Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #7

Lelaki yang Berkubang dalam Kisah Cinta yang Salah

Aku pernah jatuh cinta berkali-kali dengan debar yang tidak asing di hatiku. Debar yang membuatku sering salah tingkah dan sesekali tersenyum sendiri sembari membayangkan adegan-adegan romantis yang terjalin di benakku.


Aku memang jatuh cinta, tapi bukan pada lawan jenis. Aku jatuh cinta pada sesama jenis dan aku hanya memendam perasaan di dalam hati. Lusinan kali aku jatuh cinta dan lusinan kali pula aku memendam semua rasa itu dalam sepi dan diam. Sementara, mereka yang pernah kukagumi dalam diam tidak pernah menyadari hal itu dan menganggapku sebagaimana teman pada umumnya. Entah teman satu kelas, kakak kelas, teman satu klub kesenian, teman satu kerjaan atau bahkan tetangga rumah sekali pun. Semua rasa berbunga-bunga dengan tokoh yang beragam itu pernah aku alami.


Aku tidak akan pernah berani mengungkapkan perasaanku. Bahkan sampai ajal menjemput pun aku tak akan berani mengatakannya dengan jujur. Kau bertanya-tanya, aku tahu itu. Tapi tidak apa-apa. Di sini aku akan membocorkan rahasiaku.


Nah, dengarkan baik-baik dan kuharap kamu tidak kaget dibuatnya.


Jika aku mengungkapnya, ada banyak kemungkinan yang terjadi. Pertama, dia yang aku cintai dalam diam akan menganggapku gila dan menjauhiku. Pertemanan kami bisa hancur dan berubah menjadi kebencian. Lagi pula, lelaki normal mana yang sudi berteman dengan pria homo. (Sekarang aku bisa menduga ekspresi kaget di wajahmu). Kedua, bisa saja teman yang kukagumi itu bermulut ember, lalu membuka rahasia tentang orientasi seksualku itu kepada semua orang, terutama teman-teman satu pekerjaan, bahkan bisa saja kabar tak mengenakan itu sampai ke telinga bos. Lalu setelah itu aku dikucilkan. Skenario buruknya aku dipecat. Dengan alasan itulah setiap kali aku jatuh cinta, aku memendam perasaan itu di palung hatiku.


Diantara lelaki yang aku kagumi di dunia nyata (selain lelaki tampan di media sosial) adalah teman kerjaku sendiri. Sebut saja namanya Farhat. Dia adalah tipikal lelaki sempurna. Tinggi, atletis, tampan dan supel. Dia lelaki yang lumayan dekat denganku. Farhat selalu memintaku untuk menemaninya makan siang jika kami kebetulan bekerja di shift yang sama. Beberapa kali aku juga diajak ke rumahnya dan kami bertingkah layaknya persahabatan pada umumnya.


Jika jadwal makan siang tiba, Farhat selalu memboncengku untuk mencari tempat makan paling enak. Terkadang di lapak bakso pinggir jalan, rumah makan Padang, warung sunda atau warteg di perempatan yang seringkali ramai oleh pengunjung. Farhat tidak pernah tahu betapa aku selalu berdebar-debar ketika dibonceng olehnya. Terutama di siang yang mendung, sembari mempercepat laju motor, kami pernah terjebak gerimis. Dan rasanya saat itu teramat romantis bagiku.


Farhat memang memiliki pesona yang luar biasa. Dia tipe sex appeal yang bagus bagi semua perempuan yang menyukai lelaki impian ala bintang sinetron. Tidak hanya untuk kalangan perempuan, tapi juga lelaki macam diriku.


Beberapa teman wanitaku pernah secara terang-terangan bilang kepadaku bahwa mereka menyukai Farhat.


"Sar, tolongin aku, dong," begitulah pinta Sinta suatu ketika, ketika kami makan siang. Kebetulan aku dan Sinta bertugas di shif yang sama. Lebih seringnya aku tugas bareng dengan Farhat di shift sore. Hanya kebetulan saja di pekan-pekan belakangan ini aku bekerja bersama Shinta.


"Minta tolong apa, Sinta? Kamu mau pinjam uang?"


"Bukan! Aku mau curhat sama kamu," ujarnya sembari mencubit pahaku. Aku mengaduh sementara Sinta tertawa. Beberapa teman wanitaku memang terlalu akrab denganku. Mereka bilang, pembawaanku yang asyik dan apa adanya membuat mereka tidak merasa sungkan untuk berkarib denganku. Mereka tidak pula sungkan untuk menjadikanku sebagai teman curhat mereka. Mereka bilang aku bisa menjadi seorang pendengar yang baik dan bisa memahami mereka seutuhnya. Mereka bilang aku lelaki kemayu tapi itu bukan permasalahan besar bagi mereka. Jika aku tidak salah menduga, mereka bisa saja tahu bahwa aku tidak tertarik pada lawan jenis dan untuk alasan itulah mereka bisa dekat denganku tanpa merasa risih dan sungkan.


"Jadi mau apa?" tanyaku pada Sinta.


Lihat selengkapnya