Beberapa kali bertemu dengan dua lelaki itu, ditambah obrolan intens di WhatsApp, aku, Arman dan Rey bersepakat untuk membentuk sebuah komunitas yang menjadi wadah para penyintas HIV atau ODHIV. Kami bahkan menyampaikan ide itu kepada Bu Yati sebagai dokter yang menangani kami dan selalu melayani kami di pusat pelayanan HIV Puskesmas kecamatan. Bu Yati juga menyambut baik rencana itu sekaligus mendukung penuh.
Maka aku, Arman dan Rey berembuk untuk rencana tersebut. Kami membicarakan rentang visi dari komunitas yang ingin kami bentuk. Intinya, lewat komunitas itu kami ingin merangkul para ODHIV supaya mereka tidak merasa sendirian dan dibayang-bayangi oleh stigma buruk dari masyarakat. Kami akan mendampingi mereka sampai mereka benar-benar menemukan kepercayaan diri yang penuh dan bisa hidup secara wajar sebagaimana manusia normal pada umumnya.
"Kita tidak berbeda dengan mereka. Hanya saja kita harus minum obat setiap hari. Itu saja bedanya," begitulah apa yang dikatakan Rey.
Maka, kami menamai komunitas kami dengan nama "Peduli ODHIV". Rey memintaku untuk menjadi admin dari semua media sosial "PEDULI ODHIV" sembari mensosialisasikan komunitas ini kepada para penyintas. Pertama-tama kami mencoba bersilaturahim dengan para ODHIV yang ada di kecamatan kami. Pada dasarnya tidak ada yang kami ketahui secara pasti mengingat tidak semua ODHIV bisa terbuka. Hanya beberapa orang yang kebetulan kami temui di pelayanan kesehatan puskesmas yang kami ajak untuk bergabung. Mayoritas memang lelaki. Tapi perempuan juga ada beberapa.
***
Selain pertemuan dengan Bang Arman dan Bang Rey, aku juga mendapatkan pelajaran kehidupan dari pertemuan dengan Euis. Euis adalah gadis berwajah manis dengan lesung pipit di kedua pipinya yang agak tembem. Dia memakai kacamata tebal dan lebar. Tidak hanya kacamatanya yang lebar. Hijab dan gamisnya pun sama lebarnya.
"Ambil obat juga kak?" tanyaku mengawali pembicaraan. Euis terlihat terkejut--atau mungkin curiga--ketika aku menyapanya secara tiba-tiba.
"I-iya. Kakak siapa ya?" tanyanya masih dengan sorot penuh kecurigaan.
"Oh, perkenalkan. Nama saya Sardi," ujarku sembari mengulurkan tangan kananku, mengajak bersalaman.
"Saya Euis," jawabnya pendek. Alih-alih menyambut uluran tangan kananku, Euis malah menangkupkan tangannya di dada. Dan saya paham Euis adalah gadis yang agamis dan tahu batasan soal tidak bolehnya bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Bagaimana jika Euis tahu bahwa aku tidak tertarik pada perempuan? Bagaimana pula hukumnya jika lelaki yang memiliki ketertarikan pada sesama lelaki berjabat tangan dengan wanita? Apakah hukum itu tetap berlaku. Hm, sepertinya aku harus banyak bertanya kepada ustadz ketika pengajian nanti.
"Kakak sudah lama terapi ARV?" tanyaku lebih lanjut.
"Sudah lumayan lama. Memangnya kenapa?" tanyanya lebih lanjut. Aku memang tidak melihat sorot kecurigaan di manik mata Euis. Tapi lewat pertanyaan yang terlontar dari mulutnya, aku tahu perempuan ini masih menyimpan kecurigaan dan ketakutan. Mungkin takut dengan stigma buruk sementara orang-orang melihatnya sebagai perempuan alim dengan jilbab dan kacamata lebarnya.
"Maaf jika pertanyaanku kurang berkenan untuk Kak Euis. Kami, saya dan teman-teman mendirikan komunitas peduli ODHIV. Jika kakak berkenan kakak bisa bergabung dengan komunitas kami untuk saling support sesama pejuang ODHIV. Oh iya, saya juga sama-sama ODHIV mbak. Saya sudah terapi minum obat ARV selama setahun enam bulan. Ini jalan tujuh bulan," ujarku panjang lebar.
"Oh, begitu ya." Kini aku melihat binar lain di mata Euis. Wajahnya terlihat lebih rileks dan tidak ada lagi sorot kecurigaan di matanya. "Saya terapi ARV sejak usia tujuh tahun."