"Oke, anggap emang bener Dikta pelakunya. Gue juga nggak tahu apa motifnya dia ngelakuin ini sama gue. Tapi seenggaknya, jangan libatkan Denta ke masalah ini, Rin. Denta nggak salah apa-apa dan dia butuh bantuan."
Naomi tetap keras kepala meminta Arina untuk membantu Denta sedangkan Arina yang sudah hilang kesabaran hanya bisa mengepalkan tangannya menatap Naomi dengan tajam.
"Nom, gue nggak habis pikir ya sama lo. Dikta udah jahat, Nom, sama lo. Masa lo malah mau bantuin adiknya. Lo nggak tahu aja seberapa hancur hidup lo karena lo kabur ke villa mewah kayak gini!" Arina menunjuk kolam renang yang tepat berada di hadapannya.
"Lo nggak tahu seberapa puyengnya gue dan karyawan lain di kantor. Di kantor tuh sekarang crowded banget tahu, nggak? Lo nggak tahu seberapa stresnya Pak Cahyo? Lama-lama struk kali tuh orang tua marah-marah terus dari pagi buta udah telpon-telponin gue!" Arina berhenti sejenak, mengambil air mineral yang diberikan Zein kepada Naomi tapi tidak diminum sama sekali.
Arina membuka tutup botolnya, meminum air mineral itu sampai habis dan menaruh kembali botol yang sudah kosong ke meja.
"Belum lagi wartawan-wartawan yang nanyain lo terus. Nggak peduli walau security berkali-kali bilang lo nggak ada di kantor. Mereka tetep aja nggak mau pergi. Lo udah nyusahin semua orang tahu nggak, Nom? Dan lo masih punya pikiran buat nolongin adik seseorang yang udah ngebuat hidup lo hancur berantakan kayak gini? Lo nggak punya otak, Nom?"
Naomi menoleh dan menatap Arina kosong. Hatinya terluka saat mendengar Arina mengatakan hal itu. Semua yang Arina katakan memang benar. Bagi Naomi, dirinya bukan hanya tidak berguna tapi kini merepotkan semua orang. Coba kalau ia mati saja, pasti tidak akan ada lagi orang yang kesusahan karena dirinya.
"Oke, sorry, gue nggak maksud ngomong kayak gitu, Nom. Tapi serius deh, daripada lo mikirin perempuan itu, mending lo pikirin diri lo sendiri. Pak Cahyo bilang, mau nggak mau, suka atau nggak suka lo tetep harus menghadapi para wartawan itu dan klarifikasi. Gimana pun juga, sekarang ini reputasi dan nama baik perusahaan ada di tangan lo, Nom."
Sadar akan kata-katanya yang keterlaluan, Arina memelankan suaranya dan mencari kata yang lebih halus agar bisa diterima Naomi. Seraya menghapus air matanya dengan tangan, Naomi mengangguk. Ya, Arina dan Pak Cahyo benar, ia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia mulai.
Meski dari awal ia sudah tahu bahwa akhirnya akan menjadi seperti ini, ia sudah menyiapkan mental agar saat hal ini terjadi ia tetap baik-baik saja. Tapi, mengapa rasanya tetap begitu perih bagi Naomi?
"Ayo, sekarang kita pulang ke Jakarta. Gue tahu lo capek, tapi lo harus tetep pulang dan beresin ini semua di kantor. Lo nggak takut Pak Cahyo tiba-tiba kena serangan jantung dan mati mendadak di ruangannya?"
Kedengarannya, kata-kata Arina memang berlebihan. Tapi di dunia ini orang yang paling mengerti Naomi memang hanya Arina. Ia tahu Naomi sangat sensitif apabila mendengar orang yang sedang sekarat atau hampir mati. Arina tahu Naomi akan berbuat apapun untuk menyelamatkan orang tersebut agar tidak jadi mati. Persis seperti apa yang Naomi lakukan barusan kepada Denta.
"Gue, gue minta maaf udah ngerepotin kalian semua," ucap Naomi menatap Arina dan Zein lekat-lekat.
"Lo bener, gue harus beresin ini semua secepatnya. Gue tahu gue udah buat Pak Cahyo kecewa. Sebentar, gue ambil barang-barang gue dulu di kamar. Nanti kita langsung pulang ke Jakarta."
Arina mengangguk mendengar perkataan Naomi. Akhirnya bocah itu mau bersikap lunak dan tidak keras kepala lagi. Naomi berdiri, berjalan menuju kamar untuk membereskan semua barangnya.
Sampai di kamar, Naomi buru-buru mengunci pintu, lalu masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu kamar mandi juga. Ia tahu kebiasaan Arina yang sering mengikutinya ke mana pun ia melangkah. Naomi menempelkan telinganya di pintu kamar mandi, aman, tidak terdengar suara langkah kaki. Berarti Arina tidak mengikutinya.
Dengan cepat Naomi mengambil hp di sakunya. Membuka applikasi chat, mencari nama Dikta lalu mulai mengetik.
"Dikta, aku tahu kamu sengaja nggak angkat tiap ada telepon dari aku. Aku tahu kamu dendam karena aku selalu melakukan hal yang sama ke kamu. Tapi asal kamu tahu kalau tadi yang telepon kamu beberapa kali itu Denta, adik kamu. Dia di bawa paksa polisi karena dituduh terlibat dalam video porno. Kamu kemana aja sebagai kakaknya bukannya lindungi dia? Denta nangis terus waktu di bawa pergi sama polisi dan maaf aku nggak bisa bantu dia lebih dari semampu aku. Aku harap kamu baca chat aku ini karena aku nggak akan pernah chat kamu lagi."
Naomi menekan tombol kirim sebelum teriakan Arina yang menyuruhnya membuka pintu terdengar di telinganya. Selang beberapa detik setelah pesan itu terkirim, Arina mulai menggedor pintu meneriakkan nama Naomi.