Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #2

Korban Seorang Pedofil

Hampir setiap hari Emak dan Bapak bekerja di ladang. Terkadang, aku ikut mereka hanya karena aku membayangkan aktivitas yang mengasyikkan diantara perdu dan semak belukar di sekitar sawah dan kebun kuncai milik bapak. Aku tidak sendirian. Selain diriku, ada lusinan anak-anak seusiaku atau bahkan anak-anak yang lebih tua dariku ikut berkelana di tanah ladang.


Di ladang itulah aku dan teman-temanku biasa berburu buah-buahan liar semacam cecendet, cariang, haréndong, jambu batu atau buah-buahan liar lainnya yang bahkan aku tidak tahu namanya apa. Aku bisa membedakan mana buah yang bisa aku makan dan buah yang seperti apa yang tidak layak untuk dimakan. Emak mengajarkannya kepadaku. Terkadang aku juga mencari buah-buahan liar jauh ke tepi hutan. Di sana aku mendapatkan buah pining yang rasanya asam manis. Sementara jika aku cukup punya keberanian menjelajah tepian sungai, aku akan mendapatkan buah leungsir yang rasanya manis. Leungsir itu buah liar semacam kelengkeng. Tapi lebih tipis dan kecil dari kelengkeng.


Jika Emak dan Bapak kebetulan mengajakku ke huma, aku akan menjelajahi perdu dan ilalang untuk mencari sarang burung pipit. Jika aku beruntung, aku akan menemukan telur-telur mereka yang lonjong yang sebesar kelereng. Kemudian aku akan membawanya pulang dan merebusnya. Memang tidak mengenyangkan, tapi lumayan mengasyikan. Lebih beruntung lagi jika kemudian kami, anak-anak kampung bisa mendapatkan burung puyuh dan memanggangnya di saung. Jika tidak ada burung pun, kami masih bisa berburu hewan-hewan lainnya semacam ikan di sungai atau belalang diantara rumpun palawija.


Meski banyak pilihan aktifitas yang bisa kami lakukan di ladang, pada akhirnya--lambat laun-- aku merasa bosan juga, sehingga aku mengatakan kepada Emak bahwa aku tinggal di rumah saja. Tapi Emak terlalu khawatir jika meninggalkanku sendirian di rumah. Waktu itu usiaku baru enam tahun, maka wajar jika Emak merasa khawatir. Yah, cukup aneh memang. Emak tidak khawatir membiarkanku bermain di ladang dan tepi hutan, tapi Emak khawatir membiarkanku sendirian di rumah.


"Emak tidak khawatir kamu bermain di ladang dan sekitarnya karena ada banyak teman-temanmu di sana. Setidaknya kalau ada apa-apa bisa ketahuan," begitulah alasan Emak.


Untuk alasan itulah kemudian aku biasa dititipkan Emak ke Kang Kardi. Kang Kardi adalah anak Ceu Tini, pemilik warung yang rumahnya ada di atas bukit. Kurang lebih hanya 100 meter dari rumah kami. Keluarga Ceu Tini adalah keluarga yang baik dan memiliki tenggang rasa terhadap sesama tetangga. Bahkan, seringkali Emak ngutang ke warung Ceu Tini jika kebetulan belum punya uang dan Ceu Tini memakluminya.


Kang Kardi--Anak Ceu Tini--masih belia. Dia baru saja lulus sekolah dasar dan tidak melanjutkan ke SMP. Maklum, waktu itu memang jarang yang melanjutkan sekolah ke tingkat sekolah menengah. Mayoritas penduduk kampung mencukupkan diri dengan menempuh pendidikan sekolah dasar. Bahkan banyak pula yang SD pun tidak lulus. Sementara anak-anak perempuan banyak yang menjalani pernikahan dini dan menjadi ibu rumah tangga di usia belia. Kehidupan mereka berputar di tiga wilayah; sumur, dapur, kasur. Oh iya, satu lagi, di ladang. Mereka mau tak mau harus membantu suaminya bercocok tanam di ladang. Entah di huma ataupun di sawah.


Nah, mari kita kembali lagi pada kisahku yang selalu dititipkan Emak di rumah Ceu Tini. Karena di sinilah petaka itu datang. Ketika Emak menitipkanku kepada Kang Kardi, Emak tidak sadar bahwa itu adalah awal dari malapetaka hidupku yang bahkan sampai saat ini Emak tidak pernah tahu. Pun aku juga tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya kepada Emak, baik dahulu ataupun sekarang, ketika aku sudah dewasa dan memahami pahit getir perjalanan kehidupanku.


Pada mulanya tidak ada gelagat aneh Kang Kardi yang membuatku curiga. Lagi pula, apa yang bisa dibedakan oleh bocah enam tahun soal manusia dengan segala tingkah polahnya? Di pekan-pekan pertama aku tidak menemukan hal yang aneh. Seperti biasa, Emak akan mengantarkanku ke rumah Ceu Tini dan menghampiri Kang Kardi yang tengah menjaga toko kelontong milik ibunya itu.


"Kardi, ibu nitip Sardi ya," ujar Emak kepada Kang Kardi yang tengah duduk di kursi rotan di balik etalase kaca. Tidak lupa, Emak akan memberikanku uang logam sebanyak seratus rupiah untuk uang jajanku. Tidaklah mungkin Emak menitipkanku ke kang Kardi tanpa uang jajan.


"Iya, Bu. Sini Sardi, main di sini. Sekalian nonton tivi," ujar Kang Kardi dan mengajakku masuk ke dalam. Aku pun menghampiri kang Kardi dan mencium tangannya. Setelah itu aku masuk ke dalam rumah, biasanya langsung selonjoran di ruang tamu ketika aku melihat televisi sudah dinyalakan.


Pada saat itu, Emak melanjutkan perjalanannya menuju kebun. Pekerjaan di kebun berupa menyiangi rumput yang mulai meninggi diantara sela-sela padi huma sudah menunggu Emak.


Aku sebenarnya merasa senang bisa dititipkan di rumah Kang Kardi hanya karena di sana ada pesawat televisi. Sementara di rumahku tidak ada televisi sehingga menonton televisi adalah hal yang paling mewah untuk anak kampung seusiaku.


***


Jika hari minggu tiba, yang bermain di rumah Kang Kardi bukan hanya aku saja, ada beberapa anak seusiaku dan anak-anak yang lebih tua dibandingkan diriku yang ikut menonton acara kartun yang memang jam tayangnya hanya ada di hari minggu, menyesuaikan dengan libur anak-anak sekolah. Kami biasanya akan menonton ramai-ramai sembari berceloteh, mengomentarinya karakter-karakter yang ada di film kartun atau film anak. Aku masih ingat, tontonan kami kala itu adalah ksatria baja hitam, p-man, marsupilami dan lain semacamnya. Bahkan jika orang tua kami tidak melarang, kami akan melanjutkan menonton acara televisi di malam hari--masih di rumah Kang Kardi--yang menayangkan sinetron 'Panji Manusia Milénium' dan 'Saras 008'. Acara yang paling seru tentu saja sinema asal Tiongkok, Kera Sakti.


Berhubung kala itu aku belum sekolah, maka hampir setiap hari aku berkunjung dan bermain di rumah Kang Kardi. Kang Kardi juga tidak memiliki aktifitas lain selain duduk berdiam diri di rumahnya, menunggu para pembeli datang berkunjung ke toko kelontong milik orang tuanya itu.

Lihat selengkapnya