kamu bebas tinggal di sini selama enam bulan tanpa bayaaaaar.”