Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #3

Perasaan yang Menyiksa

Setelah pindah dari Ciamis dan kembali ke tanah kelahiranku, bukan berarti aku terlepas dari bayang-bayang buruk pelecehan Kang Kardi. Aku tidak trauma. Tidak merasa jijik. Tidak pernah membocorkan rahasia ini kepada siapa pun. Tapi aku selalu mengingatnya dengan amat jelas. Aku mengingat setiap detailnya seakan setiap adegan itu melekat dengan begitu kuat di memoriku.


Kepindahan ini memang bisa membuatku terlepas dari seorang pedofil. Tapi tidak dengan ancaman-ancaman lain. Aku tumbuh di lingkungan baru dengan nuansa keislaman yang begitu lekat. Kami dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang baik. Emak kemudian memintaku untuk mengaji di musholla Haji Karim yang bahkan letak mushola itu juga hanya selemparan batu dari rumah dimana aku tinggal. Aku pun memenuhi permintaan Emak dengan senang hati karena aku memiliki banyak teman di pengajian.


Di kampungku, anak-anak seringkali tidak pernah tidur di rumah. Mereka selalu tidur di mushola kampung. Mushola kampung kami anggap sebagai rumah kedua. Kami, para bocah kampung biasa bersiap-siap untuk berangkat ke mushola jam setengah enam sore. Selepas mandi kami akan segera berangkat ke mushola dan menunggu waktu Maghrib tiba dengan bermain-main di depan mushola. Kami biasa main petak umpet. gobak sodor, péclé dan beragam permainan tradisional lainnya. Sepuluh menit sebelum waktu adzan Maghrib tiba, Haji Karim turun dari rumah panggungnya dengan membawa batang rotan. Batang rotan itu konon biasa digunakan untuk memukul betis para santri yang bandel dan sulit diatur.


Demi melihat sosok Haji Karim turun dari rumah panggungnya, kami pun bubar tanpa perlu berpikir siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kami lebih takut kena sabetan rotan dibandingkan permainan yang belum tuntas kami mainkan.


Kami mengambil air wudhu di pancuran samping mushola, kemudian masuk ke dalam mushola dan mulai melantunkan selawat dan pupujian lewat speaker. Tentu saja kami berebut speaker itu dan hati jadi senang jika kami melantunkan shalawat itu dengan lantang. Aku memikirkan tentang Emak. Emak pasti bangga mendengar suara anaknya berselawat lewat toa masjid.


Adzan Maghrib berkumandang dan kami berbaris rapi, membentuk shaf untuk mendirikan shalat Maghrib berjamaah. Selesai shalat Maghrib, kami mengaji Alquran di bawah bimbingan Haji Karim. Sebagian ada yang masih iqra, sebagian lagi ada yang sudah mengaji Alquran. Mereka--para senior--yang sudah fasih tilawah biasanya diperbantukan untuk menyimak bacaan adik-adiknya yang masih Iqro demi mengurangi beban Haji Karim. Tentunya butuh waktu yang lama untuk menyimak bacaan lusinan bocah dalam waktu yang singkat. Untuk alasan itulah Haji Karim butuh asisten. Kami biasanya selesai mengaji ketika waktu adzan isya tiba. Seperti biasa, adzan dikumandangkan, shalat berjama'ah dan setelah itu kami biasa mengisi waktu dengan beragam kegiatan yang bisa kami pilih. Kami biasa mengobrol di dalam mushola atau di teras mushola. Apa pun bisa menjadi bahan obrolan kami, mulai dari kegiatan di sekolah, hal-hal lucu selama bermain bahkan membicarakan teman kami yang sedang bertengkar atau naksir teman perempuan. Kami terkadang main tebak-tebakan. Jika kebetulan sedang bulan purnama, kami melanjutkan permainan gobak sodor dan petak umpet yang sempat tertunda.


Setiap malam, kami tidak pernah pulang ke rumah untuk tidur. Bahkan mayoritas dari kami tidak memiliki kamar tidur pribadi seperti orang-orang kota pada umumnya. Kami biasa tidur dimana pun kami mau. Aku biasa tidur di ruang depan. Ruang depan bukan hanya untuk menerima tamu, tapi juga sekaligus ruang tidur bersama.


Lihat selengkapnya