Aku berjalan lemas menyusuri koridor rumah sakit. Pandanganku kosong dan tidak bicara apa-apa. Fahmi merangkulku sambil mengusap punggungku. Sedangkan yang lain bercucuran air mata. Mataku kosong menatap, memerah, tapi tidak menangis. Ketika seorang lelaki yang sedang dirundung kesedihan, tapi air matanya tidak jatuh, itu tandanya dia sedang mengalami kesedihan yang teramat dalam.
Air mataku baru mulai jatuh ketika Bapaknya Hana datang menyambut kami kemudian memelukku sambil menangis.
“Seharusnya saya beritahu Mas Raka beberapa hari yang lalu,” kata Bapaknya Hana sambil menangis. Bibirku bergetar hebat karena menahan tangisan, air mata kami tumpah seluruhnya, badanku menjadi lemas dan tersungkur. Sigap Fahmi dan Rizki menahan tubuhku. Hatiku hancur sehancur-hancurnya, mulutku kaku, hanya air mata yang menggambarkan kesedihanku.
Sebelum ke ruangan, aku diajak duduk untuk menenangkan perasaanku. Harusnya aku kuat dan tidak menangis. Hana sangat melarangku untuk sedih, apalagi menangis. Termasuk saat aku menonton film-film sedih, aku dilarang untuk menangis. Namun, ini adalah kesedihan yang nyata ada di depanku. Hana sudah tidak ada lagi di kehidupanku selamanya.
Ibunya Hana menemuiku kemudian mencium kedua pipiku. Matanya yang merah dan sembap membuatku bertambah sedih. Aku larut di pelukannya. Seharusnya aku yang menghibur beliau berdua, malah aku yang dicoba untuk dihibur. Kami menangis sejadi-jadinya. Anis memelukku dari belakang, membisikkan kalimat-kalimat indah agar hatiku tenang. Jujur, aku bingung harus berbuat apa.
“Hana tiba-tiba tidak sadarkan diri pas mau ke Jogja, mau ke wisudanya Mas Raka. Hana dari dulu memang punya penyakit bagian dalam, Mas. Dia memang tidak mau nyeritain ke teman-temannya. Maafin Ibu juga tidak langsung ngabarin. Ibu khawatir jadi beban pikiran buat Mas Raka.”
Mulutku seakan terkunci dan tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya diam dan sesenggukan. Wajahku penuh keringat, Fahmi dan yang lainnya masih erat memelukku.
Kami menunggu Hana yang sedang dimandikan. Badanku masih sangat lemas. Mereka yang ada di sana menghiburku mati-matian, tapi nyatanya aku seperti orang linglung yang segera mati.
“Ka, sabar ya. Ada kami di sini. Jangan nangis gini dong. Kamu kan paling keren di antara kami, paling galak di antara kami, paling garang pula. Ayo dong. Kan Hana ngelarang kamu buat sedih,” kata Anis. Namun, aku masih saja diam sambil sesenggukan. Pelukan Anis semakin erat.
“Bang Anis, jangan nangis di depan Raka,” kata Fahmi. Namun, Fahmi juga menangis menatapku. “Kita jangan nangis,” lanjutnya. Sebanyak apapun kalimat-kalimat indah dan menenangkan, tidak ada satu pun yang menentramkan hati kami.
***
Kini aku bisa jelas melihat wajah ayu yang selalu aku kagumi dan belai ketika bertemu. Sekarang amat dingin saat aku sentuh. Tidak lagi hangat seperti saat terakhir kali kami bertemu. Aku memandangi wajah Hana yang sudah terbujur kaku. Tangisan yang lain semakin keras, sedangkan aku hanya diam seperti orang linglung. Perlahan air mataku jatuh sekali lagi, kemudian semakin deras hingga aku tidak kuat lagi. Aku berteriak kencang kemudian rubuh sekali lagi.
“Rakaaaa, sudah dong. Jangan nangis,” kata Fahmi.
Aku masih saja menjerit dan membuat orangtua Hana bertambah sedih. Ditinggalkan kekasih yang sangat aku cintai dan dia juga mencintaiku. Kami saling mengasihi, saling berbagi kesedihan dan kedukaan. Namun, sekarang kepada siapa lagi aku menumpahkan itu semua?
Selama ini hanya Hana yang betah mendengar racauanku, curhatan tidak penting, atau sekadar mendengarkan suara nyanyianku yang sumbang. Hanya Hana yang seperti itu, Hanya Hana, tidak ada yang lain. Aku mengingat kenangan-kenangan kami yang indah. Tentang dia yang manja, dia yang selalu sigap membuatkanku teh tawar hangat, dan dia yang mau diajak makan sederhana di Angkringan Kali Code. Hanya Hana yang betah menghirup aroma tubuhku meskipun belum mandi tiga hari setelah turun Gunung, hanya Hana yang betah duduk lama-lama berboncengan denganku untuk bertualang keluar kota, hanya Hana yang menjadi penangkal kemarahanku.
Kini dia tidak ada lagi. Di dunia ini hanya ada satu Hana. Semisal di suatu ketika aku menemukan penggantinya, belum tentu dia sebaik dan setabah Hana dalam menghadapiku. Hana sudah berada di alam lain yang jauh dariku. LDR antar kota rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan LDR beda alam. Aku memandang tubuh kaku Hana dengan pandangan kosong. Masih menganggap ini semua adalah mimpi di dalam tidurku. Namun, ini semua adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Hana orang baik yang menyayangiku. Maka dari itu, aku akan terus mencintainya.
Kekasih, kamu manusia
Sedangkan aku bumi
Meskipun arwah dan nyawamu pergi
Tapi sisa tubumu masih di sini
***