Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #19

Aroma Kebohongan

Sejak aku 'sakit', aku tak pernah lagi memiliki gairah untuk menggauli istriku. Bukan karena istriku tidak lagi terlihat menawan dan membangkitkan sisi kejantananku. Bukan pula karena aku memiliki wanita idaman lain di luar sana. Ketidaknyamanan untuk bermesraan itu berpangkal pada kekhawatiran. Aku khawatir bisa menularkan virus itu kepada Kartini jika Kartini benar-benar masih bersih--dan itulah yang aku harapkan--. Untuk alasan itulah aku selalu mengelak dan menghindar ketika Kartini mendekatiku dan menampakan tanda-tanda bahwa dia sedang ingin bermesraan denganku. Biasanya dia akan melingkarkan tangan di bahuku, menciumi leher dan pipiku dan berbisik nakal. Hanya saja aku selalu punya alasan. Aku lelah sehabis kerja, aku belum mandi, aku tidak bergairah dan selusin alasan lainnya.


Pada mulanya Kartini tampak seperti mencoba mengerti. Dia mencoba memahami bahwa urusan pekerjaan seringkali membuat seorang lelaki kehilangan gairah. Akan tetapi, Kartini tentu tidak akan bisa selamanya dibohongi. Aku berpikir, jika aku tetap seperti ini, maka besar kemungkinan Kartini akan berpikir yang tidak-tidak. Dia sudah pasti akan merasa heran dan memiliki kecurigaan bahwa aku bermain api dengan wanita lain.


Dari pada istriku curiga, aku pun tetap menggaulinya dengan cara bermain aman, yakni dengan menggunakan alat kontrasepsi pria. Kondom. Ternyata ini tetap membuat Kartini heran.


"Lho, Bang. Kok tumben pakai kondom?" tanyanya dengan kerut di kening, suatu malam, ketika untuk pertama kalinya aku hendak menggaulinya. "Kan aku sudah suntik KB, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan."


Aku kembali gelagapan. "Mau cari sensasi baru," begitulah alasanku. Kartini tidak lagi banyak tanya dan mencoba mengikuti apa mauku.


Perkara hubungan suami istri memang bisa teratasi untuk sementara. Tapi ada hal lain yang masih merepotkanku. Apa lagi kalau bukan perkara minum obat. Kau tentu tahu aku harus minum obat setiap hari secara rutin. Dan aku harus tetap minum obat tanpa diketahui oleh istriku. Ah, harusnya dulu aku memilih jadwal minum obat di siang hari tepat ketika aku bekerja di pabrik. Jadi, aku hanya perlu menyimpan obat itu di lokerku tanpa perlu didera rasa khawatir. Tapi dokter justru menyarankanku minum obat malam hari, saat dimana aku sudah di rumah dan mau tak mau harus membawa obat itu ke rumah. Dokter bilang, jika memilih jadwal minum obat siang, itu bisa menganggu ibadah puasaku di bulan Ramadhan nanti.


Aku selalu menyembunyikan obat ARV itu di dalam tas kerjaku. Aku tidak perlu khawatir jika istriku akan menemukan obat itu di dalam tas dan bertanya tentang obat apa yang ada di dalamnya. Dia tidak pernah membongkar tas kerjaku dan tidak pula merasa ingin tahu. Dia terkesan masa bodoh dan agaknya sikap masa bodoh itu bersumber dari kepercayaannya yang teramat besar kepadaku. Dia tidak pernah mengecek hapeku layaknya wanita-wanita yang sering diceritakan di dalam tayangan sinetron, dimana mereka biasa curiga terhadap suaminya. Mereka menganggap suaminya selingkuh, lalu untuk membuktikan asumsi itu, mereka akan berusaha mengecek hape suaminya dengan tekad yang amat kuat.


Tapi Kartini tidak seperti itu. Dia tidak pernah kedapatan membuka hapeku. Pun aku tidak pernah penasaran untuk mengecek hape Kartini karena aku amat percaya bahwa dia adalah wanita yang setia dan selalu menjaga kehormatannya.


