Begitu sampai di gedung kantor, suasana sudah kacau. Baru saja Arina membuka mobil, dirinya sudah diserbu puluhan wartawan yang menyodorkan mic panjang ke arahnya. Para wartawan itu juga berebut memberikan pertanyaan kepadanya.
Arina muak, rasanya ingin menghilang saja. Mati saja, atau setidaknya pingsan sejenak. Kenapa para wartawan ini tidak menguap bagai debu? Hilang terbawa angin. Dirinya lelah, Naomi saja belum ketemu, apa yang harus ia jelaskan di hadapan para wartawan.
"Mba Arina, tolong jawab, Mbak. Emang bener, ya, dua novel best seller itu bukan Naomi pengarangnya tapi orang lain? Apa Naomi mencuri hasil karya orang lain?"
Arina menarik napas sejenak. Netranya melirik orang pemilik pertanyaan. Ternyata dia adalah Andra, wartawan tabloid gosip yang paling dibenci Naomi. Apabila ada Andra, di setiap kesempatan pasti Naomi langsung meminta dirinya untuk melindungi Naomi sampai ke mobil.
Tapi sekarang, ia sendirian. Siapa yang bisa melindunginya?
"Jawab dong, Mbak. Mbak kan editornya Naomi."
Andra terus mendesak, sementara wartawan lain turut menyoraki Arina seakan mendukung Andra. Arina mencoba menarik napas lagi berkali-kali. Ia mencoba menenangkan diri. Bagaimana pun juga ia bukan Naomi yang mudah panik. Ia bisa tidak peduli sama sekali dengan apa yang terjadi di sekitarnya kalau ia tidak menginginkannya.
Arina menengok ke arah Andra beberapa detik. Andra tersenyum karena menyangka Arina akan menjawab pertanyaannya.
"Pertanyaan Anda di luar kuasa saya untuk menjawab. Jadi sampai kapan pun, saya tidak akan memberikan klarifikasi apa-apa."
Tenang, lantang, serta percaya diri. Itu lah ciri khas seorang Arina. Bahkan ia tidak terlihat panik sama sekali diserbu puluhan wartawan. Tatapannya datar menatap Andra yang memperlihatkan mimik kesal padanya.
Arina terus berjalan, membuka blokade jalan yang tertutup. Sempat mereka tidak mau membuka jalan, Arina menghentakkan kakinya, memberi peringatan. Awas saja kalau mereka sampai melampaui batas, Arina tidak segan-segan marah pada mereka.
Tapi rupanya mereka tidak menyerah semudah itu. Sepertinya, mereka sudah berpengalaman menghadapi sosok seperti Arina yang dingin dan tidak mau membuka mulut. Oleh karenanya, mereka mulai memancing Arina dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Arina kesal.
"Sebagai seorang editor, Anda pasti tahu kalau kedua novel Naomi bukan dia pengarangnya. Kenapa Anda diam saja? Apakah Anda berkomplot dengan Naomi?"
Ha-ha. Arina malah tertawa mendengar pertanyaan bodoh itu. Ia maju satu langkah, ke tempat wartawan yang menyodorkan pertanyaan itu berdiri. Tangan Arina memegang name tag yang berada di dada sebelah kirinya. Tertulis nama Putri beserta dari tabloid gosip mana ia berasal.
"Oh, jadi nama kamu Putri? Haha. Apa kamu sekolah tinggi-tinggi nggak tahu ada pasal tentang pencemaran nama baik? Sekali lagi saya tegaskan saya bukan Naomi yang mudah panik kalau diserang. Saya dengan senang hati repot-repot membawa Anda ke hukum dengan pasal tadi."
Tatapan Arina seolah mengunci mata Putri. Putri yang sudah biasa menghadapi orang seperti Arina entah kenapa baru kali ini dibuat gentar. Tatapan Arina berbeda sekali dengan Naomi. Tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya. Putri sudah biasa mengintimidasi Naomi, tapi tampaknya kali ini ia tidak bisa mengintimidasi Arina.
Menyadari hal itu, Putri mundur satu langkah. Ia tidak ingin berurusan dengan orang seperti Arina.
"Dan sekali lagi saya tegaskan, jangan pernah lagi ke mari sampai Naomi sendiri yang klarifikasi semuanya!!" tegas Arina.
"Kapan, Mbak, klarifikasi dari Naomi. Oh iya, sekarang Mbak Naomi di mana ya? Tadi kita ke apartemennya dan kata resepsionisnya Naomi tidak ada."
Terburu-buru memberikan pertanyaan sebelum Arina pergi, wartawan yang menyodorkan mic ke bibir Arina, malah mic itu seolah meninjunya. Arina geram, tangannya mengepal. Sementara sang wartawan hanya cuek saja seolah tidak terjadi apa-apa.
Padahal bibir Arina langsung bengkak kecil akibat tinjuan mic tersebut.
"Saya tidak akan menjawab pertanyaan Anda. Dan tidak akan memberitahukan di mana keberadaan Naomi!"
Arina berjalan pergi, tidak peduli para wartawan masih saja membombardirnya dengan ribuan pertanyaan. Dirinya hanya menutup telinga. Walau tidak dipungkiri, Arina geram dengan pertanyaan wartawan yang seolah memancingnya untuk emosi.
............
Arina masuk ke dalam kantor. Keadaan kantor sangat sibuk. Bukan sibuk bekerja, tapi para karyawan sibuk mengangkat telepon dari sana-sini yang mempertanyakan kebenaran berita tersebut.
Tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu hening. Kini kuping Arina hampir tuli mendengar suara telepon yang sahut-sahutan. Seperti nyanyian paduan suara. Bedanya, suara di paduan suara menciptakan harmoni. Sementara suara bising dari telepon itu hampir membuat telinga Arina meledak.
Kantor itu berada dua lantai. Lantai bawah untuk admin dan HRD. Sementara lantai dua untuk editor seperti dirinya dan juga ruangan Pak Cahyo yang lumayan besar. Baru saja ia ingin naik tangga, rekan-rekan kerjanya juga memberondongnya dengan ribuan pertanyaan.
"Arina! Si Naomi ke mana sih, nggak tanggung jawab banget jadi orang!" tanya Beby yang setiap hari kerjaannya catokan terus di kantor. Arina selalu heran tiap melihat Beby, apa ia tidak memiliki pekerjaan sampai sempat mencatok rambut di kantor?
Arina diam, tidak menjawab pernyataan Beby. Lagipula pertanyaan Beby menurutnya tidak penting untuk dijawab. Untuk apa ia repot-repot menghabiskan waktunya untuk menjawab pertanyaan Beby.
Kali ini, Arina mencoba menaiki tangga dengan setengah berlari. Tapi Dinda, head manager HRD menghentikannya dengan melontarkan pertanyaan pada Arina.
"Tau! Bener banget tuh kata Beby, si Naomi nggak tanggung jawab banget. Gara-gara dia, gue jadi repot tau nggak ngangkat telepon tiap detik. Kalau nggak diangkat takut dari orang penting. Eh, giliran diangkat mala dari media-media yang nanya kebenaran berita tersebut."