Burn Out

Siti Soleha
Chapter #33

Dikta Orang di Balik Email

Arina dan Zein berjanji untuk bertemu di salah satu mall terbesar di kawasan Jakarta Selatan. Mall itu menjadi salah satu tempat tongkrongan bergengsi bagi anak-anak muda. Istilahnya, bagi mereka, kalau nggak nongkrong di situ belum bisa dibilang anak gaul.

Sebenarnya, Zein yang mengusulkan untuk bertemu di mall itu. Sempat heran, tapi Arina tidak bertanya lebih jauh. Sebab menurutnya, bukankah Zein lebih membutuhkan tempat yang sepi dan tenang seperti cafe kopi agar ia bisa berkonsentrasi?

Tapi memang cafe jaman sekarang berbeda dengan dulu. Dulu cafe memang identik dengan ketenangan dan sepi. Paling orang-orang yang datang hanya beberapa. Tapi berbeda dengan sekarang. Jaman sekarang cafe kopi juga sudah menjadi trend. Kalau malam minggu misalnya, kalau tidak nongkrong di cafe belum bisa dikatakan gaul.

Ya, sebenarnya trend memang terus berubah-ubah. Dan banyak juga trend yang diciptakan oleh salah satu brand agar produknya laku. Misal, kalau belum membeli kopi merk ini, belum bisa dikatakan anak gaul atau tidak kekinian. Alhasil, orang-orang semua ikut membeli brand yang viral itu.

Sampai rela mengantri berjam-jam demi untuk mendapatkan brand tersebut. Benar-benar, teknik marketing jaman sekarang memang jempolan. Mereka bahkan lebih mementingkan membuat konten untuk memasarkan produk mereka ketimbang memasarkan produk full offline.

Kalau hanya mengandalkan offline, paling yang terjual hanya beberapa. Tapi kalau mengandalkan konten, apalagi dengan menggandeng selebgram-selebgram yang sedang viral, produk mereka akan terjual secepat kilat.

Arina memasuki mall, menoleh ke kanan dan ke kiri. Apa nama restoran itu? "Makan, yuk!" Nama yang unik. Tapi Arina belum pernah mendengarnya. Ada di lantai berapa restoran itu? Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada security daripada menghabiskan banyak waktu untuk mencarinya sendiri.

Security memberitahu bahwa letak restoran itu di lantai lima. Arina mengucapkan terima kasih lalu pergi mencari lift. Di dalam lift, pikirannya bercabang ke mana-mana. Ia menjadi teringat dengan Naomi.

Kira-kira Naomi sekarang berada di mana ya? Kenapa bocah itu kini mulai berani keluar sendirian tanpa dirinya? Padahal dulu ia tahu sekali kalau Naomi orangnya penakut. Jangankan sampai pergi jauh, pergi yang dekat-dekat pun ia tidak berani. Naomi dulu selalu mengandalkan dirinya kalau kemana-mana.

Tidak berapa lama, pintu lift terbuka. Arina melebarkan matanya mencari satu per satu restoran bernama "Makan, yuk!" Tidak berapa lama ia menemukannya. Restoran itu berada di tengah-tengah antara toko boneka dan time zone. Tempat anak bermain game.

Dari luar saja, Arina sudah terkejut dengan konsep dekorasi restoran itu. Restoran itu tidak seperti restoran pada umumnya yang sering ia lihat. Dekorasinya unik, mengambil tema Timur -Tengah, dengan lampu kuning yang agak remang. Di temboknya memang ada gambar onta, gurun pasir, dan karpet terbang. Benar dugaan Arina, konsep restoran ini mengusung tema Timur-Tengah.

Dan yang membuat Arina terpana adalah tempat duduknya. Di restoran ini, tempat duduknya bukan seperti tempat duduk kebanyakan resto lain yang memanjang, cukup untuk keluarga besar. Tidak seperti itu.

Tempat duduk di sini hanya ada dua kursi dan satu meja saja. Dua kursi dan satu meja itu juga memiliki tirai putih yang panjang. Ada yang tertutup dan juga ada yang terbuka tirainya. Berarti konsep restoran ini adalah private. Antara satu kursi dengan kursi lainnya berjarak cukup jauh sehingga orang tidak saling mendengar obrolan satu sama lain.

Sedang bingung dan menoleh ke sana ke mari, netra Arina menangkap lambaian tangan laki-laki tinggi dan kekar di pojok ruangan. Laki-laki itu memakai kaos hitam polos, serta jeans berwarna navy dan sepatu kets warna putih. Rupanya Zein memilih tempat yang paling pojok agar bisa lebih fokus dan konsentrasi. Arina mengangguk, dan berjalan ke arah Zein.

Begitu sampai di kursi, Arina langsung menjabat tangan Zein dan menanyakan kabarnya. Meski di telepon tadi sudah, tapi apa salahnya ia menanyakannya lagi daripada dianggap tidak sopan.

Zein beranjak dari kursinya dan berdiri. Ia lantas membuka tirai di keempat sisinya, hingga tirai terlihat tertutup dari dalam.

"Sorry kalau aku harus tutup tirainya. Aku agak nggak nyaman kalau dilihatin banyak orang," kata Zein lalu kembali duduk.

Arina hanya mengatakan tidak apa-apa dengan suara pelan. Ia sudah terbiasa berjalan dengan seorang Naomi yang memang tidak nyaman dengan keramaian. Apalagi sebagai seorang penulis, Naomi cukup dikenal. Jadi, setiap berpergian ke mana pun pasti ada saja yang melihatnya terus-menerus hingga membuat Naomi risih.

"Data-data yang aku kasih udah cukup, Zein, untuk melacak Naomi ada di mana? Nggak kurang apa, gitu?"

Arina agak sangksi, bagaimana tidak? Zein hanya meminta email Naomi saja. Apa bisa Naomi bisa ketemu hanya dengan mengandalkan email saja?

"Cukup, kok, percaya deh sama aku. Malah aku kaget kamu bisa tahu email sekaligus kata sandinya juga. Wah, itu mempermudah aku buat nyarinya. Biasanya, hal yang pertama aku lakuin ya membobol kata sandi emailnya dulu dan itu makan waktu."

Lihat selengkapnya