Hanya saja, aku telah mengkhianati istriku dengan melakukan perilaku-perilaku haram. Jika dia tahu, tentu dia amat kecewa. Rasa kecewa itu pasti akan beranak pinak menjadi berkali-kali lipat jika Kartini tahu bahwa akibat dari kemaksiatanku, aku terkena HIV. Aku menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Tidak ada yang tahu kecuali aku, sahabatku--Doni dan Arsa--dan tentu saja Tuhan yang di atas sana. Entah sampai kapan aku bisa menanggung rahasia ini.


Menyembunyikan rahasia itu memang tidak mengenakan. Aku harus sembunyi-sembunyi ketika jadwal minum obat tiba. Aku tidak ingin Kartini memergokiku ketika aku menenggak pil ARV dan dia bertanya perihal obat yang aku minum. Biasanya aku akan mengeluarkan sebutir obat itu dari dalam tas dengan gerak lihai, tepat ketika istriku tidak ada di kamar, lalu menelannya begitu saja. Setelah itu aku akan beranjak ke dapur untuk mendorong pil yang masih nyangkut di kerongkongan. Begitu saja setiap hari dan rahasia itu tetap aman.


**


Pepatah melayu mengatakan bahwa serapat-rapatnya kita menyembunyikan bangkai, pada akhirnya akan ketahuan pula lewat aroma busuknya. Pun pepatah lain mengatakan bahwa sepandai-pandainya tupai melompat, pada akhirnya dia akan jatuh juga. Dan itulah yang terjadi pada diriku.


Suatu hari, selepas jogging keliling komplek aku mendapati Kartini memyambutku dengan mimik wajah yang berbeda. Tidak ada lagi senyuman yang terpampang di sana. Wajahnya begitu muram tanpa cahaya. Senyuman tak lagi bertengger di sana.


Aku dibuat terheran-heran karena dia mengacuhkan kedatanganku. Kartini hanya asyik bermain hape di atas sofa. Dia hanya mendongak sebentar ketika aku mengucap salam dan masuk ke dalam rumah kontrakan kami. Dia bahkan tidak menjawab salamku kala itu.


Dengan tanda tanya di benak yang beranak rasa was-was, aku berlalu ke arah belakang untuk membersihkan diri setelah satu jam lamanya bermandi keringat. Oh iya, sejak vonis dokter tentang keberadaan virus itu, aku rutin olahraga minimal tiga kali dalam sepekan. "Bapak harus menjaga pola makan dengan gizi seimbang dan olahraga rutin supaya tubuh tetap fit. Jadi, tidak hanya mengandalkan ARV saja." Masih terngiang jelas di benakku nasihat dokter setelah aku mendapatkan akses obat ARV di puskesmas terdekat.


Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku menghampiri istriku yang tengah rebahan di sofa dan duduk di sampingnya. Dia bangkit dari lengan sofa dan menatapku dengan tatapan yang sulit ditafsirkan.


"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ujarnya dengan amat tegas.


"Tentang apa?" tanyaku. Dari tatapan matanya yang tidak biasa saja aku sudah tahu ada yang tidak beres. Detak di jantungku semakin tidak karuan ketika aku menduga bahwa istriku sudah tahu rahasia yang selama ini kusimpan rapat.


Dugaanku benar ketika dia mengangkat ponselnya dan beberapa centi dari wajahku terpampang sebuah foto di galeri. Foto botol obat yang biasa aku konsumsi. Obat ARV yang selama ini kuanggap sebagai nyawa penyambung hidup. Obat yang selama ini selalu tersembunyi di bagian dalam tas dan menyimpannya di bawah tumpukan berkas dan benda-benda lainnya supaya tidak terlihat. Tapi Tuhan punya skenario lain. Tuhan membongkar rahasiaku itu.


Lihat selengkapnya