BUNGAKU

Arai Merah
Chapter #12

HALO, HANA? #12

Hana masih belum ada kabarnya. Malam ini aku terus menerus mencoba menghubungi, tapi tidak ada hasil. Semisal dia jenuh dengaku, semoga dia memaafkanku. Semisal dia mencoba menjauh, setidaknya memberikan alasan. Atau semisal dia tidak ingin bersamaku, semoga dia bahagia dengan yang lain. Sebenarnya cinta tidak perlu memaksa. Jika Hana ingin pergi maka aku persilakan. Namun, kami sudah melewati banyak waktu dan masa. Tentunya akan cukup berat untuk sekadar melepas dan melupakan semua itu.

Aku tidak tenang di atas kasur, hanya menatap langit-langit kamar yang sudah usang. Lampu kamar remang-remang, aku menutupi wajahku dengan bantal berharap bisa sedikit mengantuk. Namun, pikiran tentang Hana masih dahsyat berkecamuk di pikiranku. Sudah berhari-hari aku tidak mendengar indah suaranya, kalimat cinta darinya, atau ucapan sebelum tidur yang selalu aku nantikan.

Hilangnya Hana begitu mendadak, padahal kami baik-baik saja. Aku sungguh bingung dengan sikap Hana yang seperti itu, tidak biasanya dia seperti ini. Paling ketika dia ngambek hanya mendiamkanku sehari aja, setelah itu kami akan berbaikan. Aku tidak ingin gegabah perkara hal ini. Bisa saja saat ini juga aku ke Banjarnegara untuk menemuinya. Tapi lebih baik aku menunggu sedikit titik terang.

Besok aku akan mengajak Salwa jalan-jalan. Sebenarnya ini akan menyakiti perasaan Hana jika dia tahu. Tapi biarlah, lagipula aku tidak akan macam-macam dengan Salwa. Di hatiku tetap ada Hana, tidak ada yang lain. Dia begitu sulit untuk dikalahkan. Sudah berkali-kali ada wanita yang mencoba masuk paksa ke dalam hatiku, nyatanya Hana selalu menjadi pemenangnya. Tidak ada wanita seperti Hana dalam memperlakukanku. Begitu sabarnya dia dalam menghadapiku yang kadang-kadang sangat dingin, sering kalap, tidak sabaran. Hana selalu menjadi obat penenangku.

Aku kembali dikagetkan suara telpon masuk. Masih mengharapkan kalau itu adalah Hana, tapi ternyata itu Bapakku. Aku sudah menduga apa yang akan ditanyakan.

“Halo, Nak. Sudah ketemu Salwa kan?”

“Sudah, Pak. Persekongkolan Bapak memang bahaya banget.”

“Kok bahaya? Hahahaha.”

“Salwa disuruh naik travel ke Jogja sendirian. Kalau hilang gimana coba?”

“Wah wah wah khawatir ya? Kalau hilang kan ada polisi, kalau jodoh ya bakal ketemu. Gitu.”

“Iya, Pak.”

“Baik-baik sama Salwa. Bapak bukannya tidak setuju kalau kamu sama Hana. Tapi yang ini coba dijalanin dulu. Kalau cocok ya alhamdulillah, kalau tidak cocok ya anggap saja kamu ketemu teman baru.”

“Iya, Pak.”

“Yasudah. Bapak mau jaga ronda dulu.”

“Siaaap.”

Entah mengapa Salwa juga berkecamuk di pikiranku. Sejujurnya dia adalah wanita yang baik, sabar, penuh hal-hal baru yang membuatku tertarik. Aku tidak mungkin melakukan poligami. Pasti ada salah satu dari mereka yang menjadi pemenang di hatiku. Lagipula keluargaku membuatku bimbang dengan hal ini. Ingin sekali aku pergi ke masa depan kemudian menengok siapa istriku nantinya.

Aku memaksa mata untuk terlelap. Lampu kamar aku matikan dan hanya menyisakan lampu di meja kerjaku. Alunan lagu dari Cigarettes After Sex mengalun lembut sebagai pengiring tidur. Perlahan mataku mengantuk, beberapa saat kemudian akhirnya aku bisa terlelap. Seperti biasa, setiap tidurku aku berharap bisa memimpikan Hana. Tidak bisa bertemu dengannya secara langsung, setidaknya bisa bertemu di alam imajinasi.

***

Alunan azan subuh menggetarkan hatiku. Perlahan aku bangkit dari kasur, sedikit menguletkan badan, kemudian pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Aku berkaca dan melihat wajahku yang tidak karuan kacaunya. Kubentangkan sajadah dan mulai sholat. Tidak biasanya aku sholat subuh tepat waktu, biasanya pagi buta Hana ke kosku untuk membangunku.

Doaku subuh ini lebih lama dari yang biasanya. Aku mendoakan keluargaku, teman-teman Illuminati, para guruku, dan khususnya untuk Hana. Aku berharap dia cepat-cepat memberikan kabar supaya aku tidak berpikiran macam-macam. Dia tidak pernah selama ini kalau ngambek.

“Yaa Allah, seperti biasanya ya. Aamiin.”

Aku kemudian duduk di kursi depan kamarku dan mulai membakar sebatang rokok. Kopi bekas semalam aku minum lagi. Tidak seperti biasa, subuh ini sedikit hangat dan malah membuatku merinding. Aku menoleh ke segala arah tapi tidak aku temui hantu-hantu yang sering lewat. Lagipula di jam segini mereka sudah selesai keluyuran. Perasaanku tidak enak dan tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku membuka hp, mencari nama Salwa, kemudian menelponnya.

