"Fake!"
Naomi tertegun menatap layar laptopnya. Ia mendapatkan email dari seseorang yang tidak ia kenal. Fake? Hanya satu kata tapi bisa membuatnya agak sedikit merinding. Apa maksudnya? Dan yang lebih membuatnya heran, selama ini tidak ada yang tahu alamat email pribadinya. Dan orang-orang jarang ada yang menghubunginya melalui email, kalau pun ada paling dari pihak penerbit yang menanyakan kapan chapter tulisannya akan dikirim.
Selain itu, yang mengetahui emailnya paling hanya editor bawelnya, si Arina. Karena email Naomi ini justru Arina yang membuatkannya. Katanya biar ia saja yang membuat email itu, Naomi disuruh fokus menulis. Selama ini hidup Naomi tidak ngapa-ngapain selain nulis, masih sering ditegor karena sudah deadline dan ia masih stuck di tempat alias kalau dalam bahasa penulis, dikatakan 'writing's block'.
Alasan itu selalu ia gunakan kalau sudah masuk waktu deadline. Entah memang tidak ada ide, atau memang malas saja. Hanya Arina yang mengetahui kalau sahabatnya ini hanyalah malas. Lebih tepatnya sering menunda-nunda. Arina bahkan meneriaki Naomi kalau kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun. Anak itu, bagi Arina malasnya sudah keterlaluan dan memang perlu diteriaki.
Bagi Naomi, Arina lebih dari sekedar editor galak yang sering meneriakinya. Tapi, juga bagaikan sahabat sejati yang selalu dapat diandalkan. Naomi mengandalkan Arina tidak hanya untuk memeriksa naskah-naskah novelnya, tapi juga untuk meminta tolong dipesankan gofood kalau ia sedang lapar, membelikan peralatan mandi di mini market kalau Naomi lupa peralatan mandinya sudah habis.
Tidak hanya itu, Arina bagi Naomi sebagai tempat keluh kesahnya. Banyak hal dalam hidup yang membuat Naomi berkali-kali ingin menyerah, tidak kuat, tidak tahan lagi dengan benturan yang diberikan hidup ini. Ia lalu menghubungi Arina, bercerita panjang lebar, menangis meraung-raung seperti saat ia kecil, lalu lega. Arina selalu menjadi pendengar terbaik, tidak memotong omongan panjang lebar Naomi yang kesana kemari, setelahnya memberikan solusi yang terbaik. Setidaknya menenangkan anak itu, agar ia tidak rapuh lagi.
Saat ini, ia tidak mengerti maksud dari email itu. Dan siapa lagi yang harus ia tanya dan dimintai tolong selain editor serba bisanya itu? Ia mengambil hp yang berada di samping laptop, dengan cekatan mencari daftar nama Arina yang selalu nangkring di peringkat satu karena paling sering Naomi hubungi. Panggilan itu tidak perlu menunggu waktu lama, Arina segera mengangkatnya. Dan seperti biasa, Naomi dengan panik langsung menceritakan dengan heboh apa yang sudah dialaminya.
"Kenapa, Nom?" tanya Arina di sebrang sana. Ia hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum. Bisa-bisanya Naomi menghubunginya sepagi ini, pukul enam lewat sepuluh, saat ia belum turun dari kasur, baru saja membuka mata dan sebenarnya berniat untuk tidur lagi tapi tidak jadi begitu mendengar dering handphonenya.
"Lo tau nggak sih, Rin? ada orang email gue dengan tulisan fake! Satu kata doang, tapi entah kenapa bikin gue merinding. Apa maksudnya coba dia email gue kayak gitu?"
Saking paniknya, gelas berisi air mineral yang berada tepat di hadapannya hampir saja terjatuh karena ia senggol. Serangan paniknya kambuh, dan kalau sudah begini tubuhnya akan gemetar dan pelipisnya mengeluarkan keringat yang sangat banyak sebagai reaksi dari serangan tersebut.
"Woy, tenang, dong, tenang. Lo nggak boleh over thingking begitu. Bisa aja itu kerjaan orang iseng."
Arina menggeliat, dia pikir ada apa. Dia pikir apartemen Naomi kebakaran dan dia terjebak tidak bisa keluar dari sana atau ada hal lain yang lebih membahayakan daripada itu. Ternyata hanya email yang cuma berisi satu kata. Pasti itu kerjaan orang iseng saja.
"Please, jangan dianggap remeh. Lo lupa kalau email itu nggak ada yang tahu selain orang kantor dan lo? Fans-fans gue nggak ada yang tahu email pribadi gue. Jadi, fix, itu bukan cuma kerjaan orang iseng!"
Naomi yang masih panik melemparkan tubuhnya ke kasur, mengambil selimut, serta menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Kalau serangan paniknya sudah kambuh sedemikian rupa, tubuhnya tidak hanya gemetar dan keringetan, tapi juga kedinginan. Kadang, hampir membeku yang Naomi rasakan, hingga membuatnya tidak nyaman.
Sementara Arina tertegun. Benar juga, email pribadi Naomi tidak ada orang yang tahu selain dirinya dan orang kantor. Lalu, siapa yang mengirimi Naomi email tersebut?
"Tapi orang kantor kan banyak, Nom. Nggak cuma satu-dua aja yang tahu." Arina tetap mencoba menenangkan Naomi, ia tahu pasti Naomi sedang membeku kedinginan.