Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #8

Saran Farhat

Sejak peristiwa kecupan pembawa sial itu terjadi, hubungan pertemananku dengan Farhat sudah selesai. Setidaknya itu yang aku pikirkan setiap kali Farhat menghindar dan menatapku dengan jijik. Tapi, entah untuk alasan apa tiba-tiba saja di suatu pagi, di sif yang sama dia tiba-tiba saja menyapaku dengan ramah. Persis seperti kebiasannya setiap kali kami bertemu di tempat kerja sebelum kejadian memalukan itu terjadi. Aku tidak tahu apakah dia sudah memaafkanku atau karena dia sudah bosan memasang muka tertekuk? Aku juga tidak tahu apakah dia memaklumi orientasi seksualku?


Aku hanya bengong dan tak habis pikir dengan perubahan Farhat. Dia kembali seperti semula. Dia kembali dengan keramahannya yang khas. Dia, seperti biasa, menyimpan tasnya di loker dan mulai melakukan aktifitas seperti biasa. Hanya saja hari ini wajahnya lebih bercahaya.


"Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf atas kejadian beberapa minggu yang lalu, ya, Far," ujarku dengan penyesalan yang amat tulus.


Farhat mengangguk dan mengibaskan tangannya. "Nanti kita bahas hal itu ketika makan siang saja."


Nah, selain merasa terkejut dengan sikapnya yang kembali seperti semula, aku juga terkejut karena dia mau kembali makan siang bersamaku. Itu artinya kebenciannya padaku sudah hilang. Aku jelas merasa senang karena hanya Farhat yang lumayan dekat denganku selain dari teman-teman perempuanku itu.


Selepas shalat Dzuhur, kami pun kembali makan siang bersama di sebuah rumah makan padang. Selesai menyantap makan siang kami yang berupa ayam bakar dan sayur nangka lengkap dengan sambal khas, kami terlibat obrolan.


"Kenapa kamu tiba-tiba bersikap biasa?"


"Aku bosan cemberut terus. Lagi pula kemarin aku baru saja ikut kajian keagamaan. Ustadznya bilang bahwa Allah saja Maha Pemaaf. Maka tidak layak bagi manusia untuk tidak memaafkan kesalahan sesamanya."


Oh. Sekarang sih baru tahu kalau Farhat suka ikut kajian. Secara sepintas sih dia memang tipikal anak shaleh. Setiap waktu shalat tiba dia selalu melaksanakan shalat tepat waktu. Tapi itu kan memang kewajiban utama setiap muslim. "Jadi, benar kamu sudah memaafkanku?


Dia mengangguk. "Aku memaafkanku dengan syarat kamu tidak mengulangi perbuatan tercela itu. Tidak kepadaku, tidak juga kepada lelaki mana pun yang masih normal." Secara frontal Farhat memperingatkanku dalam obrolan pembuka kami.


Aku hanya menghela napas panjang. "Iya. Sekali lagi aku minta maaf. Aku benar-benar khilaf. Jujur, waktu itu aku tiba-tiba saja kepikiran hal yang tidak-tidak ketika kita tidur seranjang."


"Sudah kubilang kan kalau mau jadi homo setidaknya jangan mengincar laki-laki straight. Kamu bisa cari laki-laki yang sama seperti kamu. Aku sebenarnya masih risih tapi ya mau bagaimana lagi, kita sudah berteman cukup lama dan konyol jika aku memutuskan persahabatan hanya karena kecupan. Dan tolong, kalau bisa kamu berubah. Bagaimana pun juga itu penyimpangan yang harus disembuhkan."

Lihat selengkapnya