Bisa dianggap bahwa duniaku bagaikan diorama berwarnakan pastel. Lembut menenangkan tanpa tersentuh arus perubahan. Tak cerah maupun pucat, tak bermandikan cahaya ataupun tertutup gelap.
Harmoni semacam ini mungkin akan menjadi kehidupan ideal bagi sang pecinta kedamaian, yang tak pandai berkonfrontasi dan cenderung memilih untuk menjauhkan diri dari konflik—namun, sebaliknya, akan menjadi amat menyiksa bagi laskar petualang, dengan segenap luapan adrenalin mengalir deras dalam darahnya, yang akan melolong bak binatang buas terkurung dalam kerangkeng.
Kendati, tak ada bedanya bagiku mau sebagaimanapun konsep itu diperdebatkan. Karena hidup adalah hidup. Itu saja. Kita menerimanya sebagai misteri kosmis yang memiliki jawaban tak terbatas.
Quam bene vivas refert non quam diu.
‘Mau sepanjang atau sependek apa pun hidup yang kau jalani, dengan segala kebahagiaan dan kepahitan yang menyertainya, jadikanlah semuanya berarti. Selesaikan peranmu dalam hidup, mau sesederhana apa pun kelihatannya.’
Demikianlah aku selalu mengulang pemikiran itu layaknya mantra.
Sehingga dengan seiring bertumbuhnya kedewasaan, aku pun menjadi cukup ahli dalam mengendalikan emosi lebih dari orang kebanyakan, atau setidaknya mereka yang sepantaran denganku.
Tak hentinya kuperingatkan diri sendiri untuk tak membiarkan perasaan hati yang kurasakan terlalu tampak ke permukaan, sekaligus juga berhati-hati dan menjaga jarak agar tak sampai terlibat terlalu jauh dengan segala kepentingan yang bukan menjadi urusanku.
Sekalipun, siapa menyangka, bahwa akan tiba saatnya ketika warna pastel yang senantiasa menyelimuti dioramaku mulai mengalami perubahan secara bertahap.
Tatkala semua pemandangan yang tadinya tampak biasa saja mulai bercampur dengan aneka warna asing yang sama sekali tak pernah kulihat sebelumnya. Hingga, tanpa mampu kucegah, warna-warna yang semula lembut dan tak mencolok itu berangsur-angsur menjelma menjadi pusaran warna tajam dan berani.
Menakutkan. Namun, di saat bersamaan, luar biasa memukau hingga membuat napasku tertahan.
Oh, sial. Aku benar-benar kecolongan.
Kurasa aku tahu penyebabnya…
Kurasa aku tahu ‘siapa’ yang bertanggung jawab menyebarkan bercak warna-warni pada diorama pastelku yang selama ini terisolasi.
Kau—yang sekonyong-konyong menerobos masuk dalam kehidupanku.
Dirimu, jelmaan iblis berparas malaikat yang berulang kali bertingkah dan menguji kesabaran serta mengaduk emosi yang susah payah kujaga agar selalu terkontrol.
Serta engkau pula yang…
Dengan cerdik dan seenaknya memberiku alasan tak terbantahkan untuk tersenyum.
Sehingga kini, seberapa pun mengesalkannya untuk diakui, mau tak mau aku sudah tak bisa lagi menipu diri sendiri. Karena mungkin tanpa kusadari, pertemuanku denganmulah yang justru menjadi titik balik dari semuanya.