Burung Terbang Berpasangan

Husni Magz
Chapter #26

Cinta Semu

Aku dan Gani bersitatap dengan mimik tegang. Aku takut. Dia juga sama takutnya. Ketakutan kami sama, apa jadinya jika rahasia yang selama ini kami tutup rapat terbongkar. Bagaimana respon kedua orangtuaku jika mereka tahu aku seorang lelaki homoseksual?


"Bagaimana jika dia memberitahukan semuanya kepada orangtuamu?" tanya Gani dengan mimik tegang. Harusnya aku yang lebih khawatir karena ini adalah rumahku dan orang tuaku tentu akan lebih mempertanyakan hal ini kepadaku. Tapi bisa saja Gani merasa takut jika kemudian aku menjadikannya kambing hitam. Karena bisa saja aku bilang kepada orang tuaku bahwa Gani yang memaksaku.


"Mudah-mudahan saja tidak," jawabku, meski dengan nada kurang yakin. Sebenarnya aku tahu betul bahwa Fatma itu bukan tipe remaja pengadu. Dulu, ketika kelas lima SD, dia pernah ditonjok oleh teman lelakinya hanya karena tidak memberikan contekan PR matematika. Ketika Emak bertanya tentang lebam di mata kirinya, Fatma bilang itu karena jatuh dari pohon. Emak justru tahu kejadian itu dari Syakila, teman sebangku Fatma. Nah, kalau urusan ditonjok teman sekelas saja Fatma tidak repot memberitahu Emak, lalu untuk alasan apa dia repot berkoar-koar soal kejadian semalam? Aku mencoba menghihur diriku dengan hal ini.


"Selama ini aku tahu dia menyukaiku. Dan sekarang dia kecewa berat. Dia pasti kecewa pada kita berdua," ujar Gani lagi.


"Sudahlah, jangan banyak berpikir yang tidak-tidak. Lebih baik kita tidur," bantahku. Aku mulai memakai kaus dan celana dalam yang tercecer di lantai. Gani pun melakukan hal yang sama. Nafsu syahwat durjana yang sedari tadi melalap kami dengan begitu ganas tidak tersisa jejaknya. Semua menghilang, digantikan oleh rasa takut yang menguasai hati.


"Ayo, tidur. Besok pagi kita obrolkan lagi." Aku merebahkan diri di atas kasur yang terasa lembab oleh keringat kami. Sementara Gani masih duduk dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.


"Aku tidak bisa tidur," lirihnya pelan. "Sepertinya aku pulang saja."


Aku yang sudah mulai mengantuk kembali terduduk. "Pulang dini hari? Apa kamu tidak takut?"


Dia menggeleng. Beranjak dari atas dipan, mengambil jaket kulitnya dan mengenakannya dengan tergesa. Lalu meraih tas hitam dan kunci motor yang dia simpan di atas meja kecil samping ranjang. "Besok kita bicarakan hal ini di kafe, seperti biasa. Yah, mudah-mudahan adikmu itu tidak banyak bicara soal kejadian malam ini."


Kami kemudian berpelukan dan dia keluar lewat pintu samping, untuk mengambil motor yang diletakan di samping rumah. Bebedapa menit setelahnya, aku mendengar deru suara motor Gani yang perlahan menjauh. Sementara aku hanya terbaring di atas tempat tidur tanpa mampu memejamkan mataku.


Keesokan harinya, hatiku semakin didera rasa khawatir. Aku lebih memilih berdiam diri di dalam kamar dan tidak keluar sama sakali. Aku membayangkan bagaimana jadinya jika Emak menatapku dengan tatapan aneh, tatapan menghakimi sekaligus bertanya-tanya, lalu memanggilku untuk mengobrol empat mata di kamarnya. Emak memang selalu begitu, jika ada hal penting yang harus diobrolkan, dia mengajak anak-anaknya untuk mengobrol dari hati ke hati di kamarnya. Tapi sampai saat ini aku belum mendengar panggilan Emak.


Menjelang jam tujuh pagi aku keluar dari kamar karena panggilan rasa lapar. Perutku sudah berbunyi minta diisi. Kalau tidak salah, masih ada sereal dan susu di dapur. Dua langkah menuju dapur, aku berpapasan dengan Fatma yang hendak mandi. Dia membuang mukanya ketika menyadari keberadaanku. Dia memperlakukanku seakan aku makhluk yang menjijikan dan layak untuk diabaikan.


Aku menangkap pergelangan tangan kirinya sebelum Fatma berlalu dari hadapanku. Dia mendengus. "Apa, sih?"


"Soal kejadian semalam, Kakak minta maaf," ujarku dengan suara pelan. "Kakak semalam khilaf."


"Wah, sudah berapa kali khilaf, kak? Gani sudah lusinan kali menginap di rumah kita dan lusinan kali pula kakak berzina dengannya? Rumah ini bisa-bisa terkena azab dengan kemaksiatan kalian berdua."

Lihat selengkapnya