"Aku? jelas aku adalah kekasih kamu." Dikta menyunggingkan senyumnya, tangannya menyelami rambut panjang Naomi. Sedang Naomi sendiri hanya bisa mematung.
"Kekasih? tidak ada kabar selama dua bulan, kamu masih bisa menyebut diri kamu kekasih?"
Naomi menghentakkan tangan Dikta, ia tidak sudi disentuh oleh orang yang membuatnya kecewa.
"Oh, ayolah, Naomi. Kamu jangan merengek seperti anak kecil begitu. Kamu tahu aku kerja di law firm pamanku, setiap harinya masuk puluhan kasus yang membuatku stres. Wajar kalau aku tidak sempat menghubungimu. Oh, iya, apa kamu punya sirup apel?"
Dikta duduk di sofa panjang Naomi, dari wajahnya seperti ia tidak benar-benar memedulikan Naomi.
"Kekasihmu hampir saja mati karena menengguk racun tikus dan kamu masih bisa santai meminta sirup apel padaku?" Naomi menyeringai, ah, dia tersadar bahwa selama ini dia bodoh.
Mengapa dia mau-maunya berpacaran dengan laki-laki seperti Dikta? Arina benar, bahkan Naomi sendiri tidak tahu benar asal-usul Dikta selain pekerjaan dan rumahnya di mana.
"Ya, aku sempat khawatir, tapi begitu aku memastikannya sendiri dengan mata kepalaku bahwa kamu baik-baik saja, aku tidak perlu khawatir lagi kan?"
Dikta beranjak menuju dapur, membuka kulkas, mengambil es kotak-kotak, memasukkan ke gelas yang berada di sampingnya, lalu menuang sirup apel yang berada di pintu bawah dan mencampurnya dengan air, mengocoknya sebentar hingga sirup itu menyatu dan menjadi dingin, lalu meneguknya.
Tidak lama netra Dikta melirik ke sudut dapur dan melihat bekas racun tikus yang diminum Naomi. Ia berjongkok dan mengambilnya.
"Kamu bunuh diri dengan menggunakan alat ini? haha, kamu tidak akan mati, Naomi. Racun ini dirancang hanya untuk tikus, bukan manusia." Dikta menggeleng-gelengkan kepalanya, mengembalikan racun tikus itu ke tempatnya semula, lalu berdiri dan mencuci tangan.
Sedang Naomi yang sudah tidak tahan melihat perbuatan dan mendengar perkataan Dikta menjadi muak dan ingin segera mengusirnya.
"Pergi kamu dari apartemenku, pergi!" pekik Naomi tidak tahan. Selain disukai oleh penderitaan hingga diikuti ke mana-mana, Naomi ternyata juga bodoh.
Lama-lama ia bisa mati karena satu alasan saja. Yaitu, memiliki kekasih seperti Dikta.
"Aku sungguh khawatir padamu, Naomi. Waktu perempuan itu, siapa namanya? Arina? Ah, iya, Arina!" Dikta mencoba mengingat-ingat nama Arina. "Waktu Arina memberitahumu bahwa kamu sedang sekarat di rumah sakit akibat melakukan percobaan bunuh diri, aku benar-benar panik. Aku bilang aku akan secepatnya ke Jakarta dengan memesan penerbangan pertama. Tapi, beberapa jam kemudian, Arina menghubungiku kembali dan menyatakan bahwa masa kritismu sudah lewat. Kebetulan, tidak ada penerbangan cepat ke Jakarta. Paling cepat tiga jam selanjutnya, jadi aku menunggu saja," lanjut Dikta memberi alasan.
Hah? Bagaimana Naomi mau percaya kalau Arina saja tidak memiliki nomor telepon Dikta.
"Arina sama sekali tidak mengetahui nomor hpmu. Mengerti?" Naomi menyeringai, kena Dikta sekarang.
"Mana kutahu dia mendapatkannya dari mana, yang jelas ada perempuan menghubungiku dengan menangis terisak-isak dan mengatakan dirimu sedang sekarat. Ia bilang ia bernama Arina!"
Kini, Dikta berganti posisi, berjalan menuju akuarium dan mengamati ikan-ikan yang berada di akuarium besar milik Naomi. Kalau dilihat-lihat, sepertinya Dikta bukan tipe laki-laki kaku yang diam saja melainkan seorang laki-laki aktif yang tidak bisa diam. Ada saja tingkahnya.
"Bisa saja perempuan itu mengaku bernama Arina, padahal ia bukan Arina," debat Naomi.
Kini Naomi membiarkan Dikta melakukan sesuka hati di apartemennya. Ia ingin melihat, sejauh mana Dikta bisa berkelit.
"Lalu apa untungnya?" Dikta menoleh ke arah Naomi sekilas, lalu fokus menatap akuarium lagi.
"Hah?"
"Apa untungnya bagi perempuan itu mengaku-ngaku? Ia kan hanya memberikan informasi yang sama sekali tidak menguntungkan, informasi baik lagi. Jadi, tidak ada alasan baginya untuk menyembunyikan identitasnya."
'Dikta benar,' batin Naomi. Meski enggan, ia harus mengakui itu.