Untuk mengawali hari ini, aku menikmati secangkir kopi dan rokok kretek di teras kos. Kos ini sudah seperti rumahku sendiri, begitu pula bapak dan ibu kosnya yang sudah menjelma seperti orangtuaku. Bahkan kalau ada orang yang ingin lihat-lihat kos dan bayar kos bisa lewat aku. Pagi hari yang belum banyak orang keluar kamar untuk beraktivitas, aku dan ibu kosku berbincang santai. Ibu kosku punya usaha catering, jadi setiap ada pesanan dia akan masak lebih untuk diberikan ke anak-anak kosnya.
"Kamu lanjut S2 kan, Ka?" tanya ibu kosku.
"Iya, Bu. Tapi semester depan."
"Nggak apa-apa. Kamu tetep harus ngekos di sini lho ya."
"Iya, Buuuu. Udah nyaman di sini."
"Kapan-kapan ibu mau minta tolong ya."
"Minta tolong apa, Bu?"
"Kapan-kapan ibu kasih tahu."
"Kalau saya mampu bantu pasti saya bantu."
"Pasti kamu bisa bantu deh."
"Apaan sih, Bu? Kok aku penasaran."
"Hahahaha sukurin. Sengaja nggak ibu kasih tahu biar penasaran."
"Ah ibu ini bisa saja."
Selang beberapa saat, anak-anak kosku sudah keluar kamar untuk melanjutkan hidup. Sebagian dari mereka menyusulku dan ibu kos kemudian kami saling berbincang, bercanda, ada juga yang curhat. Aku tahu, cepat atau lambat aku akan pergi dari tempat nyaman ini. Itulah sebabnya aku selalu menghargai setiap momen yang terjadi di sini.
Hari ini ada acara dengan anak-anak ILLUMINATI di markas besar. Pohon mangga yang ada di Fakultas pun nampaknya sudah cocok untuk dipanen. Tidak sabar rasanya bertemu dengan teman-teman, terutama Ratna. Semalaman penuh setelah mengantarkannya pulang ke penginapan, aku terbayang-bayang sampai terbawa mimpi. Aku sudah ingin menghilangkan perasaan aneh ini, tapi sekeras apapun aku mencoba malah aku yang kalah. Kini aku pasrah dan menerima saja atas hadirnya perasaan ini.
Aku memutuskan untuk mandi setelah kopi di cangkirku habis. Foto Hana masih aku pajang rapi di dinding kamar dan meja kerja. Setiap kali aku melihatnya, maka merekahlah senyumku. Hana sudah meninggalkan kenangan-kenangan baik di hidupku. Terlalu kejam jika aku mati-matian ingin melupakannya. Hana akan tetap ada di sisi baik ingatanku, akan aku doakan setiap harinya, akan aku kunjungi orangtuanya di sela waktuku, membelikan adiknya mainan, bercengkrama dengan bapaknya, bergurau dengan ibunya, itulah yang ingin aku lakukan untuk membalas kebaikan Hana kepadaku.
*####*
Berhubung mobil sudah aku kembali ke temanku, kali ini aku membawa motorku untuk menjemput Ratna. Sementara teman-teman yang lain sudah ada di markas. Dista yang kebetulan ada di Magelang pun juga antusias mengikuti pertemuan ini. Fahmi dan Dista sudah saling ikhlas berpisah. Jadi nanti kami kehilangan satu bahan ejekan pamungkas untuk keduanya. Pasangan yang digadang-gadang akan bertahan abadi pun karam juga.
Samar-samar aku melihat Ratna sudah menunggu di depan penginapan. Dari kejauhan aku bisa melihat simpul manis senyumannya. Untung aku mengenakan masker, jadi Ratna tidak bisa melihatku yang juga sedang tersenyum.
"Lama nunggunya?" tanyaku ketika sudah sampai di depannya.
"Nggak kok, barusan aja keluar."
"Nih dipakai helm-nya."
Jelas Ratna untuk masalah berboncengan beda dengan Hana. Ratna menjaga jarak dan sama sekali tidak menempel denganku. Namun, meskipun demikian, perasaan aneh itu masih juga muncul.
Jalanan Jogja jam setengah sembilan tidak terlalu padat. Kami sampai di kampus dengan waktu yang cukup singkat. Aku memarkirkan motor di parkiran yang tidak jauh dari markas ILLUMINATI. Ratna memandang penuh kagum kampusnya yang sudah lama dia tinggalkan. Kami berdua berjalan beriringan. Berhubung perkuliahan sedang aktif maka banyak mahasiswa yang mondar-mandir. Begitu senangnya aku saat melihat para mahasiswa saling berdiskusi, bendera-bendera organisasi juga ramai dipasang di sudut-sudut kampus.
