Burn Out

Siti Soleha
Chapter #35

Bersembunyi

 Itu Dikta kekasihnya bukan? Dan apa yang Denta bilang? Kekasihnya adalah seorang pembunuh bayaran?

  Naomi mengedipkan matanya beberapa kali. Memastikan bahwa apa yang ia lihat tidak salah. Ini benar-benar Dikta kekasihnya. Dari senyumnya, tinggi badannya, postur tubuhnya. Ini benar-benar seorang Dikta yang memaksa Naomi untuk berpacaran dengannya.

  Dan ternyata Dikta adalah kakak dari Denta? Bualan apalagi ini. Dan satu lagi, Dikta selalu bilang bahwa dirinya bekerja di law firm pamannya di Singapura. Berarti selama ini dia berbohong? Berarti selama berpacaran dengan Naomi, ia sudah berhasil menipu Naomi dengan menyembunyikan identitasnya?

   Tubuh Naomi yang bergetar hebat memengaruhi keseimbangannya yang hampir oleng. Denta memegangi tubuh Naomi yang hampir terjatuh. Ia juga sedikit bingung dengan apa yang terjadi dengan Naomi. Ada dengannya? Kenapa hanya dengan melihat foto kakaknya Naomi malah ketakutan seperti itu?

"Kak, Kak Naomi, nggak apa-apa, kan?" Denta dengan cekatan menaruh foto di meja dan membantu Naomi berdiri. Naomi sudah hampir jatuh saking shock nya mengetahui kenyataan bahwa Dikta adalah seorang pembunuh bayaran.

"Eh, aku, aku, nggak papa, kok, Ta. Aku emang punya penyakit vertigo, jadi suka pusing tiba-tiba gitu."

  Naomi terpaksa berbohong kepada Denta. Bukan apa-apa, ia tidak mungkin menceritakan bahwa ia adalah kekasih Dikta yang selama berpacaran tidak pernah akur kan?

  Apalagi dengan status Dikta yang seorang pembunuh bayaran. Membuat Naomi berpikir lagi untuk meneruskan hubungan mereka.

"Oh, sakit vertigo ya, Kak? Aku tahu kok sakit itu. Sakit vertigo itu yang pusing muter-muter kan, Kak?"

   Denta terlihat panik, sementara Naomi hanya bisa mengangguk mengamini perkataan Denta.

"Aku bisa minta tolong pegangin sampai kamar, nggak, Ta?" Tubuh Naomi memang lemas. Seperti orang dengan sakit fisik sungguhan. Padahal ia hanya shock bukan sakit. Tapi itu justru yang membuat Denta tidak menaruh curiga.

"Bisa kok, Kak. Ayo, pegangan sama aku ya, Kak. Mungkin Kakak nggak boleh makan daging. Setahuku orang yang punya sakit vertigo nggak boleh makan daging deh, Kak."

   Denta membantu Naomi beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya. Sebenarnya jarak antara pintu kamar Naomi dengan meja makan tidak terlalu jauh. Tapi karena tubuh Naomi yang lemas dan pikirannya yang kacau, terasa lama sekali untuk sampai ke kamarnya.

   Tapi bagaimana Naomi tidak over thinking coba? Selama ini berarti firasat Arina benar tentang Dikta. Ternyata Dikta bukan orang baik-baik. Arina berkali-kali bilang seperti itu kepadanya, tapi Naomi keras kepala. Padahal dia tidak pernah bahagia sedikit pun dengan Dikta.

  Lalu bagaimana sekarang? Apa ia sudah salah mengambil jalan? Benar, Naomi sudah salah berkali-kali mengambil keputusan. Pertama, ia salah mengambil keputusan saat ia membalas email teror itu. Hingga membuatnya melarikan diri meninggalkan Arina. Padahal, cuma Arina yang bisa ia Andalkan.

   Sesampainya di kamar, Denta langsung membaringkan tubuh Naomi. Menyelimuti Naomi agar tidak kedinginan dan keluar ke kamar sebentar untuk mengambilkan piyama yang sudah dibelikan Aa Jajang untuk Naomi.

"Kak Naomi ganti baju dulu ya. Seharian nggak ganti baju, apalagi baju piyamanya pasti udah bau asap bekas nge grill kan, Kak?"

"Sekarang, Kak Naomi ganti baju dulu. Sementara, Kak Naomi, ganti baju, aku mau buatin teh hangat buat Kak Naomi, ya. Mudah-mudahan teh hangat bisa membantu meredakan pusingnya Kak Naomi. Maaf ya, Kak, di sini nggak ada obat-obatan. Aku lupa minta siapin sama Aa Jajang."

    Naomi mengangguk dan mengambil piyama yang diberikan oleh Denta. Sekilas, Naomi menatap Denta lekat-lekat, kenapa gadis yang begitu baik dan perhatian seperti Denta memiliki kakak yang begitu antipati dan seorang pembunuh bayaran? Naomi masih tidak bisa membayangkannya.

"Ta, makasih banyak, ya. Maaf, ya, aku udah ngerepotin."

"Nggak apa-apa, kok, Kak. Udah semestinya kita saling jaga. Sebentar ya, Kak."

  Denta membuka pintu lalu menutupnya kembali. Naomi berpikir dengan apa yang harus ia lakukan. Tapi ia benar-benar bingung, ia tidak biasa berpikir sendirian. Biasanya ia selalu bergantung kepada Arina. Sekarang? Ia harus bergantung kepada siapa? Kepada Denta? Kepada adik dari kekasihnya sendiri? Mana bisa.

   Tidak berapa lama, Denta datang kembali membawa segelas teh hangat. Menaruh gelas tersebut di nakas, membantu Naomi duduk, lalu meminumkan teh hangat itu pelan-pelan pada Naomi. Jujur, Naomi merasa jauh lebih baik sejak meminum teh hangat itu. Tapi ia tetap membutuhkan Arina.

    Ia harus bertanya kepada Arina tentang apa yang harus ia lakukan. Mungkin pertama kali ia menghubungi Arina, Arina akan marah padanya atau bahkan meneriakinya. Tapi tidak apa-apa. Yang penting ia harus bertanya kepada Arina atau minimal menyuruh Arina menyelidiki profesi Dikta sebenarnya.

   Sebenarnya ia adalah seorang pengacara yang bekerja di law firm pamannya atau seorang pembunuh bayaran? Akh, ia hampir berteriak kalau saja Naomi tidak mengingat ada Denta di sampingnya.

Lihat selengkapnya