Setelah menginap dua hari satu malam, kini Naomi sudah diperbolehkan pulang. Arina mengantarnya dengan mobil menuju apartemen Naomi. Meski masih payah untuk berjalan, setidaknya Naomi masih diberi kesempatan untuk hidup dan tidak jadi mati dengan sia-sia. Kira-kira seperti itulah yang dikatakan Arina dengan tegas kepada Naomi.
"Jangan mencoba untuk bunuh diri lagi. Lo harus tetap hidup, membuat banyak manfaat untuk orang lain, jangan malah mencoba bunuh diri dan mati dengan sia-sia."
Naomi hanya mengiyakan kata-kata Arina. Sebab, kalau Arina didebat urusannya bisa panjang. Bisa muak Naomi mendengar petuah Arina yang seolah tidak ada habisnya itu. Naomi diam demi ketenangan batinnya, juga jiwa dan raganya.
Dalam perjalanan, suara hp Naomi berdering. Ia lekas mengambil hp tersebut dan melihat layarnya. Tertulis nama Dikta di sana. Ya, Dikta adalah kekasih Naomi. Tapi apakah hubungan mereka romantis seperti percintaan ala-ala drama Korea? Jelas tidak. Mereka menjalani LDR, karena Dikta harus bekerja di Law Firm pamannya di Singapura.
Hubungan mereka pun tidak pernah harmonis. Mereka selalu bertengkar dan memperdebatkan apa saja. Bahkan mereka sudah saling berdebat di hari pertama mereka jadian. Sebenarnya, Naomi tidak menginginkan hubungan itu. Tapi Dikta terus memaksanya, mengatakan bahwa mungkin hubungan mereka akan berhasil di kemudian hari. Jadi, mengapa tidak mencoba untuk menjalaninya terlebih dahulu?
Bahkan Naomi sudah lupa lantaran apa ia menerima negoisasi Dikta yang terkesan tidak ada untungnya buat dirinya itu. Tapi tidak dapat dipungkiri, di usianya kini ia memang butuh pasangan. Dan yang berani mendekati Naomi hanya Dikta saja, tidak ada laki-laki lain yang berani mendekatinya karena ia selalu memasang tampang tidak bersahabat.
Entahlah, Naomi memang tidak pernah percaya lagi dengan orang lain semenjak kematian Keiko yang misterius itu. Sejak itu dirinya menjaga jarak dengan orang-orang, seperti tidak mau terlibat dengan hubungan apa pun saat ini. Meski ia membutuhkannya.
Dan sekarang, untuk apa Dikta menghubunginya? Setelah dua bulan menghilang tanpa kabar. Laki-laki itu seenaknya saja mempermainkan sebuah hubungan. Ckck, Naomi sampai tidak percaya dibuatnya. Dikta pergi dan kembali sesuka hati, Naomi ia anggap sebagai sebuah pelabuhan yang memang didatangi kalau butuh saja, bukan sebagai rumah, yang mengharuskan ia menetap selamanya.
"Ada apa kamu telepon?" tanya Naomi tanpa mau berbasa-basi.
Ia baru saja gagal bunuh diri. Hidupnya seperti tidak ada artinya lagi. Apalagi kalau mengingat tentang Dikta, ia tambah memiliki alasan untuk tidak hidup lebih lama lagi di dunia ini.
"Kok kamu jutek begini, sih? Aku telepon kamu karena khawatir sama keadaan kamu. Kenapa sih kamu selalu mencoba buat bunuh diri? Sayangi hidupmu, seenggaknya masih banyak orang yang menginginkan hidup di posisi kamu, sayang."
'Sayang?' gombal. Naomi tidak pernah merasakan apa-apa saat Dikta mengatakan kata sayang. Tidak ada perasaan senang, bahagia, apalagi merasa disayang atau dicintai. Tidak ada. Naomi tidak merasakan itu semua.
"Kamu tahu dari mana? Arina?"
"Eh, i–iya, aku tahu dari Arina. Gimana keadaan kamu sekarang? udah mendingan?"
Naomi menatap Arina tajam, sedangkan Arina yang ditatap menyeramkan hanya bisa mengangkat bahu tidak mengerti kenapa namanya disebut dan dipelototi seperti itu.
"Kamu udah nge-ghosting aku dua bulan. Hilang nggak ada kabar, masih berani kamu nanya gimana kabar aku sekarang? ya menurut kamu aja gimana kabar seorang yang gagal bunuh diri!"
Naomi mematikan telepon. Ia sedang tidak ingin bertengkar dengan Dikta. Dan sesungguhnya, ia lelah. Mengapa ia mau mempertahankan sebuah hubungan yang tidak memberikannya kebahagiaan sedikit pun? sungguh, ia terlihat seperti seorang gadis bodoh.
"Kenapa lo pelototin gue? ada yang salah?" tanya Arina seraya fokus menyetir dengan melihat ke depan.
Hari ini jalanan macet seperti biasa. Macet total dan berhenti, tanpa sedikit pun berjalan hingga membuat Arina bete. Sebenarnya ia sudah hafal betul dengan jalanan ibukota. Dan selalu menghindarinya di jam orang-orang pulang kantor seperti saat ini, tapi apa boleh buat? Saat ini keadaanya emergency.
"Dikta nanya gimana keadaan gue. Dan dia ceramahin gue atau lebih tepatnya marahin gue karena gue mencoba bunuh diri."