Seharian ini Naomi tidak kemana-mana. Ia izin ke kantornya tidak masuk karena sakit. Arina yang cemas mengetahui Naomi sakit langsung menghubunginya dan memaksa Naomi untuk check ke rumah sakit.
Naomi hanya tertawa kecil. Setelah Keiko, Arina merupakan berkat yang dikirim Tuhan untuknya. Sejak Arina menemukan dirinya tergeletak hampir mati di pinggir jalan, sejak itu Arina selalu melindungi Naomi.
Bahkan kalau dipikir-pikir, Arina lebih mementingkan Naomi ketimbang dirinya sendiri. Naomi mengatakan bahwa Arina tidak perlu khawatir. Ia hanya sedikit malas untuk masuk kantor hari ini. Padahal sebenarnya ada yang sedang dipikirkan Naomi.
Keiko meninggal karena dibunuh oleh orang yang sampai saat ini masih menjadi misteri. Pelakunya belum terungkap dan memang tidak ada yang berniat untuk mengungkapkannya. Naomi pun sudah kabur jauh dari rumah Keiko. Tidak lagi berhubungan dengan teman sekolah atau para pekerja yang ada kaitannya dengan Keiko.
Enam tahun sudah berlalu, tapi tiba-tiba ada sebuah email yang mengancam dirinya. Mengetahui tentang masa lalunya, tentang novel berharga Keiko dan juga kematian Keiko. Meski belum pasti, setelah memikirkannya cukup matang, Naomi kini cukup yakin bahwa orang di balik email itu adalah pelaku pembunuhan Keiko.
Sebab, tidak mungkin orang di balik email itu adalah para pekerja yang mengetahui perihal novel berharga Keiko. Kalau itu mereka, pasti tidak mungkin mengatakan bahwa Naomi adalah pembunuh Keiko. Tapi kalau orang itu adalah pelaku pembunuh Keiko, mengapa ia malah menuduh Naomi pelakunya? Naomi mulai mengacak-acak barang yang terdapat di meja kerjanya lagi.
Suatu kebiasaan buruk yang Naomi lakukan apabila sedang gelisah atau memiliki masalah. Tiba-tiba terbersit sebuah rencana gila di pikiran Naomi. Apa ia balas saja email itu dengan mengatakan bahwa sebenarnya orang di balik email itu adalah pelakunya?
Naomi ingin melihat reaksi balasan dari orang tersebut. Kira-kira, apa yang akan dilakukan orang tersebut setelah Naomi membalas emailnya? Tapi, ia sudah berjanji pada Arina untuk tidak bertidak gegabah. Bagaimana kalau orang di balik email itu marah dan menyerang balik dirinya?
Tapi bagaimana pun, Naomi sudah muak dengan hal ini. Email itu selalu mengingatkan dirinya tentang Keiko. Dan setiap ia mengingat Keiko, rasa sakit selalu menjalar ke seluruh tubuhnya. Menguliti setiap inci sel-sel darahnya hingga membuat Naomi menderita. Dan setiap ia merasakan rasa sakit, hal yang terbesit di pikirannya adalah mengakhiri hidup.
Naomi tidak ingin pola hidupnya seperti ini terus. Ia harus bangkit dan pulih. Kalau ia harus mati pun karena hal ini, setidaknya ia mati setelah melakukan pembalasan terhadap orang yang menyakiti Keiko. Dengan begitu ia tidak akan menyesal. Bukan malah berdiam diri seperti ini.
Benar, ia harus melakukan sesuatu. Dan Arina tidak boleh tahu karena ia akan marah. Naomi beranjak, membuka laptop, lalu membalas email yang selama ini menerornya itu
"Jangan macam-macam denganku. Aku tahu siapa kamu! Jangan sampai membuatku marah dengan menyeretmu ke penjara karena kamu membunuh Keiko!"
Klik!
Email itu terkirim. Naomi menunggu email balasan dengan menatap laptopnya lekat-lekat. Semenit, dua menit, Naomi tunggu, tapi tidak ada balasan. Tapi ia tidak ingin lengah. Mungkin saja email itu belum dibaca. Sepuluh menit Naomi tunggu, tetap tidak ada balasan juga.
Naomi pergi ke dapur, mengambil kopi sachet dan menyeduhnya dengan air panas. Sebetulnya, Naomi tidak menyukai kopi. Ia hanya akan meminumnya kalau otaknya sudah mengepul. Pertama kali membeli minuman kopi mahal juga karena ajakan teman-teman kantornya. Padahal Naomi sayang pada uangnya, tapi untuk menghindari nyinyiran teman-temannya, ia akhirnya ikutan membeli.
Sewaktu Naomi menyeruput kopi yang masih panas, matanya terbelalak. Ada notifikasi satu email masuk di laptopnya. Buru-buru ia mengarahkan kursor dan membuka kotak masuk tersebut.
"Jangan mencoba mengancamku, Naomi. Aku tidak akan segan-segan membuat karirmu hancur. Sudah saatnya semua orang tahu siapa kamu sebenarnya!"
Tangan Naomi yang berada di atas mouse bergetar. Selang beberapa detik, email itu masuk lagi.
"Tiga hari dari sekarang kamu akan mengalami penderitaan yang sama seperti penderitaan yang Keiko alami. Haha, tunggu saja!"
Naomi reflek membanting laptop pemberian Keiko. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ah, iya, menghubungi Arina. Ah, tidak, Arina pasti memarahinya. Naomi beranjak mengambil tas kecilnya dengan penuh kekalutan dan keluar dari apartemen.
Naomi berlari terseok-seok di antara lorong-lorong panjang. Ia menabrak orang-orang yang berjalan dengan santai di lorong. Orang-orang tersebut pasti akan menganggapnya gila. Naomi tidak peduli, ia harus berlari menjauh. Sebelum orang itu menemukannya seperti saat mereka menemukan Keiko.
Ia tidak boleh mati sebelum tahu siapa pembunuh Keiko. Dirinya harus kuat. Tapi ia harus ke mana lagi? Orang di balik email itu pasti sudah tahu alamat apartemen Naomi. Ia harus pergi jauh, ke tempat di mana tidak ada satu pun orang yang dapat menemukannya.
Naomi terus berlari, tidak peduli kini ia jadi pusat perhatian orang-orang. Bagaimana tidak menjadi pusat perhatian? Dirinya berlari keluar dari apartemen dengan hanya memakai piyama saja. Bukan itu saja, ia juga tidak memakai sandal. Begitu sampai di lobby, Naomi sadar bahwa ia hanya membawa dompet yang berisi hp, kartu ATM dan beberapa lembar uang seratus ribuan saja.
Ia tidak membawa kunci mobil, mau kembali ke atas tapi Naomi takut orang yang berada di balik email itu sudah menungguinya di sana. Apartemen itu tidak aman, Naomi jelas tahu itu. Meski harus memasukan kata sandi di gagang pintunya, tapi sejak Dikta tahu-tahu berada di kamar Naomi waktu itu. Ia tahu bahwa kamarnya bisa di masuki siapa saja.
Jadi Naomi memutuskan untuk tidak kembali ke kamarnya. Ia berlari menjauhi apartemen, tidak peduli kakinya melepuh karena kepanasan. Hingga saat Naomi berlari tak tentu arah, ia malah menabrak orang yang berlari sama kencangnya dengan dirinya.