BUNGAKU

Arai Merah
Chapter #27

TERNYATA LANGIT BEGITU TINGGI #27

Mungkin apa yang aku lakukan merupakan hal kekanakan dan payah. Tapi orang-orang tidak akan tahu betapa malunya aku setelah penolakan malam itu. Lagipula aku sudah tidak memiliki tanggungan apa-apa lagi di Jogja.

"Lha katanya mau lanjut S2?" tanya Fahmi yang ikut mengemasi beberapa barangku.

"Entah, Mi. Aku juga kayaknya nggak bakat untuk belajar deh. Lagipula aku masih trauma dengan skripsi. Hahahahaha," jawabku.

"Mana ada asisten dosen yang nggak doyan belajar. Ya meskipun lulusnya telat sih."

"Santai aja, aku bakalan sering main ke Jogja kok. Bosku bilang kalau aku bisa bekerja dari mana saja."

"Hmmmmm enaknya. Oke deh. Kosmu aman nggak?"

"Aman. Aku hitungannya nggak keluar kos, cuma bakal sering di rumah saja."

"Apa ini nggak berlebihan, Ka? Ditolak cewek kok sampai segininya."

"Mi, Ratna sudah memberikan penghalang besar yang mana aku nggak bisa berharap lagi. Wanita itu makhluk yang aneh ya. Kadang dia bersikap seolah memberikan harapan kepada kita, tapi ternyata ada hati yang dia jaga. Ternyata langit begitu tinggi ya."

"Nggak pamitan ke Ratna?"

Aku menggelengkan kepala "Nggak usah. Lagipula dia nggak akan merasa kehilangan."

"Ka, ini kekanakan nggak sih? Ditolak cewek aja sampai minggat gini."

Aku mengambil napas dalam-dalam "Iya, ini kekanakan, dan aku ini orang yang kekanakan."

"Senyamannya kamu aja deh, Ka."

"Titip Ratna ya, Mi."

"Harus bilang gimana kalau Ratna nanyain kamu?"

"Bilang aja kalau aku mau berjihad di jalan Allah."

"Hadeeeh bajingan tenan."

Tidak ada kalimat pamit yang aku ucapkan atau tuliskan kepada Ratna. Setelah aku merenung, aku memang terlalu cepat mengungkapkan perasaan kepadanya. Dia sudah di Mesir bertahun-tahun dan antara kami tidak ada komunikasi. Tiba-tiba dia datang, payahnya aku langsung jatuh cinta. Payahnya lagi aku terlalu cepat menyimpulkan kalau kami memiliki perasaan yang sama.

beberapa anggota ILLUMINATI mengetahui kalau aku akan pulang ke kotaku. Mereka saling bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa. Padahal dulu aku yang paling kukuh tidak akan pergi dari Jogja. Bisa malu sendiri kalau alasanku pergi dari Jogja adalah gara-gara wanita.

Setelah berpamitan dengan Fahmi, aku langsung melajukan motorku ke jalanan Jogja yang ramai lancar. Kepulanganku ini juga istimewa bagiku karena aku akan melewati bulan ramadhan dengan keluarga.

Aku berencana akan lewat jalan Tegalrejo yang tembus Salatiga. Aku ingin melihat gunung Merbabu sambil melewati kelok jalanan yang di sisi kanan kirinya indah akan pemandangan. Kepergianku ini bukanlah perpisahan, tapi prosesku untuk menyembuhkan kekecewaan.

Memang aku sengaja berangkat mepet jam makan siang karena aku ingin mampir ke warung sate favoritku yang ada di Magelang. Dulu aku KKN di daerah sana dan kenal baik dengan penduduknya. Warung sate yang akan aku tuju menurutku paling enak sejagad raya. Kalau boleh, aku ingin meminta kepada Tuhan, kelak sate yang enak itu akan tetap disajikan di Surga.

Jalanan Jogja yang ramai, kadang macet di beberapa titik. Kota ini memang istimewa. Mau semerawut apapun dan macet parah, jarang aku dengar klakson yang berbunyi.

Setelah melewati Terminal Jombor, aku kembali mengingat awal mula aku menginjakkan kaki di sini. Tanah terminal Jombor adalah yang pertama kali aku injak. Mengingat itu semua malah membuatku sedih. Kenangan tentang teman-temanku, tentang bagaimana kami pertama kali bertemu saat ospek, tentang warung nasi yang sering menolong kami saat lapar, tentang dosen-dosen kami yang baik hati. Semua aku bingkai khusus di dalam hati.

*####*

Hampir jam 12 siang aku sampai di daerah Mendut, Magelang. Warung sate yang aku tuju bernama Warung Sate dan Tongseng Pak Kurdi. Di sana kebetulan ada Pak Kempes Wahyudi, beliau adalah pemilik warung dan menjadi Kepala Dusun di tempatku KKN dulu. Jadi kami saling kenal.

"Lho mau ke mana, Ka?" kata Pak Kempes, cepat-cepat aku salim.

"Mau pulang, Pak," jawabku.

"Sudah lulus kuliahnya?"

"Alhamdulillah sudah."

Aku masuk ke dalam warung dan menunggu pesananku. Aroma daging yang dibakar begitu sedap masuk ke dalam penciumanku. Aroma itu sekaligus membuatku nostalgia masa-masa KKN di sini. Anak-anak kecil yang dulu belajar di poskoku, sekarang sudah menjelma anak-anak SMP-SMA yang semakin cantik dan tampan.

Sambil makan sate, aku ngobrol santai dengan Pak Kempes. Cerita-cerita yang beliau tuturkan membuatku sangat rindu dengan dusun ini. Aku ingat para pemudanya yang sangat kompak. Mas Fredy, Mas Yudha, Mas Akim, Mas Hasyim, Mbak Diah, Mbak Mekha, ah mereka sangat baik kepadaku. Aku yang dulu menjadi ketua kelompok bahkan pernah melarang para anggotaku untuk masak selama beberapa hari ke depan. Bagaimana tidak, para penduduk sekitar setiap harinya ada saja yang mengantar masakan kepada kami. Apalagi kalau ada acara, pasti kami membawa banyak makanan ke posko.

"Kapan-kapan mampir ya, Ka."

"Iya, Pak. Pasti."

*####*

Aku kembali melanjutkan perjalanan dengan motor kesayanganku. Sebelum berangkat, tadi Ibuku mengirimkan pesan menanyakan posisiku sekarang. Tidak ketinggalan beliau bercanda dan berkata "Cepat pulang, ditunggu Salwa lho."

Sejurus aku berpikir, jangan-jangan Salwa adalah jodoh yang sudah disiapkan Tuhan selama ini. Mungkin kepergian Hana dan penolakan dari Ratna adalah sebuah pertanda.

"Langsung pulang. Jangan mampir ke UNNES atau UNDIP, apalagi nginep di Semarang," kata Ibuku melalui pesan singkat.

Setelah membacanya, aku langsung tersenyum sendiri. Aku memang tipe orang yang tidak bisa langsung sat set sat set kalau pulang. Harusnya cukup 5 jam aku bisa sampai rumah, tapi kadang bisa sampai 3 hari karena aku mampir dan dolan dulu di Semarang.

Lihat selengkapnya