Pada mulanya aku ragu untuk menuliskan kisah ini. Bagaimana pun juga, aku merasa khawatir ada pembaca yang merasa jijik dengan kisah-kisah mengerikan yang mereka baca dalam memoar 'Burung Terbang Berpasangan.' Tapi setelah kupikir berkali-kali, dan setelah menimbang dengan masak disertai dengan istikharah dan meminta petunjuk kepada Allah subhanahu wata'ala, aku memutuskan untuk tetap menulisnya dan mempublikasikannya.
Pada dasarnya, kisah yang terjalin di buku ini adalah kisah yang dimiliki oleh tiga lelaki dan satu perempuan yang dengan sukarela menceritakan kisah kelam mereka kepada penulis. Ini adalah kisah ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Lewat jalinan kisah yang saya ramu, kelak pembaca akan tahu apa yang menjadi sebab mereka terjangkit virus mematikan itu. Hanya saja, yang jelas, penularan virus itu tidak lepas dari kemaksiatan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Meski begitu, kita harus tetap melawan stigma terhadap ODHIV, mengingat seringkali ada beberapa diantara mereka, terutama kaum perempuan, yang justru tertular dari suami mereka yang melakukan tindakan amoral.
Keempat orang yang saya kisahkan di dalam cerita ini pada dasarnya tidak saling mengenal satu sama lain. Hanya saja, demi kepaduan cerita, penulis merombaknya menjadi satu cerita utuh dimana mereka dipertemukan lewat nasib yang sama.
Lalu dari mana saya mendapatkan kisah-kisah yang membuat hati miris ini? Semua bermula dari grup 'Peduli Sahabat' dan 'Menanti Mentari', dua grup yang diinisiasi oleh Kak Sinyo Egi, seorang praktisi, mentor dan psikolog yang selama ini banyak membantu orang-orang yang memiliki orientasi seksual menyimpang untuk kembali kepada Fitrah. Pada mulanya, saya gabung ke grup tersebut karena penasaran mengingat ada beberapa teman yang membagikan beberapa kisah yang ditampilkan di grup tersebut. Hingga kemudian terbetik di hati saya niatan untuk menulis Novel berdasarkan kisah-kisah nyata tersebut. Yakni kisah orang-orang yang secara seksual tertarik terhadap sesama jenis. Lebih-lebih banyak diantara mereka yang terjerumus dan dengan alasan itulah penularan HIV/AIDS di kalangan laki seks laki angkanya cukup signifikan.
Saya berpikir bahwa pemahaman saya terhadap para pengidap SSA amatlah minim jika hanya mengandalkan kisah-kisah 'seadanya' yang ditemukan di grup tersebut. Beberapa kali saya mencoba menghubungi beberapa member yang speak up tentang masa lalu mereka dan perjuangan mereka untuk kembali ke fitrah, tapi mereka tidak sudi untuk membagikan kisah detailnya. Lebih dari pada itu, rata-rata pemilik kisah yang tertulis di grup, menuliskan kisahnya secara anonim sehingga saya tidak bisa menghubungi mereka secara personal. Maka saya mencoba mencari info-info yang lebih dalam lewat google. Bahkan saya dipertemukan dengan dokter yang biasa menangani pelayanan HIV di sebuah puskemas di kota Bogor. Sebut saja Bu Yati. Dari Bu Yatilah saya kemudian berkenalan dengan sebuah LSM yang mewadahi aspirasi dan keluhan orang dengan HIV (ODHIV) yang kebanyakan ternyata penyuka sesama jenis. Jujur, ini membuat saya miris. Kepada lusinan lelaki penyuka sesama jenis yang menderita HIV itu kemudian saya menyebarkan kuesioner yang dilanjutkan dengan mewawancarai tiga penderita yang saya pikir kisah hidupnya paling relevan untuk dituangkan menjadi kisah utuh.