Burn Out

Siti Soleha
Chapter #15

Life!

"Kak, ada mi instan nggak, Kak?" tanya Denta tanpa ada rasa tidak enak di wajahnya.

Naomi hanya memutar kedua bola matanya, mungkin Denta pikir Naomi itu adalah sahabatnya, saudaranya atau bahkan ibunya. Denta tidak berpikir kalau Naomi hanyalah seseorang yang baru ia kenal beberapa jam yang lalu saja. Tanpa ada hubungan apa pun sebelumnya. Tanpa pernah mengenal satu sama lain sebelumnya.

"Nggak mungkin ada, lah. Gue nggak boleh makan yang berbahan pengawetnya tinggi sama dokter gue. Disuruh makan makanan yang sehat-sehat aja."

Denta melongo mendengar perkataan Naomi seraya mengambil roti dan mengolesnya dengan selai coklat kesukaannya dan memasukannya ke dalam alat pembuat roti bakar.

Bukannya apa-apa, setahu Denta mi instan adalah makanan terbaik di seluruh dunia. Harganya murah, bikinnya praktis, mengenyangkan, dan satu hal yang terbaik, rasanya begitu enak. Sepertinya tidak akan ada orang yang sanggup menolak kelezatan mi instan. Denta bingung bagaimana Naomi bisa menolak makanan selezat itu.

"Emangnya Kakak sakit apa? Oh, iya, ngomong-ngomong dari tadi kita ngobrol aku belum tahu nama Kakak. Nama Kakak siapa, sih?"

Naomi spontan tersenyum kecil, ini anak menarik juga sifatnya. Selain depresi yang sedang dialaminya, sepertinya Denta adalah seorang anak yang asik dan periang dulunya. Terlihat dari sikapnya yang santai kepada orang yang baru dikenalnya.

"Nama gue Naomi." Naomi memandang Denta dengan tatapan datar. Dasar anak ini!

"Oke, Kak Naomi. Lalu, emangnya Kakak sakit apa?"

Denta bertanya dengan mulut yang belepotan coklat, selain lapar sepertinya Denta juga doyan dengan roti bakar rasa coklat. Terbukti, itu adalah rotinya yang ketiga yang ia makan. Naomi bukannya marah makanannya dihabiskan oleh Denta tapi ia malah senang.

Selama ini, stres membuatnya tidak nafsu makan sama sekali. Tapi di satu sisi, Arina selalu mengomel apabila melihat makanan di meja makan utuh. Kadang, Naomi membuangnya. Tapi itu hanya dilakukan sekali-kalinya karena takut dimarahi Arina. Selebihnya, ia membawa makanan-makanan itu ke luar apartemen dan membagi-bagikannya dengan anak-anak jalanan.

Entahlah, mungkin bagi Naomi dirinya adalah makhluk paling tidak bersyukur kalau sampai membuang-buang makanan. Sebab, di dunia ini masih banyak orang yang kelaparan. Tidak usah jauh-jauh, dirinya saja dulu sering kelaparan, sewaktu ada ayahnya apalagi setelah ayahnya meninggal. Ia sering memegangi perutnya yang sakit akibat belum makan seraya memeluk guling. Ia tahan-tahan setengah mati rasa laparnya, ia usir dengan mencoba membayangkan apa pun yang bisa mengalihkan perhatiannya pada rasa lapar.

Tapi ia tidak pernah berhasil, ujung-ujungnya ia menangis sesenggukan. Dan baru rasa laparnya teralihkan sebab Naomi sangat fokus menangis. Masa-masa itu tidak akan Naomi lupakan, masa-masa sebelum Keiko menghampirinya dan mengajaknya untuk tinggal bersamanya adalah masa terburuk bagi Naomi.

'Keiko, maafkan aku,' batin Naomi.

"Gue? Gue sakit, depresi. Depresi akut tepatnya," ujar Naomi seraya mengalihkan perhatiannya pada hpnya yang terdapat satu notifikasi.

Lihat selengkapnya