Netra Naomi bergerak mengikuti langkah ketiga orang tersebut. Ia masih menggelengkan kepalanya dalam tangisan. Ini semua mimpi! Harusnya hari ini jadi hari yang paling membahagiakannya karena ia memenangkan olimpiade matematika, bukan hari paling terkutuk karena kematian Keiko.
Keiko mati? Tidak! Keiko belum mati. Setidaknya itu yang masih Naomi percayai. Dan Pak Aksan, mau sampai kapan menutup mulutnya seperti itu? Mereka harus keluar, mengejar para penculik itu, menangkapnya, dan membawa Keiko ke rumah sakit. Dengan begitu, Keiko akan baik-baik saja. Tapi apa yang terjadi? Pak Aksan masih diam di tempat. Tidak melakukan apapun yang membuat hati Naomi kesal.
Begitu mendengar suara mobil yang menjauh, Naomi tidak tahan lagi. Ia menggigit tangan Pak Aksan yang menutup mulutnya. Pak Aksan reflek melepaskan Naomi dan berteriak kesakitan, karena Naomi menggigit dengan begitu kencang. Naomi mencoba berlari mengejar mobil yang telah pergi, tapi usahanya sia-sia, ia malah jatuh di tengah-tengah gudang hingga menimbulkan suara gaduh.
Naomi berkeras mengangkat tubuhnya lagi, tapi tetap saja tubuhnya tidak merespon. Ia lunglai seperti lalat yang hampir mati. Tetap saja Naomi tidak ingin menyerah. Ia mencoba merangkak, mengambil sisa-sisa tenaganya keluar dari gudang untuk mengejar Keiko. Tapi lagi-lagi langkah Naomi terhenti. Tubuhnya sudah tidak sanggup lagi, hingga Pak Aksan datang dan mencoba membantu Naomi berdiri.
Naomi menghela tangan Pak Aksan yang mencoba membantunya. Ia benci sekali pada Pak Aksan yang tidak melakukan apa-apa. Bukannya menolong Keiko, Pak Aksan malah bersembunyi di belakang lemari. Apakah itu sebuah balas budi yang bagus kepada orang yang teramat baik kepadanya?
Naomi menatap Pak Aksan dengan tatapan jijik. Ia sungguh muak dengan keputusan Pak Aksan yang lebih memilih menyelamatkan diri sendiri dan Naomi ketimbang menyelamatkan Keiko, nonanya sendiri.
"Kenapa Pak Aksan malah bersembunyi di belakang lemari? Keiko bisa mati kalau tidak cepat-cepat di bawa ke rumah sakit." Naomi menangis, tangisannya pilu. Matanya tajam menatap Pak Aksan, seolah memaksanya menjelaskan apa yang dilakukan Pak Aksan tadi.
"Tapi Non Keiko menyuruh Non Naomi untuk lari. Kita tidak memiliki waktu untuk menyembunyikan Non Keiko. Pasti akan langsung ketahuan dengan tetesan darah Non Keiko yang masih mengalir. Jadi saya putuskan ...,"
Ucapan Pak Aksan terhenti. Ia sendiri pun menjelaskan dengan nada frustrasi. Tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana Pak Aksan begitu mengkhawatirkan Keiko. Begitu melihat Keiko di hadapannya pun, ingin rasanya ia menolongnya dan membawanya ke rumah sakit sama seperti apa yang Naomi minta.
Tapi Keiko menyuruh mereka lari. Keiko pasti tahu bahwa penjahatnya masih berada di sekitar sini. Kalau ia mencoba menyelamatkan Keiko, pasti yang terbunuh bukan hanya Keiko saja tapi mereka bertiga. Pak Aksan dan Naomi pasti ikut dibunuh untuk menutup mulut. Tidak ada yang lebih pedih hatinya ketimbang Pak Aksan yang harus cepat memutuskan untuk menyelamatkan siapa.
"Saya putuskan apa?? Saya putuskan untuk apa, Pak Aksan??" suara Naomi menggelegar ke seluruh ruangan gedung. Matanya kini merah, campuran antara amarah yang meluap serta tangisan yang tidak berhenti mengalir.
