"Udah berapa tahun kita nggak ketemu ya?" tanyaku.
"Udah lama banget, Mas. Terakhir ketemu pas kelulusan kelas 6 kayaknya deh."
"Gilaaak. Padahal aku juga setiap beberapa bulan sekali pulang lho, tapi nggak pernah ketemu ya."
"Aku pun agak ngenalin wajah Mas Raka gara-gara nggak sengaja lihat di Facebook."
Aku tersenyum karena bingung ingin berkata apa. Tiara masih indah dan cantik seperti dulu. Bedanya kini dia pandai untuk merias wajahnya. Kalau dulu memang masih bocah, memakai bedak saja tidak rata. Tapi dari semua siswi kelas 5 B hanya Tiara yang menarik perhatianku. Jika aku ingat ketika dia menolakku, rasanya malu sekali meskipun sekadar cinta monyet. Di dalam hati, aku terus berdoa supaya Tiara tidak mengingat kejadian yang membuatku malu saat itu.
"Mas Raka sama siapa ke sini? Sama calon ya?" tanya Tiara.
"Hahahaha nggak. Aku ke sini sama Ibuku," jawabku.
"Waaah Ibunya Mas Raka apa kabar? Udah lama juga aku nggak ketemu."
"Alhamdulillah sehat."
"Jadi Mas Raka ceritanya kabur nih daripada jaga motor di parkiran?"
"Hahahaha tahu aja kamu. Bosen disuruh nunggu soalnya."
"Hehehehe. Mas Raka nanti malam ada acara?"
Aku berlagak melihat jam tanganku "Emmmmmm nanti malam ya? Nggak ada sih."
"Huuuuu ngapain pula sok-sokan lihatin jam tangan."
"Bergaya sedikitlah. Ada apa? Mau ngajak nongkrong?"
"Kok tahu? Keren bisa baca pikiranku. Mas Raka belum lupa jalanan di sini kan? Aku khawatir Mas Raka kelamaan di Jogja sampai lupa jalanan sini."
"Tenang. Aku nggak akan pernah lupa jalan pulang."
Tiara menatapku yang membuatku mematung sebentar "Ternyata si Juara 1 lomba cipta puisi SD/MI se-kabupaten masih bisa puitis ya."
"Dan ternyata si Juara 1 lomba peragaan busana masih cantik ya."
Tiara tersenyum kemudian disusul tawa renyahnya "Bisa aja nih Mas Raka. Nostalgianya dilanjut nanti malam aja. Oh iya, Mas Raka jadi beli nggak? Ada diskon buat sahabat lama lho."
"Berani ngasih berapa persen diskonnya?"
"Emmmmmmm maunya berapa? Sesuai tanggal lahir?"
"Nggak ah. Tanggal lahirku cuma satu digit."
"Yaudah, Mas Raka pilih aja sesukanya, nanti aku kasih harga sesukaku."
"Bisa kacau dong kalau kamu ngasih harga sampai sejuta."
"Hahahaha tenang. Di bawah harga asli kok, Mas."
Aku pun memilih barang yang aku suka. Tiara memperhatikanku dari jauh dan aku tidak ingin menafsirkan apa-apa. Pandangan dan tatapan wanita sangat berbahaya. Di dalam pandangan mereka tersimpan berbagai tipu daya. Pandangan yang aku anggap teduh dan menyimpan rasa cinta, ternyata kosong tidak berisi. Semisal pandangan dari Ratna yang terkesan begitu teduh dan peduli denganku, tapi nyatanya, hanya aku yang memperjuangkan rasa.
Rasa-rasanya aku kapok jika ada yang membahas soal rasa cinta dan kasmaran. Sepertinya hanya Hana yang pandangannya teduh, damai, dan berisi cinta di dalamnya, Ibuku juga sih, hehehe. Mungkin akunya saja yang belum siap membuka hati lagi. Rasanya berat, seakan-akan Hana masih sangat dekat denganku, bahkan bekas sentuhan tangannya masih bisa aku rasakan di punggung tanganku.
Sebenarnya aku sedikit memperhatikan Tiara yang tengah sibuk melayani pengunjung lain. Dia begitu cekatan dalam bertutur, apalagi senyumnya. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian perlahan mengembuskannya. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa gugup. Biasanya aku tidak seperti ini.
"Oh udah selesai milih bajunya, Mas?" tanya Tiara.
"Udah nih," jawabku sambil memberikan belanjaanku kepada Tiara.
Tiara langsung memasukkan semua ke dalam tas belanja tanpa dihitung terlebih dahulu.
"Jadi semuanya berapa, Tiara?"
Tiara menampakkan simpul senyumnya "Gratis. Tapi sebagai gantinya, nanti malam Mas Raka yang traktir kopinya."
Kelakuan Tiara membuatku tersenyum tapi sekaligus mematung "Gratis? Nggak dong. Kamu kan lagi jualan."
"Mas, namanya juga diskon, suka-suka yang punya toko dong."