Arina baru saja terbangun dan megambil hp yang ia letakkan di nakas samping tempat tidurnya. Sebelum akhirnya kaget dan melebarkan matanya melihat ada dua ratus lima puluh kali panggilan tidak terjawab dari atasannya, Pak Cahyo.
Ada apa ini? Kenapa orang tua itu menghubunginya ratusan kali? Apa kiamat sudah datang? Atau bagaimana? Arina tidak pernah benar-benar bisa memahami Pak Cahyo meski ia sudah bekerja belasan tahun dengannya.
Pak Cahyo tipe atasan yang selalu menyusahkan dan cepat panik. Apa-apa selalu ditanggapi dengan berlebihan. Marah berlebihan dan terkadang sampai membuat semua karyawannya menghindar karena tidak mau dibuat repot olehnya.
Hanya Arina yang kuat mental menghadapi Pak Cahyo. Selama ini semua omelan Pak Cahyo hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Ia hanya mengangguk saja agar Pak Cahyo tidak berlama-lama memarahinya. Jangan sampai berani melakukan interupsi apalagi sampai berani mendebatnya. Wah, bisa panjang urusannya.
Arina pernah ditelepon subuh-subuh oleh Pak Cahyo karena pipa keran di rumahnya bocor. Arina diharuskan mencari tukang dengan cepat yang bisa memperbaiki kalau tidak rumahnya bisa kebanjiran karena air yang terus mengalir. Arina hanya memutar kedua bola matanya. Mengatakan iya-iya saja, lalu kembali tidur.
Sampai di kantor ia kena marah habis-habisan. Bahkan Naomi yang melihat Arina dimarahi sampai bergidik ngeri dan juga tidak tega padanya. Arina yang dimarahi malah cengengesan saja sewaktu Naomi bertanya apakah ia baik-baik saja. Karena Arina dimarahi dari jam delapan pagi dan tidak boleh keluar dari ruangannya sampai sore.
Ia menjawab santai bahwa ia dimarahi dan selebihnya, selama seharian ia hanya mendengarkan keluh kesah Pak Cahyo tentang para karyawan yang menurut ia kerjanya tidak becus. Arina bercerita pada Naomi, bahwa saat Pak Cahyo berjalan ke sana ke mari seraya memarahinya, ia diam-diam menggunakan headset agar semua ocehan Pak Cahyo tidak kedengaran.
Arina tidak ambil pusing menghadapi Pak Cahyo. Dia bukan Naomi yang mudah untuk diintimidasi. Lagipula, kalau seharian dia dimarahi dan hanya mendengarkan curahan hati Pak Cahyo, itu artinya ia kan tidak perlu bekerja. Memeriksa puluhan novel dengan deadline yang tidak masuk akal.
Kalau nanti pekerjannya banyak yang tertunda, itu kan bukan salah dirinya. Dan Pak Cahyo tidak bisa memarahinya. Tapi kali ini entah apa lagi? Ratusan panggilan? Memangnya gedung kantor roboh sampai-sampai Pak Cahyo menerornya.
Ada panggilan lagi dari Pak Cahyo. Heran, hobi benar atasannya itu menghubungi karyawan pagi-pagi. Sedetik, dua detik, Arina diam kan. Ia masih menimbang untuk mengangkat telponnya. Awas saja kalau kali ini cuma masalah sepele juga seperti pipa bocor. Bukannya Arina bantu, malah ia akan menyumpahi rumah Pak Cahyo akan terendam air.
"Halo?" jawab Arina malas-malasan. Sungguh, ia ingin tidur lagi dan tidak ingin diganggu.
"Arina!!!!!!!!! Di mana bocah tengik itu??? Saya sudah menghubunginya ribuan kali tapi tidak diangkat! Dasar brengsek!"
Belum apa-apa, Pak Cahyo sudah meluapkan emosinya. Dan kali ini, siapa bocah brengsek yang dimaksud Pak Cahyo? Apakah Irwan? Irwan merupakan editor seperti dirinya yang sering bolos masuk kantor. Kalau Pak Cahyo sudah memarahinya, ia memberikan alasan bahwa yang penting novel-novel yang ia periksa sesuai deadline.
Atau Bianca? Bianca adalah seorang penulis yang leletnya minta ampun. Apabila diberikan deadline sebulan dalam satu novel, ia malah menyetorkannya dalam waktu tiga bulan. Memang, di perusahaan lain waktu tiga bulan merupakan waktu standar dalam membuat satu buah novel. Tapi tidak di kantor yang atasannya merupakan Pak Cahyo.
Dan Bianca itu juga sebelas dua belas dengan Arina. Ia tidak peduli dengan omelan Pak Cahyo. Meski Pak Cahyo sudah membentak dirinya di depan muka nya. Bianca tidak peduli, ia hanya mengatakan apabila dirinya didesak seperti itu. Harus selesai satu novel dalam satu bulan saja, maka novelnya tidak akan pernah menjadi best seller.
Tidak ada novel bagus yang dikerjakan dengan buru-buru. Dan kalau sudah tidak best seller, pasti Pak Cahyo juga yang rugi. Entah lah, sebagai seorang penulis, Bianca memang jago dalam mendebat omongan orang lain.
"Bocah tengik siapa lagi kali ini, Pak? Irwan? Atau Bianca?" Arina menutup mulutnya yang terbuka lebar karena menguap.
"Naomi! Kemana bocah tengik itu? Saya sudah menghubunginya ribuan kali tapi tidak di angkat!"
Suara Pak Cahyo menggelar dan hampir membuat rusak gendang telinga Arina. Naomi? Punya kesalahan apa dia? Selama ini Naomi selalu bekerja dengan hati-hati karena ia tidak ingin membuat masalah dengan Pak Cahyo.
Dan untuk novelnya pun, belum ada yang jatuh deadline. Arina selalu mengingatkan Naomi agar ia tidak dimarahi oleh Pak Cahyo. Lalu kali ini, apa kesalahan yang dibuat Naomi?
"Naomi, Pak? Apa Bapak tidak salah? Selama ini, Naomi tidak pernah melakukan kesalahan. Ia merupakan salah satu karyawan teladan Bapak, kan?"
Kali ini Arina menanggapi telepon Pak Cahyo dengan serius. Ia sudah berdiri dari kasur dan duduk di sofa coklat yang berada di kamarnya. Sepertinya kali ini, kesalahan Naomi cukup fatal hingga membuat Pak Cahyo sampai murka seperti itu.