Naomi masih terdiam, menimbang-nimbang apakah ia harus masuk atau tidak. Jelas, Keiko sudah memanggilnya. Harusnya Naomi tidak perlu berpikir lagi. Giginya menggigit bibir bawahnya, tanda ragu masih menyelimuti benaknya.
Sudahlah, ia memutuskan untuk tetap masuk saja. Yang pertama, karena Keiko memang sudah memanggilnya. Masa' ia mengabaikan panggilan Keiko. Yang kedua, ia juga harus tanggung jawab dengan apa yang dilakukannya. Naomi memang bersalah, menguping diam-diam pembicaraan pribadi Keiko. Jadi ia tidak boleh kabur begitu saja.
Lagipula, sepertinya Keiko sedang membutuhkan teman bicara. Meski Naomi tidak tahu apa masalah yang sedang melanda Keiko, dan ia juga pasti tidak bisa membantu menyelesaikan masalahnya. Setidaknya, Naomi bisa untuk mendengarkan curhatan Keiko untuk membuatnya lega.
Naomi mendorong pintu sedikit, menampakkan muka rasa bersalahnya pada Keiko dengan menatap mata Keiko takut-takut. Tapi, Keiko yang memang aslinya baik, meski sedang dalam masalah, meski air mata di pipinya belum kering, tetap saja tidak lupa menyunggingkan senyumnya yang lebar kepada Naomi. Membuat hati Naomi hangat, tidak merasa terintimidasi.
"Maafkan aku, Keiko. Aku diam-diam mendengar pembicaraanmu. Tapi, sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tadi sedang menuju dapur dan mendengarmu berteriak. Aku khawatir, lalu berlari ke kamarmu. Yah, walau pada akhirnya aku memang mendengar sedikit pembicaraanmu. Aku sungguh meminta maaf."
Naomi berkata panjang lebar kepada Keiko dengan wajah menunduk dan tidak berani memandang wajah Keiko. Malu, hanya itu yang Naomi rasakan. Namun, Keiko malah menatapnya seraya tertawa geli. Naomi kalau sedang merasa bersalah sangat lucu sekali di mata Keiko. Seperti anak kecil yang sedang tertangkap basah oleh ibunya karena memakan permen banyak-banyak.
"Tidak papa, Naomi. Aku tidak mempermasalahkannya sama sekali. Aku juga meminta maaf karena berteriak terlalu kencang di depanmu. Aku sungguh telah kehilangan kontrol." Keiko malah balik meminta maaf.
Begitulah Keiko, ia sungguh teman yang baik. Ia tidak akan mempermasalahkan apabila Naomi sedang melakukan kesalahan, ia dapat memakluminya. Naomi tidak menyahuti lagi perkataan Keiko. Ia terdiam, menunggu aba-aba dari Keiko ia harus bagaimana. Apakah Keiko langsung menyuruhnya kembali ke kamar atau malah tetap di kamar Keiko mendengar curhatannya. Meski sudah tinggal beberapa lama, Naomi masih sedikit tidak mengerti dengan sifat Keiko yang tidak mudah ditebak.
"Apakah kamu lelah, Naomi?" Keiko memijit pelan-pelan matanya yang bengkak. Keiko sempat berdiri sejenak, mengambil minyak kayu putih di kotak P3K, dan melumuri minyak kayu putih di sekitar mata pelan-pelan, agar tidak terkena matanya.
Naomi yang ditanya seperti itu oleh Keiko jelas menggeleng cepat. Meski sejujurnya ia memang lelah. Bangun pagi jam lima subuh, sejak itu Naomi terus berkegiatan. Jam di kamar Keiko sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Dan ia harusnya sudah berbaring di ranjang mengistirahatkan tubuhnya yang meronta menahan lelah.
Tapi tetap saja, dibanding tubuhnya yang lelah tidak seberapa, jelas, Keiko merupakan prioritas paling penting dalam hidup Naomi.
"Apa ada hal yang ingin kamu ceritakan, Keiko? Aku dengan senang hati mendengarnya. Apa ada yang tidak beres?"
Naomi tersenyum, tulus. Rasa-rasanya ia ingin mengusap air mata Keiko, tapi ia masih sungkan. Bagaimana kalau nanti Keiko menganggapnya itu adalah hal yang kurang ajar?