Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #23

Dalam Jeratan Iblis 3

Dari belokan jalan setapak itu aku bisa melihat bagaimana kondisi rumah Mama. Di sana aku melihat kerumunan di depan rumah panggung orangtuaku. Kerumunan orang-orang itu menyiratkan aura kepedihan dan kehilangan yang amat kental. Suara deru motor ojek itu membuat banyak diantara mereka menoleh ke arahku. Tatapan mereka menyiratkan rasa belasungkawa, terutama dari wajah-wajah yang amat akrab di benakku. Para tetangga, karib kerabat yang dekat atau yang jauh dan tentu para sahabat yang kukenal sedari kecil.


Lastri menghambur ke arahku dan memelukku sembari terisak pilu. Aku melangkah dengan lutut yang gemetar. Dari ambang pintu aku melihat jasad Mama yang terbujur kaku, diam tak bergerak di bawah kain jarik berwarna cokelat. Sementara kulihat bibi, paman, para sepupu, keponakan, tetangga dan karib kerabat yang dekat membaca surat Yasin di samping jasad Mama. Tapi agaknya mereka menghentikan bacaan mereka ketika melihat kedatanganku. Aku langsung menghambur, memeluk jasad Mama dengan tangisan yang tak bisa kubendung. Kuulang ribuan maaf kepada Mama. Mama tetap diam dan hatiku semakin tersayat-sayat oleh penyesalan.


Menjelang jam sepuluh malam, jenazah Mama disemayamkan dengan khidmat. Aku sebagai anak tertua merasa terpanggil untuk menyalati jenazah Mama untuk yang terakhir kalinya, kemudian aku menyemayamkan jenazah Mama di liang lahat. Di sini kucoba untuk menahan derai air mata dan mencoba untuk menguatkan hati yang masih hancur oleh rasa kehilangan yang amat sangat. Setelah menghadapkan jasad Mama ke arah kiblat dan mengganjalnya dengan bantal tanah, aku kembali menjejak ke atas. Perlahan, jasad yang kusayangi sepenuh hati itu diuruk dengan tanah merah. Sedikit demi sedikit, tanah itu menelan Mama, kembali ke haribaannya yang gelap, lembab dan dingin. Malam ini Mama tidur sendiri. Air mataku kembali berderai-derai. Dadaku sesak dan penderitaan ini tak mampu kutanggung.


***


Sekembalinya aku ke kota, aku berpikir ulang tentang hidup yang aku jalani. Lebih-lebih, kesadaran ini semakin menghentak setiap kali aku menatap foto Mama yang sengaja kupajang di samping tempat tidurku. Setiap menjelang tidur, aku selalu menatap potret Mama yang sedang tersenyum ke arahku, kemudian mengingat kembali masa-masa paling intim bersama Mama di masa silam. Masa dimana Mama mendongeng untukku setiap kali aku hendak tidur, kemudian mengecup keningku dan mengucapkan selamat malam. Saat itu aku seakan merasakan kembali kehadiran Mama di sisiku.


Setiap kali mengingat Mama, setiap itu pula aku teringat dosa. Ah, aneh sekali. Apakah aku telah melakukan perbuatan syirik? Bagaimana mungkin aku mengingat dosa ketika ingat Mama. Sementara aku tidak pernah ingat Tuhan sebagai Dzat yang kudurhakai selama ini? Apakah itu karena cintaku pada Mama jauh lebih besar dibandingkan kepada Tuhan? Bisa saja! Karena aku menyadari hal itu. Shalatku mulai tidak khusyu', mulai jauh dari Alquran dan tak ada lagi getar rasa bersalah setelah melakukan perbuatan nista.


Pada titik ini aku selalu bertanya-tanya. Mau sampai kapan aku begini? Sampai aku sakit-sakitan seperti Mama? Atau sampai aku mati?


Aku harus berhenti dari semua kegilaan ini. Begitulah tekadku pada suatu malam yang hening. Malam dimana untuk pertama kalinya aku kembali shalat tahajud dengan derai air mata penyesalan.


Keesokan harinya aku mengirimkan pesan singkat kepada Sandra bahwa aku sudah selesai. Aku tidak ingin lagi menjadi partner maksiatnya.


"Saya ingin bertaubat dan mulai hari ini hubungan kita sudah selesai,' begitulah pesan yang kusampaikan kepada Sandra lewat WhatsApp.


Lihat selengkapnya