Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #13

Positif

Setelah mengambil nomor antrian dan menyerahkannya ke petugas, aku duduk di bangku panjang depan meja registrasi. Setelah selusin lebih pengunjung puskesmas dipanggil sesuai dengan nomor antriannya masing-masing, giliranku pun tiba. Nomor antrianku disebut dan aku melangkah ke kursi yang diletakan di depan petugas.


"Mau periksa apa?" tanya petugas yang memakai batik itu.


Aku menelan ludah. Dengan suara pelan aku menyebutkan keperluanku. "Mau tes HIV, Bu."


Si petugas sepertinya kurang mendengar apa yang aku katakan di balik masker. Dia kembali bertanya. Dan aku mengulang dengan suara yang lebih keras dari jawaban semula. Petugas itu mengangguk, memanggil salah satu temannya dan berbisik di telinganya. Setelah itu, si teman yang diajak bisik-bisik itu berlalu keluar dari ruangan yang disekat kaca. Sementara petugas itu kembali menghadapkan tubuhnya ke arahku dan meminta foto kopi KTP. Setelah itu dia mencatat beberapa kalimat di atas secarik kertas semacam formulir dan menyerahkannya kepadaku. "Setelah ini tunggu di ruangan ujung ya." Dia menunjuk sebuah ruangan yang ada di sisi sebelah kanan puskesmas. "Serahkan kertas ini ke Bu Yati di dalam ruangan, setelah itu tunggu sampai dipanggil."


"Terimakasih, Bu," ujarku dan berlalu menuju ruangan yang dimaksud.


**

Kudapati bangku panjang itu agak kosong. Hanya ada beberapa orang lansia yang duduk di sana ditemani anggota keluarganya. Aku pun duduk diantara mereka untuk menunggu namaku dipanggil. Dua puluh menit setelahnya, namaku dipanggil dari dalam ruangan. Aku pun masuk ke dalam dengan debar yang sama. Kudapati seorang petugas perempuan berjilbab putih duduk di mejanya dan mempersilakan diriku untuk duduk.


"Mau tes VCT?"


"Iya," jawabku pendek.


"Mari ikut saya ke lab," ujarnya sembari beranjak dari kursinya. Aku mengekorinya dan kembali ke luar. Langkah kaki petugas itu menuju ruangan di seberang ruangannya dan mempersilakanku untuk duduk menunggu. "Nanti dipanggil untuk diambil darah, ya."


Aku hanya mengangguk. Perlu menunggu tiga puluh menit lamanya sampai namaku kembali dipanggil. Aku pun membuka pintu lab dan seorang petugas pria yang memakai sarung tangan sudah menungguku di mejanya dengan satu set jarum suntik. Dia memintaku untuk mengulurkan tangan dan mulai mengoleskan sesuatu cairan di atas nadi antara lengan atas dan lengan bawah. Kemudian dia mulai menyuntikku dengan perlahan. Aku memejamkan mata. Sejak kecil aku memang takut dengan jarum suntik. Meski rasanya tidak terlalu sakit, melihat jarum suntik menembus kulit adalah hal yang paling mengerikan di mataku.


"Sudah," ujar petugas, membuyarkan rasa ngeriku. Aku kembali membuka mata. Si petugas mengoleskan alkohol di bekas mata suntikan tadi dan menutupinya dengan plester putih. "Ditunggu lagi di luar ya. Nanti kalau sudah selesai dipanggil lagi."


Lagi-lagi aku menunggu diantara para lansia dan ibu hamil. Semakin beranjak siang, para pengunjung puskesmas semakin banyak. Mulai dari anak balita, remaja, anak muda, ibu hamil, lansia, pria dan wanita, semua datang dengan keluhannya masing-masing. Maka janganlah heran jika antrian semakin panjang dan kamu harus menunggu lumayan lama hingga nomor antrianmu atau namamu dipanggil oleh petugas. Tapi agaknya masyarakat tidak peduli soal bosan menunggu, yang mereka pedulikan adalah harga pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh isi dompet mereka yang tidak seberapa.


Aku mengisi kebosanan dengan memperhatikan suasana di sekitarku, mengamati tingkah polah para pengunjung. Selebihnya aku hanya menggulir video-video pendek di aplikasi video ponsel. Hingga pada akhirnya petugas perempuan itu keluar dari ruangannya dengan membawa dua carik kertas dan melambai ke arahku. Aku pun mendekat dan masuk kembali ke ruangannya.


"Tutup saja pintunya," pinta petugas tersebut. Aku pun menutup pintu itu dengan debar yang semakin menjadi. 'Semoga hasilnya negatif! Semoga hasilnya negatif!'


"Silakan duduk, Sardi."


Lihat selengkapnya