Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #20

Kisah Rey: Ronald Teman Karibku

Sebagai anak sulung yang menjadi tulang punggung dari keluargaku, aku harus memikirkan bagaimana caranya supaya Mama dan adik-adikku masih tetap bisa makan dan melanjutkan kehidupan dengan layak. Sejak kecil aku sudah akrab dengan kemiskinan. Bahkan ketika Bapak masih ada pun kemiskinan itu membersamai kami. Aku berpikir jangan-jangan kemiskinan ini akan tetap melekat dalam hidupku sampai ajal menjemput. Bapakku bukan orang berada. Dia hanya seorang lelaki dengan pekerjaan serabutan. Sesekali dia menjadi kuli panggul di pasar. Sesekali dia mencari madu di hutan dan menjualnya ke kota. Tapi lebih sering uang itu datang lewat pekerjaan kasar berupa kuli panggul. Jika ada yang menebang pohon di pinggir hutan, maka Bapak dan teman-temannyalah yang akan memanggul gelondongan kayu itu menuju jalan utama. Kerjanya amat keras tapi upahnya tidak seberapa. Aku tahu betul hal ini karena memang aku menggantikan pekerjaan Bapak setelah dia dipanggil Tuhan.


Kamu tahu bagaimana cara Tuhan memanggil Bapak ke alam kekal? Hari itu kami tidak pernah berpikir bahwa itu hari terakhir kami dengan Bapak. Bapak--seperti biasa--berangkat untuk bekerja . Dia menenteng kantong kresek yang berisi timbel, sambal dan lalapan yang sudah disiapkan Mama sebagai bekal makan siangnya. Biasanya Bapak pulang selepas asar. Kami tetap melanjutkan aktivitas seperti biasa. Aku dan adik-adikku berangkat ke sekolah dengan jalan kaki sementara Mama sibuk dengan pekerjaan domestik pada umumnya, mencuci pakaian kotor di kali, menyapu lantai papan rumah panggung kami dilanjutkan dengan menyapu halaman. Terkadang, seminggu sekali Mama menyiangi rumput di pekarangan depan yang dipenuhi bunga dan pekarangan belakang yang ditanami sayur mayur. Mama biasanya akan mengisi waktu sisanya dengan menyulam di beranda depan sembari menunggu anak-anak dan suaminya pulang.


Tapi, dua puluh menit sebelum adzan Dzuhur berkumandang, ada seorang tamu datang. Dia pak Sukri teman Bapak. Pak Sukri bilang bahwa Bapak mengalami kecelakaan fatal. Bapak jatuh dari pohon albiso ketika dia tengah memotong cabang-cabang pohon sebelum pohon itu ditebang oleh gergaji mesin. Tubuh Bapak meluncur bebas ke atas permukaan tanah yang penuh dengan bebatuan.


'Saat ini Bapak sudah dibawa ke puskesmas untuk perawatan. Tapi petugas puskesmas bilang Bapak harus dirujuk ke rumah sakit daerah di kota kabupatén,' begitulah keterangan Pak Sukri kala itu.


Mama dibuat setengah gila dengan kabar itu. Dia mengikuti pak Sukri ke kecamatan dan mendapati Bapak dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Napas Bapak patah-patah. Meski dia masih sadar, tapi Bapak tidak bisa bicara sama sekali. Tulang pinggulnya mengalami dislokasi. Tulang paha remuk. Tulang iga patah di beberapa lokasi. Sementara paru-paru Bapak mengalami luka robek karena desakan keras dari patahan tulang iga di dada. Petugas puskesmas angkat tangan dan meminta izin kepada Mama untuk membawa Bapak ke RSUD. Mama bingung karena beliau tidak memiliki simpanan uang untuk membayar biaya berobat Bapak. Tapi keselamatan Bapak adalah yang paling utama. Tanpa perlu berpikir panjang, Mama meminta Pak Sukri untuk mencarikan mobil engkol bak untuk membawa bapak ke Kabupaten. Mama harus meminjam uang ke sana kemari untuk ongkos pergi.


Sementara aku dan adik-adikku dilanda kebingungan yang sama ketika kami tidak mendapati Mama ada di rumah. Tapi kebingungan itu tidak berlangsung lama karena Bi Lasmi, tetangga kami memberitahukan apa yang terjadi pada kami. 'Mama kalian sudah berangkat ke kabupaten. Jadi kalian disuruh menunggu saja di rumah.'


Malam itu kami, tiga kakak beradik berdiam diri di rumah dengan memeram gundah gulana di hati kami. Menjelang waktu dini hari, aku mendengar suara deru mobil yang semakin mendekat, lalu pintu diketuk dari luar. Aku yang pada dasarnya tidak mampu memejamkan mata langsung beranjak ke arah depan untuk membuka pintu. Kulihat sosok Mama di depanku. Matanya yang basah menyiratkan rasa duka dan lelah yang bercampur aduk. Tepat ketika aku hendak membuka mulut Mama merangkulku dengan erat dan terisak-isak di bahuku. Aku masih ingat apa yang dikatakan Mama kala itu. "Bapak sudah pergi, Nak..."


Dan kulihat tiga lelaki yang menyusul ibu, menurunkan jasad Bapak dari atas mobil engkol. Konon, sebelum sampai ke RSUD, bapak sudah menghembuskan napas terakhir sehingga mobil itu berbalik arah, pulang kembali ke rumah.


Beberapa bulan setelah itu aku lulus SMP dengan nilai yang sangat memuaskan. Duduk di bangku SMA aku harus bekerja demi mencukupi kebutuhan keluargaku. Sepulang sekolah, aku biasanya membantu Mang Rafli membuat batu bata di samping rumah gedongnya. Di sana, ada beberapa kuintal tanah liat yang siap dicetak untuk dijadikan batu bata, kemudian dibakar di dalam tungku khusus. Aku akan bekerja di tungku pembuatan batu bata itu dari siang hingga menjelang magrib. Upah yang kuperoleh cukup untuk makan kami sekeluarga.


Selepas SMA, sebenarnya aku ingin kuliah. Hanya saja realita tidak mendukung harapanku. Hanya saja, ada kabar dari suami Bu Lasmi bahwa ada lowongan pekerjaan di pabrik makanan kemasan di kota kabupatén. Gajinya lumayan, begitulah katanya. Maka aku pun mencoba melamar kerja di pabrik tersebut dan diterima.


Hanya dua tahun bekerja, aku menjadi korban PHK. Pabrik itu memang harus memangkas setengah pegawainya dengan alasan efisiensi biaya. Aku berpikir ini terjadi karena dampak pandemi.



**


Lihat selengkapnya