Hari ini Ratna kembali ke Yogyakarta untuk mempersiapkan diri mendaftar S2. Aku menjemputnya di Stasiun Lempuyangan di pagi buta setelah shalat subuh. Udara dingin menusuk tulangku. Aku bakar satu batang rokok sebagai penghangat tubuh. Sepagi ini, Yogyakarta sudah ramai dengan orang-orang dari berbagai kasta, daerah, dan tujuan.
"Ka, aku udah mau sampai. 10 menit lagi. Tungguin ya," kata Ratna lewat pesan singkat.
"Iya, aku di luar Stasiun."
"Okee. Maaf ya kalau aku ngerepotin."
"Iya nih ngerepotin banget. Maka dari itu nanti aku ditraktir gudeg ya."
"Hahahahaha iya deh. Siap."
Aku memperhatikan segala tingkah laku manusia yang kebetulan lewat di hadapanku. Ada dari mereka yang bahagia, menampilkan senyum merekah. Ada juga yang nampak murung, sama sekali tidak menampilkan senyum. Pelan aku mengambil kamera kecil di saku jaketku kemudian mengabadikan momen pagi ini.
Aku melihat kereta yang baru datang. Aku rasa kereta itu yang dinaiki Ratna. Pelan aku melangkah ke dalam stasiun. Samar aku lihat Ratna yang berjalan santai dengan menampilkan senyum manisnya sambil tolah-toleh. Entah mengapa aku juga ikut tersenyum ketika melihatnya. Aku berjalan cepat ke arahnya supaya dia tidak kebingungan mencariku.
"Hai bunda Ratnaaaaaaaaaa," kataku.
"Assalamualaikum Raka," kata Ratna.
"Hehehe wa'alaikumsalam."
"Nunggu lama ya, Ka?"
"Lumayan sih."
"Aduuuh maaf banget. Tadi keretanya macet di jalan. Banyak polisi tidurnya juga"
"Dasar, sepagi ini udah ngajak bercanda."
"Gudeg yuk."
"Pagi-pagi udah makan berat aja kamu, Rat. Agak siangan dikit lah."
"Lha terus mau ke mana?"
"Ngopi hehehe."
"Astagfirullah Raka."
Ratna itu orangnya hobi kulineran, tapi badannya tetap segitu saja. Beda lagi denganku, bulan ini naik 3 kilogram. Padahal aku makan hanya sekali dalam sehari, selebihnya paling ngopi atau ngemil saja. Ngemilnya ya hanya gorengan depan SD Bopkri Demangan, cilok depan kantor, kentang goreng Blandongan, jamur krispi, batagor, kue kering yang dijual di pinggir jalan, mie ayam Sorowajan, es campur Balai Yasa. Bisa-bisanya berat badanku naik secara signifikan.
Aku dan Ratna berboncengan menuju Mato Kopi yang memang buka 24 jam. Angin subuh yang dingin, kendaraan lalu lalang, dan suara deru mesin pesawat samar terdengar. Meskipun masih dingin, Ratna tidak ingin menempel sedikit di tubuhku atau sekadar berpegang sedikit di jaketku.
"Rat, pegangan aja, khawatir nanti kamu jatuh."
"Nggak ah. Belum mahrom"
"Apa?"
"Makanya kalau orang ngomong tuh didengerin."
"Kupingku ketutupan helm jadinya nggak dengerin jelas."
"Aku itu radio, nggak ada siaran ulang."
"Dasar rese."