"Jelas ada, kak. Aku udah berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri."
Naomi tidak kalah kaget mendengar jawaban santai yang terlontar dari bibir Denta. Melihat Denta di hadapannya saat ini seperti melihat dirinya sendiri. Masalah yang Naomi hadapi bahkan bukan berasal dari kesalahannya sendiri. Tapi ia yang harus menanggungnya, bahkan ia lebih menginginkan kematian daripada hidup di dunia dengan penderitaan seperti ini.
Dan ada yang sama seperti dirinya, bahkan gadis dengan usia yang jauh lebih muda daripadanya. Jelas dari segi emosi pasti belum stabil, masih saja dibully oleh orang-orang yang tahu masalahnya saja tidak. Naomi benar-benar ingin berteriak sekarang. Apa di dunia ini, yang namanya keadilan itu hanyalah fiksi?
"Untung ada kakak aku, dia yang nyelametin aku di semua percobaan bunuh diriku. Kalau nggak ada dia, mungkin aku udah lama mati," lanjut Denta seraya menerawang jauh membayangkan detik-detik setiap ia melakukan percobaan bunuh diri yang sungguh, karena ia sudah tidak tahan lagi.
Sementara Naomi entah untuk yang keberapa kalinya terhenyak dengan perkataan Denta. Bagaimana tidak? Kata-katanya sama persis dengan apa yang sering ia ucapkan. "Kalau tidak ada Arina yang selalu menyelamatkannya saat ia melakukan percobaan bunuh diri, mungkin ia sudah lama mati." Sangat mirip kan?
Sebagai seorang penulis, Naomi memiliki firasat bahwa kejadian hari ini yang mengharuskan ia bertemu dengan Denta bukanlah suatu kebetulan. Pasti Tuhan sudah mengaturnya. Untuk Denta, Naomi agak menyesal sedikit karena sepertinya Denta bercerita dengan orang yang sama seperti dirinya. Coba kalau bercerita dengan orang yang emosinya stabil, tidak memiliki masalah berat apalagi pernah difitnah, sudah tentu memberikan saran pada Denta agar ia tidak melakukan percobaan bunuh diri lagi. Tapi Naomi bisa apa? Dirinya tidak bisa menyarankan hal-hal yang seperti itu.
"Sebentar, gue boleh tahu gimana rasanya dibully satu Indonesia apalagi dengan masalah yang sebenarnya lo nggak salah sama sekali, itu rasanya kayak apa?"
Pertanyaan konyol, Naomi akhirnya tertawa sendiri menyadari kebodohannya. Ya jelas frustrasi lah, siapa pun orang yang berada di posisi Denta pasti akan frustrasi setengah mati.
"Ya itu, rasanya seperti hampir mati."
Denta menjawab singkat. Matanya bahkan sudah tidak fokus ke Naomi lagi. Ia memandang ke arah kaca yang dipenuhi pemandangan khas Jakarta. Sedangkan Naomi jelas merasa bersalah. Bodoh, kenapa ia harus bertanya seperti itu lagi.
"Terus lo mau di sini sampai kapan?" tanya Naomi akhirnya. Sepertinya ia harus menyudahi kepo urusan orang lain terutama urusan Denta. Ia tidak ingin terlibat lebih dalam lagi.
"Maaf, Kak. Aku udah kirim chat ke kakak aku supaya dia jemput aku di sini. Tapi chat aku belum dibaca, mungkin dia sibuk."
Denta mengambil hpnya kembali, membuka applikasi chat dan memeriksanya apakah sudah ada jawaban dari kakaknya. Tapi pada akhirnya ia mendengus kesal. Kakaknya masih tidak membaca pesannya.
"Ya percuma juga sih, kalau kakak kamu jemput juga nggak bakalan bisa keluar kamunya. Pasti mereka masih nungguin kamu di bawah. Mereka kan pantang pulang sebelum mendapatkan berita."