Burn Out

Siti Soleha
Chapter #28

Pembunuh Bayaran

"Mulai sekarang udah kita lupain semua masalah hidup kita. Selama ini, hidup udah terlalu nggak adil sama kita."

  Perkataan Naomi seperti titah. Membuat Denta mengangguk dengan pasrah. Bagaimana bisa ia melupakan semua masalah hidupnya? Kalau sumber kekuatan ia dalam hidup, yakni mamanya meninggal di hadapannya.

  Ya, mama Denta meninggal di hadapannya. Saat kakaknya sadar mamanya sengaja meninggalkan mereka berdua dengan tiket karcis yang dititipkan padanya. Dikta langsung mengejar dan mencari di toilet. Tapi hasilnya nihil.

  Tidak sampai di situ, ia juga terpikirkan meminta bantuan pada petugas stasiun untuk mencari mamanya. Petugas pun membantu, dengan bekal ciri-ciri fisik mamanya dengan tinggi kira-kira seratus enam puluh lima centimeter, berkulit putih, rambut bergelombang, memakai baju atasan merah, rok dengan warna senada dan memakai sendal selop hitam.

  Dikta dan para petugas pun mencari di sekitar stasiun. Ada yang mencari di depan stasiun, ada juga yang mencari di rel kereta hingga tiga kilometer jaraknya dari stasiun. Dan di situ lah mama Denta ditemukan. Meninggal dengan pisau yang masih menancap di perutnya.

  Denta menangis meraung-raung. Denta kecil tentu tidak mengerti keadaan. Ia sama sekali tidak memercayai apa yang baru saja dilihatnya. Bagaimana mungkin mamanya meninggal di semak-semak rel kereta api yang jaraknya jauh dari stasiun? Bukan kah tadi mamanya hanya izin ke toilet saja?

  Belum beberapa jam yang lalu mamanya masih memarahi Denta karena lelet dan tidak rapi-rapi. Baru tadi mamanya masih menggendongnya menuju stasiun. Bagaimana Denta bisa memercayai bahwa mamanya telah tiada meski ia melihat dengan mata kepala ia sendiri mamanya telah terbujur kaku.

...........


  Kereta terus berjalan. Masing-masing dari Naomi mau pun Denta bergeming. Tidak ada yang memulai percakapan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.


  Naomi sibuk memikirkan bagaimana ia ke depannya nanti. Sudah ada bayangan di benaknya bahwa Pak Cahyo pasti akan marah besar kalau orang di balik email itu benar-benar menyebarkan kenyataan bahwa kedua novelnya yang best seller bukan karangannya.


  Ia pasti dipecat secara tidak hormat. Mungkin tidak hanya itu, ia pasti ditendang ke luar kantor. Begitu pun dengan Arina. Pasti marah besar dan kecewa. Arina pasti kecewa karena merasa dibohongi oleh dirinya.


  Kereta terus berjalan. Sementara Denta yang duduk dekat jendela menatap pemandangan sawah yang asri. Matanya teduh menatap alam yang hijau tapi tidak pikirannya. Begitu banyak pertanyaan dalam hidupnya yang belum terjawab.


  Jujur, pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan jawaban. Mama Denta adalah tipe seorang ibu yang begitu lembut. Tidak hanya pada anaknya saja tapi juga pada orang lain. Tetangga-tetangga mengenal ibu Denta sebagai seorang yang baik dan suka menolong.


   Apabila ada tetangga kesusahan, meminta beras misalnya, ibunya langsung memberikan. Meminjam uang untuk biaya RS pun, tanpa pikir panjang ibunya selalu memberikan. Lalu, kenapa bisa meninggal dengan pisau yang menancap di perutnya?


  Apakah orang yang membunuh itu penjambret? Perampok? Atau bahkan musuh yang dendam pada ibunya? Pertanyaan itu sampai sekarang tidak terjawab. Ia pun tidak bisa bertanya kepada polisi yang mengusut kasusnya. Waktu itu, ia masih sangat kecil. Boro-boro memikirkan kasus ibunya. Bisa hidup saja sudah untung bagi ia dan kakaknya.


  Dan kedua gadis itu diam-diam menangis. Yang satu menangisi masa lalunya, yang satu menangisi entah akan jadi seperti apa masa depannya.


"Kalau aku dikasih kesempatan untuk hidup kembali. Aku nggak akan pernah memilih hidup yang seperti ini lagi," gumam Denta lirih. Kepalanya masih menatap jendela, memandangi sawah-sawah yang asri. Tanpa Denta sadar bahwa Naomi mendengar perkataannya.


"Nggak ada orang yang mau memilih hidup dengan penuh penderitaan, Ta." Naomi tersenyum sendu menatap Denta. "Tapi, merasakan penderitaan adalah tanda bahwa kita sedang hidup," lanjut Naomi.


"Aku tahu, Kak. Makanya aku nggak mau hidup lagi."


"Hey, jangan ngomong kayak gitu. Ayo kita bangkit dari keterpurukan. Ayo kita hidup dengan kebahagiaan."


  Naomi meyakinkan Denta dengan penuh semangat. Padahal Denta bisa melihat dengan jelas ada keraguan dan rasa takut di mata Naomi. Tapi ia tetap mencoba menghibur Denta. Bagi Denta, Naomi adalah orang yang baik sekali.


'Apa yang akan terjadi, terjadi saja. Aku sudah tidak peduli,' batin Denta.


  Denta memejamkan mata. Berharap saat ia membuka mata, semua penderitaan yang terjadi dalam hidupnya menghilang bagai debu yang berterbangan.


..............


  Naomi dan Denta terbangun oleh suara pengumuman yang menginfokan bahwa sebentar lagi akan sampai pada stasiun terakhir. Seraya mengucek mata, Naomi mengusap wajahnya dan menoleh ke Denta.


"Kita sudah hampir sampai?" tanya Naomi seraya menatap mata Denta yang bengkak. Pasti bocah itu tidur sambil menangis.

Lihat selengkapnya