"Saya putuskan untuk menyelamatkan Non Naomi daripada saya mencoba menyelamatkan Non Keiko juga yang beresiko besar untuk ketahuan dan kalau ketahuan, kita berdua juga akan dibunuh!"
"Apa? Pak Aksan lebih memilih menyelamatkan diri sendiri ketimbang menyelamatkan Keiko? Dengar, Pak, kalau saja Pak Aksan memberikan saya pilihan, saya lebih memilih untuk menyelamatkan Keiko dan mati bersamanya daripada harus menyelamatkan diri sendiri dan melihat Keiko mati di hadapan saya! Saya pasti akan menderita penuh dengan penyesalan seumur hidup saya!!!"
Naomi mengeluarkan seluruh energinya untuk berteriak. Entah energi dari mana lagi yang ia dapatkan hingga bisa berteriak sekeras itu.
"Lalu Non Naomi pikir saya tidak akan menderita seumur hidup saya?? Mengambil keputusan dengan cepat untuk menyelamatkan diri sendiri dan dengan tega membiarkan Non Keiko di bawa orang tidak dikenal, kamu pikir saya tidak akan menderita seumur hidup saya, hah??"
Pak Aksan menjawab ucapan Naomi tidak kalah marahnya. Keiko yang dulu pernah membantunya membujuk orang tuanya untuk memperkerjakan Pak Aksan sebagai supirnya sewaktu Pak Aksan dibuang orang tuanya di jalan karena sering sakit-sakitan dan orang tuanya tidak mampu mengobati Pak Aksan yang waktu itu masih berusia dua puluh tahun karena Pak Aksan memiliki penyakit lambung akut.
Keiko yang menanggung biaya pengobatan Pak Aksan. Begitu Pak Aksan sudah dikatakan baikan dan boleh rawat jalan, Keiko menyuruh Pak Aksan untuk berlatih menyetir. Setelah bisa, Keiko memperkerjakan Pak Aksan di rumahnya sebagai supir pribadinya hingga kini. Pak Aksan juga terluka, sakit hati sampai rasanya mau mati melihat Keiko, sang putri penyelamatnya tergeletak tidak berdaya. Tapi orang-orang yang datang tadi terlihat begitu kuat, banyak dan ahli bela diri. Ia tidak akan sanggup melawan orang-orang itu sendirian. Mau mengandalkan siapa? Mengandalkan Naomi yang ia sendiri pun sudah lemas dan kehabisan energi?
Kalau Pak Aksan nekat membawa Keiko, ia yakin kalau kini bukan hanya Keiko yang tertangkap tapi juga dirinya dan Naomi. Keputusan besar dan juga salah yang harus diambilnya. Tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Semesta tidak memberikannya pilihan dan itu yang membuat Pak Aksan begitu menderita. Pak Aksan meremas-remas rambutnya sekuat tenaga. Ia benci, ia benci tidak bisa melakukan apa-apa untuk Keiko. Ia benci pada mata dan tubuhnya sendiri yang membiarkan Keiko dibawa orang-orang tidak dikenal tanpa melakukan apa-apa.
"Ma ... maaf, Pak Aksan. Saya rasa saya sudah begitu keterlaluan pada Bapak. Maaf sekali lagi." Naomi mencoba menenangkan Pak Aksan yang kini menangis meraung-raung.
"Tadi orang-orang itu bilang akan membawa Keiko ke rumahnya. Ayo kita ikuti mereka, Pak Aksan, tapi jangan sampai ketahuan. Mudah-mudahan Keiko masih bisa diselamatkan, dan kita bisa cepat-cepat membawanya ke rumah sakit." Naomi mencoba membantu Pak Aksan berdiri.
Pak Aksan mengangguk, setuju dengan perkataan Naomi dan dengan cepat berlari menuju mobil. Meninggalkan Naomi yang berjalan terseok-seok di belakang. Benar, masih ada harapan. Semoga Keiko masih hidup dan ia dapat membawanya ke rumah sakit.
....................