Arina mempercepat langkah, berburu dengan waktu. Pasti saat ini suasana kantor sedang kacau-balau. Semua karyawan pasti sibuk dihubungi oleh pihak media yang menanyakan kebenaran berita yang beredar di akun gosip media sosial.
Belum lagi wartawan yang datang langsung ke kantornya. Pasti membuat staf keamanan jadi kerepotan. Dirinya harus cepat berbuat sesuatu. Setidaknya ia harus bertemu Naomi untuk mendukungnya. Memberikan keberanian untuk klarifikasi di depan wartawan.
Memang benar kedua novel itu bukan Naomi yang menulisnya. Tapi kan pengarang aslinya sudah tidak ada. Lagi pula berdasarkan cerita Naomi, Keiko sendiri yang menyuruh Naomi untuk menerbitkan atas nama Naomi. Jadi Naomi tidak sepenuhnya salah. Meski ia memang berbohong. Seharusnya dari awal Naomi berterus terang tentang hal ini.
Begitu sampai, Arina menekan tombol sandi. Ia jadi teringat akan perkataan Naomi bahwa Dikta pernah menyusup ke kamarnya. Pertanyaannya, dari mana Dikta tau sandi di pintu masuk? Apakah selama ini dia menguntit diam-diam?
Begitu pintu terbuka, setengah berlari Arina menuju ke kamar Naomi. Tidak ada. Arina membuka selimut tapi Naomi juga tidak ada. Arina reflek memeriksa kolong tempat tidur. Biasanya, apabila Naomi sangat ketakutan ia sering bersembunyi di sana. Tapi di kolong tempat tidur pun kosong. Belum puas, Arina mengecek di balik gorden. Tapi tidak membuahkan hasil.
Arina berpindah ke kamar mandi. Di bathtub dan seluruh ruangannya juga tidak ada. Keluar dari kamar mandi, Arina tidak sengaja melihat laptop yang berada di meja. Laptopnya ada, jadi Naomi tidak mungkin pergi. Ia tidak mungkin pergi meninggalkan barang kesayangannya. Menurut penuturan Naomi, laptop itu ia dapatkan dari Keiko.
Arina tidak menyerah. Ia mengecek ruang tamu, menyisir kolong bangku. Tetap tidak ada juga. Arina berlari ke dapur, mengeceknya lebih teliti tapi tetap tidak dapat menemukan batang hidung Naomi. Kemana dia?
Ah, iya, gudang. Di apartemen Naomi ini sebenarnya memiliki dua kamar. Satu kamar utama yang ia gunakan, dan satu lagi kamar kecil untuk pembantu. Naomi menggunakan kamar itu untuk menaruh benda-benda yang sudah tidak terpakai.
Pasti Naomi di situ. Bersembunyi di dalam selimut bersama benda-benda penuh debu itu. Begitu kamarnya di buka, debu langsung menyeruak di hidung Arina yang membuat ia reflek bersin dengan kencang. Mata Arina berair akibat bersin hebat tersebut.
Tangannya melambai-lambai mencoba mengusir debu yang berterbangan tepat di wajahnya. Ternyata gudang itu penuh sesak dengan barang-barang. Apa saja yang Naomi simpang di sini? Kenapa ia tidak membuangnya saja agar tidak menumpuk.
Menyerah menyusuri barang-barang penuh debu itu, Arina mencoba memanggil nama Naomi. Walau sebenarnya saat Naomi sedang depresi dan bersembunyi, dipanggil berapa kali pun ia tidak akan menyahuti panggilan Arina.
Tapi mau gimana lagi? Hanya itu satu-satunya cara yang ia punya. Lagipula, sepertinya Arina yakin sekali bahwa Naomi tidak akan tahan bersembunyi di gudang penuh debu seperti ini. Arina yakin Naomi pasti sudah bersin puluhan kali seperti dirinya kalau nekat bersembunyi di sini.
"Naomi, Nom, lo di mana? Nom, ini gue Arina. Keluar yuk, lo nggak perlu takut, ada gue di sini."
Tidak ada sahutan.
"Naomi, please, jawab dong. Lo tahu kan gue tuh khawatir sama lo. Dari pada ngumpet begitu mendingan peluk gue sini. Lo nggak akan pernah ketakutan lagi!"
Tetap nihil. Arina keluar dari gudang. Kira-kira Naomi pergi ke mana? Ah, iya, akhirnya Arina teringat laptop Naomi yang terbuka. Pasti sebelum pergi, Naomi membuka laptop itu. Apa karena ia melihat berita di laptop makanya dia jadi shock?
Arina kembali ke kamar Naomi. Didapatinya laptop Naomi yang terbuka. Tapi yang Arina heran, Naomi tidak sedang melihat berita di google seperti dugaannya. Layar laptop itu memperlihatkan inbox email. Ah, iya, pasti Naomi mendapatkan email dari orang itu lagi.
Arina memegang kursor dan scroll email di inbox Naomi. Benar, di inbox yang paling atas, Naomi memang mendapatkan email dari orang tersebut. Arina membuka email dan tangannya reflek menutup mulutnya. Ia begitu shock dengan apa yang ia baca.
Naomi balas mengancam orang itu. Pantas saja orang itu murka dan membeberkan rahasia Naomi. Kenapa Naomi tidak pikir panjang sebelum bertindak? Ini tidak bagus, Arina harus bertindak.
Dengan cepat Arina keluar dari apartemen Naomi dan menutup pintunya. Kali ini ia menuju lift, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya menghubungi Naomi. Sama seperti tadi, hpnya tidak aktif. Tapi Arina terus mencoba, ia harus mempertanyakan keputusan gegabah Naomi yang malah menyerang orang itu.
Harusnya Naomi bisa lebih berhati-hati karena bagaimana pun juga dia punya kartu Naomi. Kenapa dia tidak berpikir ke arah sana? Keluar dari lift, Arina langsung berlari. Tapi ia menabrak seorang laki-laki dan membuat barang-barangnya berhamburan.
Mengatakan maaf dengan lantang, Arina ikut membantu membereskan barang laki-laki tersebut. Laptop, mouse, charger, semua terjatuh ke lantai. Saat membantu, ia melihat tangan laki-laki itu berdarah. Tapi di mana lukanya? Mengapa seluruh telapak tangannya berdarah tanpa ada luka sedikit pun?
Seketika ia menggeleng. Harusnya ia tidak kepo dengan urusan orang itu. Mau tangannya berdarah dengan terluka kek, mau tangannya berdarah tanpa ada luka. Itu bukan urusan dia. Selesai membantu, Arina mendongakkan wajahnya pada laki-laki itu untuk meminta maaf sekali lagi.
"Sekali lagi saya minta maaf ya, Mas. Saya lagi buru-buru."
Arina melebarkan matanya, ia kaget dengan apa yang dia lihat di hadapannya.
"Dikta? Lo ngapain ada di sini?"
Dikta diam saja dan seolah menghindar. Matanya yang bertatapan dengan Arina juga terlihat kaget. Mencoba menenangkan diri dengan cepat, ia langsung berdiri dan menekan tombol lift tanpa menjawab pertanyaan Arina.
"Dikta tunggu, lo mau ke mana? Ke apartemen Naomi? Atau sekarang jangan-jangan Naomi sama lo? Tunggu, kenapa tangan lo banyak berdarah kayak gini?" Arina memegang pergelangan tangan Dikta, mencoba menghentikannya.