Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #25

Rahasia yang Terbongkar

Setelah lulus dari pondok pesantren, aku tidak melanjutkan kuliah karena terkendala biaya. Aku tahu orang tuaku miskin dan aku cukup tahu diri dengan cara tidak merepotkan mereka soal biaya pendidikan. Bahkan aku bisa lulus dari madrasah Aliyah di pondok pesantren saja tidak lepas dari keberuntungan beasiswa. Di pondokku, memang ada beasiswa khusus untuk yatim dan dhuafa.


Sebenarnya bisa saja aku mencari beasiswa dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan. Hanya saja, sekolah swasta tempat aku belajar selama di pondok tidak memberikan informasi yang cukup tentang semua hal. Semua santri dilepas begitu saja tanpa diberikan bekal tentang bagaimana mendaftar kuliah atau semisalnya. Aku tidak tahu bagaimana alur pendaftaran kuliah dengan segala tetek bengeknya. Dan sepertinya pihak pondok tidak mau tahu dan tidak peduli soal kelanjutan studi anak didiknya. Maklum, pondok tempat kami menuntut ilmu adalah pondok pesantren tradisional yang baru berdiri tiga tahun.


Maka, aku kembali ke kampung halamanku dengan hati yang bingung. Orangtuaku juga tidak tahu banyak hal soal bagaimana mengurus keberlanjutan pendidikan anak sulungnya. Pada akhirnya, aku hanya diam di rumah dengan hati yang resah.


Emak pernah bertanya kepadaku soal kelanjutan studiku. "Setelah ini kamu mau apa? Mau lanjut kuliah atau kerja?" tanya Emak kepadaku. Dari sorot matanya saja aku bisa menduga jika Emak berharap aku melanjutkan pendidikanku.


Aku menghela napas panjang. "Tidak tahu, Ma. Aku tidak memahami bagaimana caranya bisa kuliah tanpa keluar uang."


Emak menghela napas panjang. "Ya sudah kalau begitu. Tidak apa-apa. Toh adanya kamu di sini juga membuat Emak senang. Kamu mungkin bisa mencoba peruntungan dengan mencari pekerjaan."


Aku mendengus pelan. Mencari pekerjaan layak dengan berbekal ijazah SMA adalah hal yang mustahil.


Beruntunglah, ada seorang sahabat perempuanku, Sinta namanya, yang datang membawa kabar bahwa minimarket tempat dia mencari nafkah sedang membutuhkan pegawai baru. Dia datang tepat ketika aku kebingungan.


"Coba saja kamu melamar ke tempatku bekerja. Siapa tahu diterima," saran Sinta suatu hari.


"Yakin akan diterima?" tanyaku sangsi.


"Coba saja dulu," ujar Sinta dengan penuh optimisme.


Aku pun menyanggupi. Aku mencoba membuat surat lamaran kerja dan mendatangi HRD minimarket tersebut.


Singkat cerita aku diterima dan mulai hari-hariku dengan semangat baru. Setidaknya aku memiliki kehormatan dan tidak lagi malu karena luntang lantung tidak jelas dan hanya jadi beban orang tua. Setidaknya sekarang aku bisa jajan dan beli kuota internet tanpa perlu meminta lagi pada Emak dan Bapak. Bahkan aku bisa mentraktir orangtua dan adik-adikku meski tidak seberapa.


Karena sekarang aku memiliki uang, maka aku bebas main kemana pun aku mau. Aku bebas membeli apa pun yang aku mau. Aku bisa memuaskan hasrat konsumtif dan hasrat pemenuhan terhadap gaya hidupku yang menanjak secara tiba-tiba.


Beberapa kali Emak memintaku untuk bijak dalam menggunakan uang, tapi aku hanya mengiyakan semua nasihat Emak tanpa pernah berpikir untuk benar-benar mengaplikasikannya dalam kehidupanku.


"Kita tidak tahu sampai kapan kita punya uang yang cukup. Mumpung ada penghasilan, sisihkan sebagian untuk tabungan masa depan. Atau bisa juga kamu menabung emas." Begitulah nasihat Emak kepadaku.


Aku hanya mengiyakan. Tapi nasihat Emak hanya sekedar mampir di gendang telingaku. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri.


***


Beberapa kali aku terjerumus pada perilaku buruk. Aku tidak bijak dan tidak pintar dalam mengatur finansialku. Besar pasak dari pada tiang, begitulah istilahnya. Aku sangat hobi belanja. Aku membeli sepatu, Hoodie, celana jeans dan segala tetek bengeknya hampir di setiap bulan. Aku mulai kecanduan belanja, terutama segala hal yang bisa menunjang penampilanku. Yeah, rasanya memang membanggakan bisa menatap dirimu di cermin dengan penuh kekaguman.


Lihatlah, Sardi, dirimu sungguh menawan. Lihatlah tubuhmu dalam balutan kaus Zalora terbaru. Lihat pula potongan rambut hitammu yang kemarin sore baru dipotong di sebuah salon paling mahal. Dan kakimu kini berbalut sepatu yang harganya setengah juta. Bahkan, beberapa tahun sebelumnya kau terlihat seperti gembel dan sekarang kamu bisa membeli apa pun yang kamu mau.


Aku tidak menabung dan tidak berpikir betapa pentingnya menabung untuk masa depan. Lagi pula, aku kan masih single sekaligus tidak pernah berpikir untuk menikah. Menikah? Aku tidak suka perempuan, bukan? Untuk apa aku menikah? Jika aku menginginkan hubungan seksual, aku tinggal mencarinya di media sosial.


***

Aku kenal dengan seseorang lewat grup Facebook. Bukan sembarang grup. Grup ini adalah grup lelaki penyuka sesama jenis di daerahku di kota D. Grup itu memiliki ribuan anggota dan kami berinteraksi lewat postingan di grup tersebut. Hanya saja sekarang grup itu sudah lenyap setelah pemberitaan tentang grup-grup gay viral di media sosial. Orang-orang pemerintah tanggap dalam menerima keluhan masyarakat dan mulai memblokir grup-grup LGBT. Tapi biarkan aku bercerita tentang pertemuanku dengan Gani, teman yang belakangan menjadi partner in crime dalam hidupku sekaligus menjadi petaka dalam riwayat kehidupanku yang kelam.

Lihat selengkapnya