Arina menyeruput es cappucino kesukaannya dengan irama cepat. Dirinya sedang kesal hari ini, ia sudah lama menunggu Dikta tapi laki-laki itu tidak kunjung datang. Ia benar-benar geram, padahal Dikta sendiri yang mengajaknya janjian di cafe ini untuk berbicara mengenai Naomi.
Dan Arina langsung mengiyakannya, bagaimana tidak? Dikta telah memfitnah dirinya di depan Naomi, mengatakan bahwa ia yang memberi tahu Dikta bahwa Naomi mencoba bunuh diri dan bahkan memberi tahunya bahwa Naomi sedang sekarat. Siapa yang melakukan itu? Arina tidak pernah melakukannya.
Lagi pula ia tidak memiliki nomor hp Dikta, bagaimana cara Arina untuk menghubunginya? Sebentar, semalam Dikta menghubunginya. Tahu dari mana Dikta nomor hpnya? Apakah dari Naomi? Ah, rasa-rasanya tidak mungkin. Naomi justru memarahi Arina agar tidak memberikan nomor hpnya pada Dikta. Jadi, Naomi tidak mungkin melakukan itu. Lalu, Dikta tahu dari mana nomor hpnya?
Arina memandang sekitar, sebenarnya cafe ini menarik karena dekorasinya mengambil tema Bali. Suasana cafenya benar-benar merasakan seperti berada di Bali.
Angin sepoi-sepoi membelai rambut Arina yang hitam panjang. Cafe ini berkonsep outdoor, ada pohon-pohon rindang yang membuat suasananya menjadi tidak gerah. Tapi tetap saja hati Arina panas, kemana cowok itu? Ia akan menghajarnya kalau bertemu dengannya.
Tidak lama kemudian Dikta datang, mengenakan kaus polos berwarna putih serta celana berwarna krem, tampilannya sederhana, dengan kaca mata yang ia kenakan, menambah kesan menarik dalam dirinya.
Dikta berjalan dengan santai dan melambaikan tangan pada Arina yang sedang menunggu dengan tatapan kesal, alisnya sudah menekuk sedemikian rupa. Memangnya Arina tidak ada kerjaan apa? Urusannya banyak. Bukan untuk dihabiskan dengan orang seperti Dikta.
"Halo, Rin, udah lama nunggu?" sapa Dikta seraya menarik bangku dan duduk di hadapan Arina.
Arina tidak menjawab, menurut dia saja bagaimana kalau satu jam lebih itu bisa dikatakan lama atau tidak. Mengesalkan sekali, bagaimana Naomi bisa sanggup menjadi kekasih orang yang suka seenaknya sendiri.
"Oh, iya, gue ngundang lo ke sini karena mau ngomongin Naomi. Tambah lama kesehatan mentalnya tambah nggak stabil ya, Rin?" tanya Dikta seraya menyalakan rokoknya.
Arina tersentak, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Dikta.
"Apa lo bilang? Lo berani ya ngatain sahabat gue kayak begitu? Gimana mentalnya mau stabil kalau punya cowok kayak lo?" Mata Arina membesar, alisnya mengkerut dan rahangnya mengeras.
Sementara kedua tangannya mengepal. Ia sudah hampir tidak bisa menahan emosinya dan ingin menyiram wajah Dikta dengan es cappucinonya. Kalau saja Arina tidak penasaran setengah mati dengan apa tujuan Dikta mengajaknya bertemu, pasti ia sudah pergi dari tadi.
"Lah, emang gue ngapain? perasaan gue nggak pernah nyakitin dia, Rin. Lo aja yang selama ini terlalu protektif!"
Dikta tidak peduli dengan tuduhan Arina. Ia malah mengambil buku menu berwarna hitam yang berada di meja dan membukanya, memilih-milih mana makanan yang ia ingin pesan, lalu memanggil pelayan dan memesan ayam bakar bumbu mattah kesukaannya berserta es teh manis. Pelayan mengangguk paham, lalu pergi dari hadapan Dikta dan Arina.
"Lo nggak sadar kalau lo udah nyakitin Naomi? hubungan kalian itu nggak sehat tahu, nggak? udah mendingan lo putusin aja deh Naomi."
Arina mengambil hpnya, membuka menu kontak di dalamnya. Ia mencari nama 'Dikta' tapi tidak ada. Arina melakukan itu semua di hadapan Dikta. Ekspresi Dikta terlihat bingung, tidak mengerti apa yang dilakukan Arina. Mengapa Arina membuka kontaknya dan menunjukkannya di depan Dikta?