“Halo, Salwa.”

“Iya, gimana, Kak?

“Masih ngantuk atau sudah seger?”

“Sudah seger kok, Kak. Kenapa?”

“Nyari sarapan yuk. Sekalian kamu ganti baju buat jalan-jalan."

“Sekarang banget nih?”

“Iya.”

“Yaudah. Kak Raka nanti nunggu di Lobby ya. Kabari kalau sudah sampai. Eh jangan ngebut ke sininya, soalnya aku dandannya lama hahahaha.”

“Waduuuuh santai. Aku sudah terbiasa nunggu cewek dandan.”

“Mbak Hana belum ada kabar, Kak?”

“Belum ada kabar.”

“Semoga secepatnya ada kabar ya, Kak.”

“Aamiin.”

Malas sekali mandi di pagi seperti ini. Aku hanya mencuci muka dengan sabun, memakai parfum, mengganti kaos kaki yang sudah berbau bangkai. Aku menciumi jaketku yang kemarin aku pakaikan ke Salwa. Bekas parfumnya masih ada, aku hirup dalam-dalam. Aku putuskan untuk memakai jaket lain saja. Mungkin akan kacau kalau aku memakai jaket yang kemarin. Bisa-bisa aku malah terbayang wajah Salwa. Di dalam hubungan, memikirkan orang lain secara intim dan mesra termasuk ke dalam pengkhianatan.

Matahari masih malu-malu muncul. Lalu lintas Yogyakarta juga belum ramai. Aku melajukan motor sambil berdendang kecil tentang lagu-lagu favoritku. Aku dan Hana memiliki lagu favorit yang sering kami dengarkan bersama dengan membagi earphone. Lagu itu berjudul Bayang-bayang yang dibawakan oleh Dewa 19. Biasanya ketika kami mendengarkan lagu itu bersama, kami membuat pertandingan. Pertandingannya adalah kami saling menatap sambil tersenyum, yang tertawa berarti kalah.

Hana selalu bisa membuatku tenang dengan pertandingan-pertandingan kecil yang dia buat. Dia selalu bisa menghiburku. Dia juga wanita yang hebat. Di tengah masa pms, bukannya aku yang menjadi pawangnya saat mengamuk, malah dia kadang yang menjadi pawang untukku. “Kalau Mas Raka anteng, aku juga anteng” Kata Hana dulu.

Akhirnya aku sampai di hotel tempat Salwa menginap. Aku menunggunya di sofa panjang sambil sesekali memeriksa hp, berharap Hana memberi kabar. Suara Salwa mengagetkanku. Aku pandangi dia. Pagi ini dia cantik sekali, dibalut baju yang selaras dengan senyumnya.

“Bawa jaket kan?” tanyaku.

“Bawa, Kak,” jawabnya.

“Kita sarapan gudeg yuk.”

“Mau bangeeet. Pertama kali ini bakal nyoba gudeg.”

“Yuk berangkat.”

“Yuk.”

Ternyata agak sedikit mendung pagi ini. Pantas saja matahari belum muncul sejak tadi. Ketika mendung, aku selalu ingat kali pertama bertemu Hana. Bertemu saat hujan, di salah satu ruko di Taman Siswa, kemudian aku meminjamkan jas hujan. Aku senyum-senyum sendiri ketika mengingatnya, sedangkan Salwa merangkul erat tubuhku dari belakang.

Aku mengajak Salwa sarapan gudeg di belakang OB yang ada di Nologaten. Gudeg ini adalah favoritku sejak dulu. Harganya murah, tapi rasanya juara. Aku dan Salwa duduk di tikar sambil menikmati teh hangat terlebih dahulu. Salwa terus menerus menampilkan senyumnya. Dia nampak bahagia pagi ini.

“Kak, semisal nantinya kita tidak berjodoh, aku tetap senang karena mengenal Kak Raka.”

“Masih pagi lho ini. Sudah berat saja pembahasanmu. Hahahaha aku juga senang kenal kamu, Sal.”

Gudeg yang kami tunggu akhirnya datang. Salwa begitu terkejut dengan rasa gudeg, katanya enak sekali.

“Wah, kamu juga harus nyoba ayam Olive, geprek kuah tongseng, sate di Imogiri. Semuanya enak banget lho.”

“Mau dong, Kak”

“Iya, nanti ya sekalian kita jalan-jalan.”

“Mau jalan-jalan ke mana, Kak?”

“Entah. Nanti dipikir sambil jalan saja.”

“Kak Raka tipe orang yang spontan ya?”

“Uhuuuyy. Iya, aku suka yang spontan.”

“Uhuuy.”

“Hahahahaha.”

Hari masih terlalu pagi untuk jalan-jalan. Hujan juga nampaknya akan turun. Aku mengajak Salwa ke kosku untuk menunggu hujan yang akan lewat. Selain itu, aku juga lupa membawa jas hujan. Awalnya Salwa keberatan untuk ke kosku. Dia tidak pernah ke kos cowok sebelumnya. Tapi kujelaskan bahwa tidak akan terjadi hal yang macam-macam. Akhirnya dia mau.

“Kosnya Kak Raka bebas ya?”

“Iya, bebas banget. Santai saja Salwa.”

Lihat selengkapnya