Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #11

Perilaku Bejat Tapi Masih Shalat

Kau mungkin berpikir bahwa aku telah benar-benar binasa dengan segala kemaksiatan yang telah aku lakukan dengan tanpa beban. Kau berpikir aku mungkin tidak akan pernah bisa diselamatkan dengan segala track record yang amat buruk di lembah hitam kehidupan homoseksual. Aku pun memiliki kekhawatiran yang sama. Terkadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, mau sampai kapan aku seperti ini? Kapan aku bertaubat dan menyudahi semua kegilaan ini? Tidak adakah keinginan untuk segera kembali kepada Tuhan sebelum segalanya terlambat?


Sebenarnya aku maju mundur untuk menceritakan bagian ini, mengingat apa untungnya aku menceritakannya kepada kalian. Hanya saja, aku harus tetap menceritakan bagian ini demi keutuhan jalinan kisahku yang rumit ini.


Meski aku mengakui bahwa aku menyimpang dan sudah tenggelam terlalu jauh, aku tetap mencoba mengingat Tuhanku dengan tidak meninggalkan shalat.


Kau boleh tertawa mendengar pengakuanku. Kau juga boleh memandang remeh dan berpikir bahwa percuma bagiku shalat jika maksiat tetap jalan. Kau bisa saja berpikir bahwa shalatku tidak diterima, karena jika memang benar shalatku diterima, sudah pasti aku akan menjaga diri dari kemaksiatan dan kemungkaran.


Ya, aku sadar, fungsi shalat itu mencegah seseorang dari melakukan perbuatan tercela. Tanda dari diterimanya shalat seseorang adalah semakin bertambah rasa takutnya pada Tuhan sehingga dia tidak berani melanggar batas-batas yang telah Tuhan gariskan dalam kehidupannya. Hanya saja, aku tahu hal ini tapi aku tetap masa bodoh meski nuraniku yang paling dalam berteriak berkali-kali dan memintaku untuk segera menghentikan kegilaan ini.


Aku tetap shalat karena di pesantren dahulu aku menghafal sebuah hadis yang kurang lebih artinya seperti ini, 'Pembeda antara seorang muslim dan kafir adalah dari shalat.' Ustadz di pondok pesantren dulu menjelaskan bahwa siapa pun yang meninggalkan shalat wajib yang lima waktu, maka jumhur ulamanya mengatakan bahwa dia sudah terjerumus ke dalam kekafiran. Kemudian otakku menghitung untung-rugi. Jika aku melakukan perzinaan homoseksual itu adalah dosa besar. Meski mendapatkan ancaman yang amat pedih, itu tidak lantas membuat imanku hilang. Sementara jika aku meninggalkan shalat, di saat yang sama aku telah kafir. Maka untuk alasan itulah aku tetap menjalankan shalat karena aku tidak ingin menjadi seorang yang kafir.


Perkara shalat yang tidak pernah aku tinggalkan meski diriku berlumur dosa, ada satu fragmen yang tidak pernah aku lupa. Jadi, hari itu aku melakukan janji temu dengan seorang lelaki lewat aplikasi kencan. dia memintaku untuk datang ke kosannya yang terletak di dekat sebuah kampus terkenal di kotaku. Katena aku sudah diamuk oleh syahwat yang menggebu-gebu, aku pun langsung mendatangi lokasi lewat share location yang dia kirimkan di tautan google map.


Kebetulan waktu itu waktu shalat asar telah tiba. Sesampainya di tempat yang dituju--yang belakangan aku tahu bahwa itu kosan mahasiswa dan partnerku saat itu adalah seorang mahasiswa S2--aku langsung menemuinya.


Partnerku tidak ingin berbasa-basi. Dia langsung menerjangku dengan napas memburu. Hanya saja aku menahannya untuk tidak terburu-buru.


"Aku mau numpang shalat dulu," ujarku sembari melepaskan jaket yang kukenakan.

Lihat selengkapnya