BUNGAKU

Arai Merah
Chapter #15

GLIMPSE OF US #15

Pagi ini aku mengantar Ratna ke Banjarnegara untuk berziarah ke makam Hana. Aku meminjam mobil temanku. Aneh, kenapa jantungku berdegup sangat kencang ketika Ratna masuk ke dalam mobil dan menyapaku. Sekian lama dia di Mesir membuat aura kearab-arabannya semakin kental. Kadang dia nyeplos bicara dengan bahasa Arab. Tentu aku paham apa yang dia bicarakan.

Mobil melaju pelan meliuk-liuk di jalanan Jogja yang sudah sedikit macet pagi ini. Otakku buntu untuk mencari topik pembicaraan dengan Ratna. Aku menduga kalau ini adalah efek lamanya kami tidak bertemu.

"Mesir enak nggak, Rat?" tanyaku dengan basa-basi.

"Hmmmmmm enak sih. Tapi enakan di Indonesia."

"Kenapa?"

"Di Mesir nggak ada nasi padang."

"Hahahaha masih hobi makan nasi padang?"

"Semenjak di Mesir, aku jarang makan nasi padang. Kalau lagi pengen banget ya buat sendiri sama teman-teman. Tapi tetap saja rasanya nggak seenak nasi padang di Indonesia."

"Hahaha oke deh, nanti kita makan nasi padang ya."

"Beneran lho ya. Tapi kamu yang traktir lho."

"Siaaap."

"Eh, teman-teman ILLUMINATI apa kabar?"

"Alhamdulillah mereka sehat tapi masih gila kayak dulu. Fauzi sudah punya anak, Fahmi ditinggal nikah, Rizki jadi pemandu wisata, Riza jadi petani kopi, Fadhil jadi pegawai, Dista hidup bahagia dengan suaminya."

"Hmmmm aku melewatkan momen-momen bahagia dengan kalian ya."

"Rat.. . ."

"Iya, kenapa, Ka?"

"Aku boleh nanya serius sama kamu?"

"I-i-iya boleh. Ada apa?"

Jari-jariku aku mainkan di kemudi. Aku atur napasku dan sesekali menatap ke arah Ratna.

"Ada apa sih, Ka? Jangan bikin aku penasaran deh."

"Anuuu. Kamu pernah makan daging Unta?"

"Kalbuuuuuuuun. Kirain mau nanya apa. Hahahahha."

"Hahahahahha."

Sepanjang perjalanan kami terus berbincang tentang banyak hal. Di beberapa momen, aku terhenyak sebentar. Aku masih terbayang-bayang Hana ketika berbincang riang dengan Ratna seperti ini. Tidak, aku tidak boleh gegabah dalam merumuskan perasaan ini. Mana mungkin seorang Ratna, putri seorang Kiai besar Jawa Timur, hafal 30 Juz, ilmu agamanya sangat dalam, dicintai oleh lelaki urakan, tukang ribut, penjudi terbaik di pulau Jawa sepertiku. Lagipula aku ini orangnya memang mudah jatuh cinta. Paling di hari-hari berikutnya perasaan aneh ini kepada Ratna akan hilang.

"Kapan balik ke Mesir?"

"Masih lama. Masih pengen ngobatin kangen sama Jogja. Ya ampun, pengen makan gudeg, nasi padang, pecel lele, wedhang ronde depan Balaikota, es cendol di Balai Yasa, muterin Malioboro, main di Parangtritis. Hmmmmmm Raka mau nemenin kan?"

"Bisa sih. Kalau aku lagi libur ya."

"Oke deh."

*####*

Perjalanan ke Banjarnegara diiringi lagu-lagu dari nasyid Malaysia. Memang beda sekali seleranya orang alim dan orang urakan. Aku tidak bisa membayangkan kalau saumpama Ratna hidup bersama denganku. Pasti playlist kami bertolak belakang. Aku yang suka Slank, Boomerang, The Sigit, dan musik keras, akan diserang dengan lagu-lagu religi. Ah, membayangkannya saja sudah lucu.

"Ka, Hana itu orang baik. Kami sering berkirim pesan dan menanyakan kabar. Dia bangga sama kamu lho, Ka. Ya meskipun kamu kadang bikin kacau dan rusuh di Fakultas, panen mangga di Selatan Fakultas, nyerok ikan di kolam Fakultas, seenaknya sendiri masuk kelas, tapi kamu tetap bisa diandalkan. Dia beruntung bisa memilikimu, Ka. Dan tentu sulit buat dapetin pengganti seperti Hana yang penyabar, anak yang sangat riang, pandai, pintar, cerdik, cantik pula."

Aku hanya diam dan menunggu Ratna menyelesaikan pembicaraannya. Namun, di dalam diamku aku menerka-nerka runut kata-kata yang diutarakannya.

"Lalu Hana itu pengertian orangnya, Ka. Bukannya bermaksud untuk mengingatkanmu kepada Hana. Tapi memang ya, orang baik seperti Hana susah untuk dilupakan. Aku paham seperti apa besar cintanya Hana ke kamu, Ka."

"Makasih ya, Rat, sudah jadi teman yang baik untuk Hana."

"Aku yang harusnya makasih ke Hana. Aku punya janji ke Hana, kalau aku pulang dari Mesir akan aku bawakan batu yang ada di depan Piramida," kata Ratna kemudian memperlihatkan kepadaku batu kecil.

Aku tersenyum saat menyadari betapa baiknya dan betapa Hana dicintai oleh teman-temannya. Hingga sekarang aku, termasuk anggota ILLUMINATI yang lain belum bisa melupakan Hana. Wanita baik yang diturunkan Tuhan ke bumi untuk menjadi anak, teman, dan kekasih orang-orang beruntung. Kini tidak ada lagi yang menemaniku memutari kota sambil ngobrol apapun tentang dunia, tidak ada lagi dengkul yang aku usap pelan ketika berhenti di lampu merah, dan tidak ada lagi seseorang yang sangat rewel karena ingin membeli buku.

Gunung Sumbing dan Sindoro sudah terlihat sangat jelas di depan kami. Aku dan Ratna memutuskan untuk berhenti di kedai kopi. Hawa dingin yang memeluk tubuh membuat Ratna sedikit menggigil sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya.

"Kelamaan di Mesir sih jadinya lupa sama dinginnya Indonesia," kataku.

"Di Mesir juga dingin lho," jawab Ratna.

Gesit aku buka jaketku kemudian merukupkannya ke tubuh Ratna. Tiba-tiba perasaan aneh itu muncul. Sekarang Ratna tersenyum sangat manis kepadaku sehingga arus darah dan derap jantungku semakin terasa brutal.

"Makasih, Ka."

"Sama-sama."

"Emang kamu nggak kedinginan?"

"Untung saja Allah memberikanku lemak yang cukup."

"Hahaha ada-ada saja kamu."

Lihat selengkapnya