Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #18

Kisah Rey: Ronald Teman Karibku

Sudah berbulan-bulan lamanya aku menganggur. Sementara keuanganku semakin menipis. Penghasilanku sebagai freelancer tidak menentu. Pun penghasilan dari bimbel yang aku buka di kontrakan kecilku. Hanya beberapa anak yang tertarik untuk mengikuti bimbel yang aku adakan. Bahkan keuntungan dari membuka bimbel bahasa Inggris dan matematika itu tidak mampu menutupi semua kebutuhan hidupku.


Demi menghemat pengeluaran, aku terpaksa mengetatkan ikat pinggang. Aku terpaksa mengurangi jatah makanku dengan makan dua kali dalam sehari. Seringkali aku melewatkan sarapan karena perutku lebih tahan menahan lapar di pagi hari ketimbang menahan lapar di siang terik atau melewatkan makan malam. Jika aku melewatkan makan malam, artinya aku tak akan bisa tidur nyenyak semalaman. Untuk alasan itulah melewatkan sarapan adalah hal yang masuk akal. Untuk kuota internet harus tetap ada karena bagaimana pun juga, di zaman serba internet dan teknologi seperti sekarang ini, internet adalah kebutuhan primer yang tidak bisa diganggu gugat. Tanpa internet hidup akan terasa kering, hambar dan tidak bernyawa. Bahkan seringkali rezeki itu datang lewat internet untuk mereka yang pintar dalam mencari dan menangkap peluang. Jualan online misalnya.


Nah, bicara soal jualan online, aku sudah pernah mencobanya dan hasilnya begitu-begitu saja. Tidak cukup memuaskan dan tidak bisa diharapkan. Sebelas dua belas dengan bimbel yang aku rintis. Hidup segan mati tak mau. Aku pernah mencoba peruntungan dengan bergabung sebagai affiliate beberapa marketplace. Keuntungan yang diperoleh bisa aku gunakan untuk membeli paket internet dan menambah uang makan. Tapi lebih dari pada itu, aku membutuhkan uang banyak untuk membayar uang kontrakan. Aku harus tetap memutar otak untuk bisa menghasilkan uang sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan tetap.


Apa? Kamu menyuruhku untuk melamar pekerjaan? Aku sudah mencobanya lusinan kali dengan cara hunting lowongan kerja di LinkedIn dan akun-akun khusus yang biasa memberikan informasi lowongan kerja terbaru di kotaku. Dari lusinan lamaran yang kukirimkan via email, hanya beberapa diantaranya yang mendapatkan email balasan dari perusahaan. Isi pesannya tipikal basa basi perusahaan kepada para pelamar fresh graduate. Bunyinya kurang lebih seperti ini, 'Terimakasih atas berkas lamaran kerja yang Anda kirimkan. Tunggu kabar selanjutnya dari kami." Setelah itu aku tidak mendapatkan kabar lagi. Dan itu artinya mereka tidak cukup tertarik untuk memperkerjakan diriku di perusahaan atau toko mereka.


Ada yang bilang, buat kerja itu jangan mengandalkan gengsi. Apa pun harus dikerjakan yang penting halal dan bisa menutupi kebutuhan. Nah, sebenarnya aku tidak peduli soal gengsi. Hanya saja sampai saat ini aku juga bingung pekerjaan apa yang bisa aku lakukan tanpa mempersoalkan gengsi. Jadi pemulung? Bisa saja. Tapi...ah, baiklah, aku harus jujur kepadamu jika ternyata masih ada gengsi yang bersemayam di hatiku. Masa sih, seorang sarjana jadi pemulung. Malu dong dengan ijazah dan gelar yang melekat di belakang nama. Aku ternyata seorang lelaki pengecut yang tetap memilih hidup melarat demi gengsi.


Kamu bertanya tentang gelarku? Baiklah, aku akan menceritakan semua hal tentang diriku kepadamu tanpa perlu menutupinya seinci pun. Aku seorang sarjana sastra inggris. Nah, jika kamu sudah tahu bidang keahlianku, aku bisa menebak jika kamu menyarankanku untuk mencari lowongan kerja sebagai guru bahasa inggris, terutama di sekolah-sekolah swasta. Untuk yang satu ini aku juga pernah melakukannya. Ada kurang lebih enam lowongan kerja sebagai guru bahasa di beberapa sekolah dengan jenjang sekolah yang beragam. Hasilnya masih tetap nihil. Mungkin memang belum rezekinya.


Di tengah semua kemelaratan yang aku alami ini, aku tidak pernah menyerah dan berharap keadaan akan membaik, cepat atau lambat.


**

Ketika Mama menelponku, selain bertanya tentang kabar, Mama juga bertanya soal semuanya, keadaan finansialku, kegiatanku sehari-hari dan semisalnya. Misal, pertanyaan Mama yang seakan menjadi template yang tetap setiap kali menelponku adalah, 'Apa kabar, Rey. Kamu sehat kan? Masih ada uang? Kamu sudah makan? Kegiatan hari ini apa saja?'


Lihat selengkapnya