Dari kejauhan kami melihat Dista, Fahmi, Rizki, Anis, Hasan, dan Fauzi. Mereka sumringah dan antusias ketika aku membawa Ratna bersamaku. Semakin dekat jarak kami ke markas, sorakan dari mereka aku dengar.
"AHLAN WA SAHLAN MOTHERFU*CKERRRR," teriak Anis. Dia memang memiliki mulut yang sembarangan kalau bicara. Ahlan wa sahlan berarti selamat datang.
"RATNAAAAAAAAAAAAAAAAA," teriak Dista kemudian berlari ke arah Ratna dan memeluknya.
"Ya ampun Dista tambah cantik aja setelah jadi ibu rumah tangga," kata Ratna.
"UHUK."
"UHUK."
"UHUK."
Kami yang mendengar perkataan Ratna langsung pura-pura batuk mengingat ada Fahmi di sana.
"Tenang gaes aku udah move on," kata Fahmi.
"Ah yang beneeeeer?" malah Dista menyahuti.
"Affa iyaaaah?" aku ikut-ikutan menimpali yang akhirnya disusul tawa keras dari yang lain.
Begitu indah hari ini, berkumpul dengan teman-teman di markas yang dulu ramai sekali. Kini hanya beberapa yang masih bertahan di Jogja. Pohon mangga dan kakao rindang teduh menanungi kami. Anis yang punya keahlian memanjat pun sudah mengambil beberapa mangga matang untuk kami santap. Kami datang ke markas ini tidak lagi deg-degan dan terbebani karena tugas, kami datang sebagai alumni.
Kami ngobrol ke segala arah dan segala topik. Mulai dari pengalaman Ratna saat di Mesir, pertanyaan apakah dia pernah ketemu mumi Fir'aun, atau pernahkan dia nyuci baju di sungai Nil. Canda tawa menyelimuti kami sampai akhirnya Dista tiba-tiba menunduk.
"Kalau aja masih ada Hana, pasti ramai," pelan Dista berkata karena sekumpulan air mata sudah ada di pinggir matanya.
"Udah, Dis. Jangan sedih. Kita harus kuat dan tabah demi Hana," kataku.
"Maaf ya, Ka. Aku tiba-tiba kepikiran Hana."
"Nggak apa-apa, Dis. Aku sama Ratna kemarin udah ziarah ke makamnya."
"Alhamdulillah. Kamu yang baik ya sama keluarganya."
"Iya, Dis. Pasti."
"Eh, Salwa kok udah lama nggak ada kabar, Ka?" kata Fauzi.
"Eh iya, Salwa apa kabar?" kata Fahmi.
"Siapa tuh Salwa? pacar kamu ya, Ka?" kata Ratna dengan pandangan serius.
"Oke, aku jawab satu-satu ya. Kabar Salwa baik. Terus, Salwa itu bukan pacarku, cuma teman biasa."
"OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOH," jawab mereka dengan serempak.
"Kirain Raka udah punya pacar lagi," kata Ratna.
"Lho lho lho emangnya kenapa kalau Raka udah punya pacar lagi, Rat?" kata Rizki tapi dengan pandangan yang penuh curiga.
"Yaaaa nggak apa-apa, cuma nanya aja."
"OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOH," kami menjawab dengan serempak.
Aku tahu ada tatapan tidak biasa dari mata Ratna ketika mendengar nama Salwa. Namun, aku tidak tahu tatapan apa itu. Kami melanjutkan ngobrol-ngobrol santai. Kami mengingat kenangan-kenangan manis selama kami kuliah di kampus ini. Kampus yang katanya paling murah dunia akhirat, kampus yang sering ada demo, kampus yang memiliki dosen-dosen baik hati.
"Kalian lanjut S2 nggak?" tanya Ratna.
"Pengen sih, tapi nggak sekarang," kata Rizki.
"Sama," kata Anis.
"Kita S1 aja 7 tahun, kalau S2 mau berapa tahun?" kataku.
"5 tahun hahahahahaa," kata Anis dengan sembarangan.
"Kayaknya asyik deh kalau kita S2-nya bareng," kata Ratna.
Seketika kami merenung. Sebenarnya aku sangat ingin untuk lanjut S2 tapi masih trauma dengan tugas akhir yang membuat tubuhku kurus. Apalagi S2, kami tidak bisa banyak bergurau. Tapi jika dilalui dengan teman-temanku nampaknya aku akan mampu.
"Main ke pantai yuk," kataku. Wajah mereka langsung sumringah mendengarnya.
"GAAAAAAS."
"BUDALKAN."
"YUK."
"Dista gimana?" tanya Fauzi.
"Yuk deh, lagipula kan niatku mau liburan."