Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #22

Dalam Jeratan Iblis 2

Andai orang tuaku tahu apa yang aku lakukan di kota, mereka pasti amat kecewa. Yang mereka tahu adalah aku si sulung yang shaleh dan tak pernah mencari gara-gara. Aku si sulung yang paling baik dan paling tidak merepotkan mereka. Mereka tentu senang dengan kiriman uang tiap bulan yang selalu aku transfer ke rekening paman. Maklum, orangtuaku tidak memiliki rekening sehingga dalam urusan transfer uang, aku mengandalkan paman. Aku pernah meminta Mama untuk membuat rekening, tapi Mama bilang tidak bisa. "Mama tidak paham téknologi," begitulah alasan Mama.


Aku harus berbohong kepada Mama tentang sumber uang yang aku peroleh. Jika aku berbohong bahwa aku bekerja sebagai kasir tentu Mama tidak akan percaya. Bekerja sebagai kasir tidak akan mungkin bisa mengirimkan uang sebanyak itu kepada Mama. Maka aku mencoba berpikir tentang pekerjaan apa yang terlihat masuk akal bagi Mama. Maka aku punya jawabannya; kerja kantoran. Mama tidak akan pernah bertanya apa yang aku kerjakan sebagai pekerja kantoran. Pokoknya kerja kantoran. Jika Mama masih tetap terus bertanya, aku akan menjawab, "Aku seorang konsultan bisnis." Itu pun atas saran dari Sandra. Karena aku berbagi keresahanku kepada Sandra. 


Setiap pekan Mama menelponku dengan suara yang lebih sumringah dari pada biasanya. Dia menceritakan tentang adikku yang baru saja beli sepeda. Uangnya tentu saja dari transferanku pekan kemarin. Adik keduaku baru saja membeli peralatan sekolah yang baru. Mama juga bisa membeli baju. Aku yang mendengar semua yang diutarakan Mama turut merasa bahagia. Setidaknya aku merasa menjadi orang paling berguna. Tapi jika mengingat apa yang aku lakukan dan bagaimana aku mengelabui Mama, rasa bangga itu tiba-tiba menciut dan berubah menjadi rasa malu dan takut. Bagaimana jika suatu saat Mama tahu apa yang aku lakukan di sini? Ah, Mama tidak mungkin tahu. Lagi pula dari mana dia akan mengetahui hal ini? Mama nun jauh di kampung sana dan aku ada di kota. 


Meski kemungkinan itu amat kecil, aku selalu dilanda rasa takut. Dan rasa takut itu semakin menjadi ketika suatu hari Mama menelponku dan memberitahuku tentang rencana-rencana yang berkelindan di kepalanya soal uang yang saban bulan aku kirimkan.


"Mama kepikiran untuk menabung."


"Ya. Itu memang harus, Ma," timpalku kala itu. "Bagaimana pun juga, kita harus tetap memiliki simpanan. Karena tidak ada yang menjamin Rey bisa sukses selamanya."


"Jangan bilang begitulah, Rey. Bagaimana pun juga Mama selalu berdoa yang terbaik untukmu. Termasuk doa untuk kesuksesan karirmu."


Ada luka di hatiku demi mendengar ketulusan Mama. 


"Mama juga ada niat nabung buat umrah. Kalau bisa kita umrah bareng ya, Rey..."


Jleb! Bagaimana mungkin Mama berpikir sampai ke sana. Andai dia tahu bahwa uang yang kukirimkan saban bulan itu adalah uang haram hasil menjual diriku pada Tante Sandra. Ya Tuhan, memangnya umrah memakai uang haram bisa diterima.


"Ah, jangan berpikir soal umrah, Ma. Nanti saja," ujarku dengan amat pelan.


Lihat selengkapnya