Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #6

Masuk Pesantren

Pada mulanya aku berpikir bahwa pesantren adalah lingkungan paling ideal untuk membentuk jiwa yang baik dan jiwa yang merindu Tuhannya. Di benakku, pesantren bisa menempa diriku menjadi pribadi bertakwa dan menjadi lelaki sejati. Tapi persangkaanku meleset, karena justru di pesantren aku terperosok semakin dalam ke dalam kubangan kemaksiatan.


Pada mulanya aku malas untuk berpisah dengan orang tua. Aku ingin melanjutkan sekolah di sekolah negeri. Melanjutkan jenjang pendidikan di SMA favorit di kota kecamatan menjadi harapanku. Lebih-lebih, teman satu kelas banyak yang melanjutkan pendidikan ke sekolah tersebut.


Hanya saja impian itu terbentur keinginan orang tua, terutama Bapak.


"Kamu harus mondok." Itu yang dikatakan Bapak kepadaku kala itu. Menurut Bapak, di pondok aku bisa belajar banyak. Aku bisa memperdalam ilmu agamaku sekaligus bisa melatih kemandirian.


Pada mulanya aku menolak dan mengatakan kepada Bapak bahwa aku sudah memiliki pilihan sendiri. Bapak tidak mau tahu. Dia menasihatiku panjang lebar soal betapa bagusnya pendidikan pesantren untukku.


Aku iyakan saja karena memang aku tidak bisa membantah semua keinginan Bapak. Keinginan Bapak adalah keinginan final yang tidak bisa ditawar atau didiskusikan. Pilihan Bapak selalu baik untuk anaknya, itu yang Bapak bilang kepadaku, entah kapan, aku lupa. Hanya saja aku masih ingat hampir semua nasihatnya. Meski Bapak mendididikku dengan didikan yang cukup keras, tapi aku sadar bahwa itu adalah manifestasi dari rasa sayang Bapak terhadap diriku sebagai anak sulungnya.


Bapak kemudian mengirimku ke sebuah pondok pesantren di provinsi J. Kebetulan pondok pesantren itu milik salah satu sahabat dekat Bapak yang sama-sama seorang Kyai.

Pondok pesantren yang baru berdiri empat tahun itu memang banyak diminati. Hal ini terbukti dari pendaftar yang semakin meningkat dari ke tahun.


Setelah tiba di pondok pesantren, kami disambut hangat oleh pimpinan pondok. Layaknya dua orang sahabat yang sudah lama tak berjumpa, Bapak dan sahabatnya itu saling bercengkrama dan bertanya kabar satu sama lain. Sebut saja pimpinan pondok itu Haji Mashudi.


Setelah lama berbasa-basi, Haji Mashadi memanggil seseorang yang saat itu tengah berdiri di samping gedung yang kelak aku kenal sebagai gedung asrama putra. Namanya Kang Jun.


Kang Jun memintaku untuk mengikutinya, membantuku mengangkat ransel dan menunjukan ranjang dan lemari untukku.


*

Banyak shock culture yang harus aku alami ketika aku hidup di pondok. Diantara hal yang paling mengesankan adalah bagaimana kami harus antre untuk semua hal. Mau makan, entah itu sarapan, makan siang atau makan malam, kami harus antre di depan pintu dapur sembari menenteng piring masing-masing yang terbuat dari plastik. Satu demi satu, para santri menyerahkan piringnya kepada santriwati yang saat itu bertugas melayani makan seluruh santri. Jadi, di pondok pesantren tersebut memang yang bertugas untuk memasak dan menyajikan ransum untuk semua santri adalah para santri perempuan. Mereka dibagi ke dalam beberapa grup memasak yang diberi tugas jadwal piket memasak dan membagikan ransum.


Terkadang, porsi yang diberikan untuk makan itu tidak cukup mengenyangkan. Terkadang cukup membuat kami kenyang. Itu semua dipengaruhi oleh siapa petugas dapurnya. Karena konon ada diantara santriwati yang kebagian jadwal membagikan ransum memiliki sifat pelit dan ada pula yang dermawan. Si petugas dapur yang pelit biasanya hanya memberikan satu dua centong nasi alakadarnya yang hanya cukup sebagai pengganjal perut. Jika sudah begitu, dalam beberapa jam setelah itu perut kami akan kembali lapar dan minta diisi.


Jika kami tidak merasa kenyang, biasanya kami harus sedikit melakukan kecurangan dengan cara menipu petugas dapur. Kami bersekongkol dengan teman-teman kami dengan cara pura-pura menitip 'satu piring berdua.'


Misal, aku teman seasramaku sepakat untuk bilang kepada si petugas pembagi ransum bahwa satu piring untuk dua orang. Dan setiap dari kami akan mengatakan hal yang sama sehingga kami makan dua porsi nasi. Sementara si petugas di dapur percaya saja bahwa nasi di piring itu dimakan oleh dua orang santri.


Tapi lambat laun trik ini tetap ketahuan juga. Kecurangan ini terendus karena konon nasi sudah habis padahal masih ada santri yang belum kebagian. Maka, jika ada yang bilang 'satu piring berdua', si petugas di dapur akan langsung mengintrogasi santri tersebut.


"Satu piring berdua," ujarku dengan senyum licik di dalam hati.


"Sama siapa?" tanya santriwati senior yang terkenal agak galak itu.

Lihat selengkapnya