Burung Terbang di Kelam Malam

Bentang Pustaka
Chapter #1

Testimonial

“Arafat Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia.”—Joko Pinurbo, penyair.

 

“Sebuah sisi kelam dan janji politikus untuk menyejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang dari api. Justru yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini. Persoalan perempuan diceritakan begitu menohok dan berani. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra, dia berteriak lantang kepada dunia: seperti inilah Aceh sekarang!” —Bamby Cahyadi, cerpenis.

 

 

“Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk ke sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam sungguh tak akan mengecewakan.”—Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis.

 

“Novel ini sungguh menghibur sekaligus membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang dialami sang tokoh 'aku' dengan sangat memikat. Alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pascaperang, kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini.”—Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan.

“Membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun bisa betul-betul merasakan gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu.” —Oka Rusmini, novelis, tinggal di Bali.

 

“Burung Terbang di Kelam Malam adalah anak dari cinta segi lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi. Selamat!”—Benny Arnas, cerpenis.

 

“Sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran. Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam, telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali.”—Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai.

 

“Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini. Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan, getir, dan juga penuh harapan. Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi, seusai tragedi, dan seusai tsunami.” —Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sastra, penyair, penulis prosa dan esai.

“Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik.” —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.

Lihat selengkapnya