Tiga bulan sejak kepergian Hana, aku menjadi seorang pemurung. Aku sudah mencoba berbagai cara agar kembali ceria. Aku sudah pulang ke rumah, berharap akan tenang sementara di sana. Aku sudah jalan-jalan mengitari kota, makan kuliner kesukaanku. Namun, semua itu belum membuatku ceria lagi. Minggu lalu juga sudah ke pusaranya Hana. Kami dekat sekali saat itu. Tapi aku di atas tanah dan Hana di bawah tanah. Aku sadar sudah tidak bisa melihatnya lagi kecuali lewat mimpi, khayalanku, dan foto-fotonya. Kini aku beranggapan bahwa orang-orang lemah sekali jika hanya sebatas menanggung rindu kepada seseorang yang masih bisa ditemui.
Malam ini, setelah menyelesaikan pekerjaanku. Aku duduk menyepi sendirian di bangku warung kopi kesayangan Hana. Jika kami ke warung kopi ini, dia selalu minta untuk duduk di sini. Biasanya kami duduk berjam-jam sambil membahas apapun yang lewat di kepala sampai kehabisan topik. Jika topik pembahasan habis, maka kami akan jalan-jalan hingga bosan. Rasa-rasanya arwah Hana selalu di sampingku.
Pukul sebelas malam, lagu di warung kopi menjadi lebih lembut. Kebetulan lagu yang terputar adalah kesukaan Hana yaitu Dealova. Hana sering mendengarkan lagu itu. Pelan dan penuh khusyu' aku resapi setiap baris lagu yang indah dilantunkan Once. Tiba-tiba aku senyum-senyum sendiri saat mengingat percakapan kami dulu.
"Enakan Dealova versinya Opick sih. Lebih religius," kataku. Hana tertawa keras seakan-akan mengejek pilihanku.
"Religius religius mwatamuuuu, Mas. Kamu kan orangnya nggak religius, Mas. Enakan versi Once dong."
"Nggak religius gimana. Aku shalat lima kali sehari plus sunah-sunahnya."
"Iya deh Akhiiiii Raka."
Kenangan-kenangan baik tentang Hana selalu menyelimutiku. Sampai-sampai aku berpikiran bahwa tidak ada lagi wanita seperti Hana di dunia ini. Hana tidak akan terganti oleh kehadiran wanita lain. Namun, aku sadar bahwa mungkin di suatu ketika yang entah kapan datangnya, aku akan membuka hati lagi, menerima kehadiran wanita lain untuk mengisi hati, tapi entah aku akan bahagia atau tidak.
Salwa semakin gencar mendekatiku lagi. Sesekali dia menelponku dan mengajaku bicara panjang lebar. Jujur, cara dia bicara dan cerewetnya persis dengan Hana. Namun, sekali lagi, dia bukan Hana. Tapi juga aku ditampar oleh kenyataan bahwa selamanya Hana akan pergi dari pandanganku.
Fahmi yang tidak aku ketahui dari mana datangnya tiba-tiba menjitak kepalaku pelan.
"Dicari ke kos malah di sini," kata Fahmi dengan nada kesal yang dibuat-buat, kemudian dia duduk.
"Lha kamu nggak ngirim pesan dulu."
"Udah aku kirim whatsapp tadi."
"Hahahaha belum ngecek hp tadi."
Beberapa anggota ILLUMINATI masih bertahan di Jogja. Tapi menurut kabar, Fahmi akan kembali ke kampung halamannya untuk menjadi Mandor Proyek. Sedangkan Hasan, Rizki, dan Anis masih belum jelas akan ke mana. Kalau aku sementara ini ingin bertahan di Jogja. Mereka sudah bisa lega karena melihatku yang sedikit mendingan dibanding bulan lalu. Kini aku sudah bisa diajak bercanda lagi, ngomong kata-kata jorok, bertingkah seperti orang gila, dan kami masih sering main ke markas ILLUMINATI yang berada di selatan fakultas bukan lagi sebagai mahasiswa tapi alumni.
Jika orang lain malu atau menutup-nutupi lulus di semester 14, kami malah bangga dan memamerkannya ke orang-orang. Aku sangat beruntung memiliki teman-teman yang datang ketika aku terpuruk, datang ketika aku bahagia, dan datang ketika aku membutuhkan mereka. Mereka baik, tapi kadang mereka berubah menjadi sosok bajingan yang menyebalkan. Berkali-kali Fahmi dan Rizki menawariku untuk dikenalkan ke teman mereka yang jomblo. Saat itu Fahmi memperlihatkanku foto temannya di hp-nya.
"Ka, nih kenalin temanku. Anak pondok Wahid Hasyim. Kabar-kabarnya sih tahun ini sudah 30 Juz. Dia belum punya pacar. Rumahnya Semarang. Kalau mau, aku kasih nomornya deh. Kamu udah aku kenalin ke orangnya."
"Terus dia bilang apa?" tanyaku dengan sedikit penasaran.
"Dia bilang: Ooooooh Raka. Siapa sih yang nggak kenal Raka. Mahasiswa pemilik tunggal pohon mangga selatan Fakultas Tarbiyah, tukang mancing dan nyerok ikan di kolam fakultas, tukang ribut, tukang protes, tukang godain cewek, yaaaa tapi cakep sih."
"Njir jelek banget pandangannya kepadaku, Mi. Huhuhuhuhu," kataku sambil pura-pura nangis.
"Tapi Salwa gimana, Ka?"
"Ooooo si Salwa. Masih berusaha deketin aku. Tapi aku cuek aja."
"Kenapa? Ka, kalau Salwa nyerah buat deketin kamu, terus dia ngilang, nanti kamu baru nyesel."